24 September 2020

Movie Review: Bill & Ted Face the Music (2020)


“Be...excellent to each other. And party on, dudes.” 

Film ini bermain layaknya sebuah B Movie yang hadir dengan mengusung science fiction comedy, sebuah subgenre yang kerap mengeksploitasi teknologi dengan cara yang konyol dan menggelikan. Premisnya sendiri juga menarik, menemukan "sesuatu" yang wajib ada di present time namun belum eksis yaitu dengan cara mencoba mencuri "sesuatu" tersebut dari masa depan. Itu kombinasi yang terasa liar namun jika diolah dengan cara yang tepat tetap dapat menjadi sebuah kemasan yang terasa berkesan. ‘Bill & Ted Face the Music’: an interesting chaos.


Setelah mencoba memperkenalkan kembali band mereka Wyld Stallyns di sebuah acara pernikahan, serta potensi hadirnya permasalahan pernikahan dengan masing-masing Istri mereka, Princess Joanna Preston (Jayma Mays) dan Princess Elizabeth Logan (Erinn Hayes), dua pria yang sangat mencintai musik William S. "Bill" Preston (Alex Winter) dan Theodore "Ted" Logan (Keanu Reeves) mulai merasa ragu mereka dapat menulis lagu yang mampu menyatukan seluruh dunia. Tidak lama kemudian sebuah kendaraan dari masa depan muncul di depan mereka dan dari dalamnya keluar Kelly (Kristen Schaal), anak perempuan Rufus.

Kemunculan Kelly itu disaksikan pula oleh Thea Preston (Samara Weaving) dan Billie Logan (Brigette Lundy-Paine) sampai dengan ketika Ayah mereka menghilang karena dibawa oleh Kelly menghadap The Great Leader (Holland Taylor). Bill dan Ted ternyata dipercaya dapat membantu untuk menyelamatkan dunia yang sedang berada di ambang kehancuran. Dibutuhkan sebuah lagu yang dapat menyatukan seluruh umat manusia, tidak hanya di present saja namun di seluruh lintas waktu. Bill dan Ted percaya bahwa di masa depan mereka telah selesai menciptakan lagu tersebut, alhasil mereka meloncati waktu untuk mencuri lagu tersebut.

Sebagai sebuah science fiction comedy yang sudah tertidur cukup lama ‘Bill & Ted Face the Music’ melakukan pekerjaan yang terasa oke terutama pada cara karakter utama menyapa kembali para penonton yang telah menyaksikan film pertama, yaitu ‘Bill & Ted's Bogus Journey’ yang rilis di tahun 1991. Itu 29 tahun yang lalu, hampir tiga dekade lamanya. Bukan sebuah pekerjaan yang mudah tidak hanya sekedar pada bagaimana cara Sutradara Dean Parisot dan timnya “membangkitkan” kembali kisah dua sahabat yang unik ini namun juga pada cara memindahkan kegilaan yang telah lekat dengan dua sosok tersebut ke dalam dunia baru yang sudah jauh lebih modern, memaksa mereka untuk klik dengan lingkungan yang tentu juga sudah berbeda.


Dan di sana letak tweak terbaik yang diberikan oleh duet Screenwriter Chris Matheson dan Ed Solomon, yaitu dengan cara menghadirkan karakter Thea Preston dan Billie Logan. Dua wanita muda yang merupakan anak dari dua karakter utama dengan masing-masing pasangan mereka itu secara mengejutkan tidak hanya tampil sebagai pemanis belaka, mereka menjadi motor penggerak cerita dan berdiri sejajar dengan dua Ayah mereka tersebut. Tugas mereka memang sekilas tampak sebagai pion yang membantu menggerakkan narasi tapi ternyata mereka merupakan kunci penting yang membuat cerita penuh “kekacauan” menarik sejak awal hingga akhir ini mampu menciptakan kesan yang oke ketika telah berakhir.

Cerita terbagi menjadi dua bagian yang berjalan beriiringan dan meskipun memang terasa tidak sama besar namun sukses menciptakan kombinasi yang oke terutama dalam hal menggerakkan narasi untuk terus bergulir dengan pesona percaya diri yang tinggi. Ya, hal terakhir tadi adalah salah satu hal yang saya suka dari film ini yaitu narasi seperti tidak menyimpan kesan ragu untuk terus berusaha tampil gila dengan jiwa rock ‘n roll yang kental. Dean Parisot berhasil menata hal ini agar tidak sekedar timbul dan tenggelam, mereka konsisten hadir di layar baik itu ketika Bill dan Ted memegang kendali cerita hingga ketika kedua anak mereka tadi mengambil alih kendali untuk melaksanakan ide gila mereka.


Alhasil dua bagian pada narasi di mana kita diajak untuk terus meloncati waktu bersama karakter terasa menyenangkan. Di sana letak sumber energi yang konsisten tadi. Sulit untuk tidak tersenyum ketika alunan piano dari komposer kelas dunia seperti Mozart kemudian “diganggu” oleh petikan gitar penuh ledakan dari Jimi Hendrix, begitupula dengan berbagai hal-hal liar seperti mati dan masuk neraka untuk kemudian menyelamatkan dunia hadir silih berganti hadir. Tapi Dean Parisot juga berhasil menjaga agar kemunculan materi seperti tadi tidak sampai membuat narasi yang sebenarnya juga tidak terasa padat itu jadi terasa annoying, sebaliknya cerita terus bergerak cepat dengan memanfaatkan keleluasaan yang ia miliki.

Ya, arena bermain yang luas memang memegang peran yang sangat penting di sini apalagi ketika materi yang mengisi berbagai ruang tersebut juga berhasil membuat penonton merasa penasaran dengan apa yang akan terjadi. Setiap kali kita dibawa meloncati waktu dan tiba di tahun yang berbeda saya menantikan bagaimana kondisi dari Bill & Ted di tahun tersebut, mayoritas dari mereka berhasil tampil menggelitik, sama seperti Thea dan Billie ketika mereka berusaha untuk mencari solusi lain agar dapat menolong Ayah mereka. Petualangan time travel itu berhasil mengalihkan perhatian penonton agar tidak terlalu tertuju pada fokus utama cerita terkait menemukan lagu yang memang don't make sense sejak awal.


Tapi itu memang bagian dari sebuah science fiction comedy, sometimes things don't make sense until the end of the story. Visual yang dihadirkan juga berada di level yang sama, tanpa dipoles terlalu mulus dan halus namun lebih mengedepankan agar kehadiran mereka berfungsi secara tepat. Dan itu terasa oke karena fokus penonton juga tidak selalu terpaku ke bagian itu, kita punya narasi yang energik serta karakter yang juga menarik. Tingkah laku konyol dari Bill dan Ted berhasil ditampilkan dengan baik oleh Alex Winter dan Keanu Reeves, chemistry terasa oke dan banter mereka menyenangkan. Karakter lain juga diperankan dengan baik, dari William Sadler sebagai the Grim Reaper (Death) begitupula Samara Weaving dan Brigette Lundy-Paine yang membuat nafas cerita menjadi segar.

Overall, ‘Bill & Ted Face the Music’ adalah film yang cukup memuaskan. Saya tidak menaruh ekspektasi yang tinggi pada film ini namun sejak awal terus mencecar saya dengan narasi dan karakter yang bergerak cepat dan energik Sutradara Dean Parisot berhasil membuat comeback dari Bill dan Ted ini jadi terasa menarik untuk diikuti karena memancarkan kesan percaya diri yang oke. Kekurangan terutama pada cerita berhasil ia cover dengan membuat semuanya terus bergulir dengan cepat, lalu dibungkus dengan cara yang super klasik. Ya, fokusnya memang terletak pada petualangan melintasi waktu itu, and thank God bagian itu punya kualitas yang mumpuni untuk diikuti. Ringan tapi tetap berkesan. Segmented. 






1 comment :

  1. "Sometimes things don't make sense until the end of the story."

    ReplyDelete