17 September 2020

Movie Review: Sabar Ini Ujian (2020)


“Hari ini, itu udah kemarin Bu. Aku udah pernah ngejalanin hari ini Bu.”

Ditinggal nikah oleh mantan kekasih sepertinya bukan sesuatu yang asing untuk banyak orang, dan tidak sedikit mungkin akan merasa sangat sulit untuk move on, karena tidak rela sosok yang pernah ia sangat cintai itu menikah dengan orang yang bukan dirinya. Mereka sebut itu siksaan tanpa bekas luka. Nah, bagaimana jika situasi “gagal move on” tersebut tadi tidak hanya terjadi di dalam hati dan pikiran saja, tapi juga membuat sosok yang ditinggal nikah tersebut tidak bisa move on ke hari berikutnya, ia terjebak di hari yang sama dan harus terus menerus merasakan "siksaan" itu secara berulang-ulang. Ujian berat. ‘Sabar Ini Ujian’ : harap senang ada ujian.


Tanggal 11 April 2020, handphone dengan nada dering sirine berbunyi keras seolah mencoba berteriak kepada sosok pria bernama Sabar (Vino G. Bastian) untuk segera bangun dari tidurnya. Itu adalah panggilan telepon dari Ibu Sabar (Widyawati) yang mencoba mengingatkan anaknya itu agar tidak lupa menghadiri acara pernikahan Astrid (Estelle Linden) dengan Dimas (Mike Ethan). Astrid merupakan mantan pacar Sabar, sosok yang masih membuat Sabar belum mampu move on sampai dengan tanggal 11 April 2020 itu.

Sabar akhirnya hadir di acara tersebut di mana ia bertemu dengan tiga sahabatnya, Billy (Ananda Omesh), Yoga (Rigen Rakelna) dan Aldi (Ananta Rispo). Di antara para undangan juga hadir teman mereka, Sherly (Anya Geraldine) serta sahabat Dimas, Tiffany (Luna Maya). Datang dengan ekspresi wajah yang campur aduk Sabar tampak hanya ingin segera menyelesaikan “siksaaan” di hari itu. Namun keesokan harinya Sabar kembali mendapat telepon dari Sang Ibu, ia mengingatkan Sabar agar tidak lupa menghadiri acara pernikahan Astrid. Hari itu adalah hari Sabtu, 11 April 2020.

Di paruh pertamanya ‘Sabar Ini Ujian’ digeber oleh Sutradara Anggy Umbara untuk terus membawa penonton berputar-putar bersama dengan karakter Sabar, melihat ia yang awalnya tampak bingung lalu kemudian mencoba menemukan solusi atas permasalahan yang sedang ia jalani tersebut. Saya rasa mungkin tidak ada yang akan merasa bahagia jika kehidupannya hanya jalan di tempat saja, kesehariannya hanya diisi dengan berputar di dalam sebuah “lingkaran” yang sama dengan rutinitas yang itu-itu saja. Ya, mungkin bisa berbeda jika hari yang sama itu merupakan hari yang bahagia, sesuatu yang menjadi problema utama dan coba diceritakan oleh film ini.


Di sana letak kesuksesan film ini di paruh pertamanya, karakter Sabar dengan cepat langsung meraih atensi penonton dan lalu menempatkan mereka untuk berada di sisinya, karena salah satu konflik yang diangkat juga terasa umum yaitu masalah percintaan yang klasik. Sosok Sabar merupakan karakter yang menarik untuk diamati karena kesempatan besar yang diberikan oleh Anggy Umbara berhasil ia gunakan untuk menampilkan perubahan yang terjadi di dalam dirinya, dari rasa bingung kita beranjak menuju sesuatu yang lebih luas berisikan tiga kunci utama yang sama seperti narasi, ia terus berputar-putar di dalam pikiran penontonnya.

Yang pertama tentu saja bagaimana bisa kondisi itu terjadi, lalu mengapa, kemudian apa solusi yang mungkin hadir. Ketika Sabar berada di bagian ini cara Anggy Umbara menggunakan tiga kunci tadi terasa oke, berhasil menstimulasi fantasi dan imajinasi penonton terutama ketika mulai menunjukkan berbagai opsi yang dapat dilakukan oleh Sabar untuk memanfaatkan kondisi tersebut. Itu menyenangkan terlebih opsi yang muncul tidak sedikit, selain Astrid ada pula Sherly, bahkan pada kemunculan pertamanya di layar Tiffany sempat langsung mengalihkan fokus utama saya dari Astrid. Ini terus berputar dengan cara yang oke tentu saja ditemani dengan materi komedi berisikan berbagai gags klasik dengan eksekusi yang mampu mencapai targetnya.


Tapi ternyata ada dua bagian di dalam ‘Sabar Ini Ujian’, ketika telah puas memutar-mutar penonton bersama fokus yang tertuju pada konsep time loop itu kita mulai dibawa bergeser ke paruh kedua yang ternyata berisikan upaya “memperdalam” bobot cerita. Depth di sini tidak hanya dari segi bobot di bagian konflik saja tapi juga bobot dalam hal emosi. Transisinya sendiri tidak terasa kasar justru terasa oke dengan trik mengurangi kecepatan putar di tiap hari yang Sabar lalui, namun lepas dari bagian transisi itu ‘Sabar Ini Ujian’ kehilangan dinamika menyenangkan yang hadir sejak awal hingga titik tengah cerita. Paruh kedua berisikan fase “berdamai” yang oke sebenarnya tapi sayangnya grafik excitement mulai bergerak turun.

Paruh kedua terbagi menjadi empat bagian besar, yaitu Sabar stress, Ibu, Ayah, dan ditutup dengan Sabar sadar, bagian yang harus dilalui dan berperan sebagai jalan menemukan solusi. Dan tentu saja agar isu serta pesan dapat tersampaikan dengan baik. Hal terakhir tadi justru berhasil tampil dengan baik, dari bahagia, bersyukur, ikhlas, move on, dan tentu saja sabar, mereka mencapai sasaran, tapi sayangnya kemunculan mereka terasa kurang menggigit jika dibandingkan dengan paruh pertama yang notabene justru terasa lebih overstretched. Di paruh kedua script terasa sedikit loyo terutama ketika narasi berpindah dari Sabar stress menuju ke Ibu lalu tiba di Ayah, emosi eksis tapi tidak menghasilkan punch yang saya harapkan.


Tidak heran ketika konklusi yang berawal dari Sabar sadar itu tiba hal yang justru membuat saya tersenyum adalah fakta bahwa Sabar akhirnya menemukan apa yang “seharusnya” ia harapkan dan lakukan sedari dulu. Pada akhirnya yang lebih terasa nikmat adalah jawaban dari pertanyaan di awal itu ketimbang tiga bagian sebelum Sabar sadar, dan itu lucu mengingat tiga bagian tersebut eksistensinya seharusnya sangat penting tapi justru punch yang hadir dari sana terasa kurang nendang. Untung saja meskipun dinamika terasa kendor di paruh kedua ‘Sabar Ini Ujian’ tidak sampai jatuh dan terasa datar, pencapaian yang juga tidak lepas dari kinerja akting dari para aktor yang terasa oke terutama Vino G. Bastian.

Overall, ‘Sabar Ini Ujian’ adalah film yang cukup memuaskan. Begitu banyak momen di mana saya tertawa bahagia menyaksikan karakter Sabar berputar-putar di paruh pertama, overstretched but fun, tapi ketika masuk ke paruh kedua ada perubahan yang terasa signifikan, terutama pada menurunnya kualitas unsur “fun” tadi. Konsep time loop itu berhasil digunakan oleh Anggy Umbara untuk berbicara tentang isu dan pesan klasik yang menghasilkan punch oke, meskipun sebenarnya punch dapat terasa lebih kuat dan memikat seandainya paruh kedua dikemas lebih padat dan paruh pertama dikemas lebih singkat. Memorable? Yes. Good one.








1 comment :