16 July 2021

Movie Review: Fear Street Part Two: 1978 (2021)

"A deal was made with the Devil."

Film horror mendapat sekuel jelas bukan sesuatu yang asing lagi, tapi kali ini hadir dalam bentuk sebuah trilogi yang rilis dalam rentang waktu satu minggu sekali tentu sebuah cerita yang berbeda, dibutuhkan persiapan yang matang tidak hanya dalam hal konflik saja tapi juga kreatifitas untuk membuat tiap bagian jadi terasa seimbang dan menyenangkan. ‘Fear Street trilogy’ dibuka dengan cukup baik di film pertama dan film kedua ini mencoba menggali lebih jauh dongeng horror itu dengan memberi sedikit variasi. 'Fear Street Part Two: 1978' : a tinged sequel.


Menjadi korban selamat membuat Deena Johnson (Kiana Madeira) dan adiknya Josh (Benjamin Flores Jr.) tidak membuang waktu untuk segera mencoba menyelamatkan Sam Fraser (Olivia Scott Welch) yang sedang kerasukan. Mereka mendatangi rumah C. Berman (Gillian Jacobs), salah satu korban selamat dari peristiwa berdarah the Camp Nightwing massacre yang kemudian menceritakan kepada mereka apa yang terjadi di pembantaian yang menelan banyak korban jiwa itu. Kala itu Ziggy Berman (Sadie Sink) dituduh mencuri oleh Sheila (Chiara Aurelia) yang juga percaya bahwa Ziggy telah dirasuki arwah Sarah Fier.

Di tempat berbeda di Camp Nightwing, Cindy Berman (Emily Rudd) sedang bertugas membersihkan ruangan bersama pacarnya Tommy Slater (McCabe Slye), hingga pada satu momen ia menemukan sebuah peta di dalam diary milik Nurse Mary Lane (Jordana Spiro). Di dalam diary tersebut tertulis sebuah perjanjian telah dibuat antara Sarah Fier dengan para setan, hal yang celakanya menjadi bahan lelucon oleh Alice (Ryan Simpkins) dan pacarnya Arnie (Sam Brooks). Mereka kemudian mencoba menuju lokasi yang tertera di peta tadi, aksi yang membuka pintu masuk bencana ke dalam Camp Nightwing.

Leigh Janiak kembali berhasil mengulangi kesuksesannya di bagian pembuka di film pertama yang lalu, yakni langsung membuat penonton merasa tertarik dengan yang akan terjadi pada karakter. Kali ini cara yang ia gunakan adalah membangun dahulu semacam jembatan penghubung antara tahun 1994 dengan tahun 1978. Ekspektasi saya saat film pertama berakhir di bagian selanjutnya akan langsung dibawa masuk ke dalam penelusuran akar dari masalah yang berpusat pada sosok Sarah Fier itu. Tapi ternyata ada upaya transisi yang mencoba “memoles” kembali dongeng itu serta membuka pintu masuk menuju babak kedua dan mundur ke tahun 1978.


Cerita sendiri kini terpecah menjadi beberapa konflik, kita punya hubungan kakak adik yang kurang harmonis, Shadyside versus Sunnyvale kini tampil dalam bentuk Color War yang otomatis menciptakan arena perburuan. Serta tentu saja fokus tetap pada upaya menggali konflik yang sudah terbentuk di film pertama yakni terkait misteri Sarah Fier, coba diramu agar semakin menemukan bentuknya. Perpaduan tone juga terasa oke, Leigh Janiak kembali melakukan juggling antara elemen horor bersama misteri utama dengan baik serta tidak pernah tampak kesulitan ketika menyelipkan beberapa bumbu pendamping seperti romance misalnya.

Saya suka cara Leigh Janiak, Zak Olkewick dan Phil Graziadei dalam meramu jalinan cerita, menempatkan apa yang terjadi sebagai sebuah kilas balik dari tahun 1994 lewat karakter C. Berman adalah ide yang manis. Menariknya yang terjadi di Camp Nightwing tidak kesulitan untuk berdiri sebagai kemasan terpisah meski memiliki koneksi dengan peristiwa di tahun 1994. Justru “kekacauan” itu digunakan untuk mengembangkan dongeng meskipun memang sayangnya di sini sosok Sarah Fier masih menjadi satu misteri utuh yang belum tersentuh jelas. Sesuatu yang terasa wajar mengingat status film ini sebagai bagian kedua, tugasnya membuatmu untuk merasa semakin penasaran untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi di tahun 1666.


Ya, sejak awal kita tahu bahwa puncak dari trilogi ini ada di film ketiga, tampaknya akan berisikan “ledakan” besar terkait asal-usul dari penyihir itu serta peristiwa yang hingga tahuun 1994 tetap menjadi sebuah misteri menakutkan. Tapi sayangnya di sini tidak ada progress yang terasa kuat terkait hal itu, hanya sebatas eksposisi pengembangan tapi minim punch. Mengingat kini cerita terbagi menjadi beberapa bagian tidak heran pula narasi kerap membawa penonton meloncat kesana kemari, memang tidak ada yang terasa buruk tapi jelas fokus tidak terkunci pada Sarah Fier seutuhnya. Ini justru terasa seperti kisah persaudaraan antara Ziggy dan Cindy.

Menempatkan semuanya untuk terjadi di Camp Nightwing membuat ruang bermain jadi terbatas dan ada dampak negatif dari sana. Kamu dibawa masuk menyaksikan bencana akibat ulah dari Sarah Fier, ikut berpacu dengan thrill tipis ketika karakter berusaha untuk menyelamatkan diri. Sayangnya kerangka plot hanya menciptakan panggung untuk itu saja dengan sedikit informasi lanjutan tentang sosok yang seharunya menjadi fokus utama, yakni Sarah Fier. Sosok penyihir itu tidak terasa semakin menarik di sini, sedangkan narasi kurang berani memainkan potongan teka-teki dari misteri dan sebatas meletakkan batu untuk meloncat ke babak ketiga.


Tentu tidak berharap menemukan jawaban tapi ingin rasanya agar rasa penasaran menjadi semakin besar untuk menyambut babak akhir, sayang kualitas hal tersebut masih terasa sama saja dengan film pertama. Durasi kedua film tidak jauh berbeda tapi entah mengapa film kedua ini terasa overlong meskipun punya dinamika yang oke terlebih dengan bantuan pemilihan musik dan score yang menyenangkan. Begitu pula dengan karakter, Sadie Sink, Emily Rudd, dan Ryan Simpkins sukses menjadi trio yang menarik tapi tidak ada variasi pada narasi yang mampu membuat cerita punya kesan segar lanjutan dari film pertama, bukan sekedar pengulangan.

Overall, ‘Fear Street Part Two: 1978’ adalah film yang cukup memuaskan. Dari segi teknis tidak ada yang salah dari apa yang disajikan oleh Leigh Janiak dan tim-nya di sini, understated dan mencapai target. Yang cukup disayangkan adalah tidak adanya kejutan di sini, miskin progress yang terasa besar atau signifikan dan terasa terlalu panjang secara keseluruhan. It’s good tapi kurang mampu membawa rasa penasaran penonton agar semakin meningkat dengan ketiadaan variasi yang segar. Dan ini juga terasa kurang “disturbing” jika dibandingkan dengan film pertama.







1 comment :