20 July 2020

Movie Review: A Whisker Away (2020)


“After falling in love with you, the world seems so beautiful to me!”

Fantasi seolah telah menjadi salah satu bagian penting dari produk animasi Jepang, mereka selalu punya cara untuk mengemas ide-ide liar yang secara logika tampak tidak “masuk akal” menjadi sebuah presentasi yang tidak hanya menghibur penonton lewat sajian visual saja namun juga disertai dengan sentuhan manis berupa emosi di dalam cerita. Film animasi ini mencoba mengolah kembali pola tersebut dengan menggunakan premis yang menarik, kisah cinta antara manusia dan kucing. Ya, hewan jenis kucing. ‘A Whisker Away (Nakitai Watashi wa Neko wo Kaburu)’ : an outrageously simple "drawing" for a very promising idea.

Miyo Sasaki (Mirai Shida) merupakan seorang siswi sekolah menengah atas yang sangat periang dan energik, ia selalu memancarkan semangat yang luar biasa setiap pagi ketika tiba di sekolah. Sikap Miyo tersebut adalah akibat seorang remaja pria bernama Kento Hinode (Natsuki Hanae), sosok pintar yang sangat Miyo sukai. Miyo rela melakukan apa saja demi mencoba meraih perhatian Hinode, ia bahkan tidak takut untuk melakukan aksi berbahaya agar dapat semakin dekat dengan pujaan hatinya tersebut.

Tidak heran akibat sikap dan perilakunya itu pada akhirnya Miyo dijuluki Muge (Miss Ultra Gaga and Enigmatic) oleh teman-temannya, sebuah julukan yang pada akhirnya terasa sangat wajar setelah mengetahui bahwa Miyo juga memiliki “senjata lain” agar dapat mencapai target utamanya untuk menjadi pacar Hinode. Cara yang digunakan oleh Miyo ada pada wujud seekor kucing bernama Taro, nama yang diberikan oleh Hinode karena setiap hari selepas pulang sekolah kucing tersebut selalu datang menghampiri Hinode di rumahnya. 
Mendaur ulang pola dan formula yang telah lekat pada film-film animasi Jepang dengan premis mengandung unsur fantasi, penulis cerita Mari Okada berhasil membuat berbagai kejutan yang oke di dalam cerita. Kisah tentang perjuangan Miyo tersebut dapat dikatakan memiliki kualitas yang cukup oke dalam hal daya tarik, di bagian awal ia meraih perhatian penonton dengan sikapnya yang agresif, kemudian kita dibawa bergeser dengan kejutan yang hadir melalui Taro. Setelah itu di bawah kendali duet Sutradara Junichi Sato dan Tomotaka Shibayama kemudian muncul kejutan berikutnya yang hadir dengan luasan fantasi yang jauh lebih besar, yaitu dunia para kucing.

Tiga babak tersebut memiliki isi yang cukup oke terutama ketika kita berbicara tentang isu dan pesan yang coba disajikan, dari hal tentang asmara yang klise dan sepele, hubungan dengan keluarga, bahkan hingga isu terkait pendidikan. Memang tidak semua dari mereka digali secara merata, beberapa tampil dengan porsi yang dapat dikatakan secukupnya saja namun dalam konteks pencapaian mereka berakhir tepat sasaran. Yang mendapat porsi paling besar tentu saja isu tentang perjuangan cinta di antara dua karakter utama, sebuah perjuangan yang mampu menggunakan rintangan sulit yang “memisahkan” dua karakter utama untuk mengikat atensi penonton, karena memang perjuangan Miyo berhasil menjadi tantangan yang menarik.
Menarik dalam konteks untuk dinantikan bagaimana semua permasalahan penuh dengan lika-liku yang sebenarnya sederhana itu kemudian akan diselesaikan. Dan sayangnya hanya itu yang mampu membuat bertahan hingga akhir cerita, rasa penasaran pada konklusi. Di luar itu perjuangan Miyo adalah sebuah petualangan yang magiclessness, pencapaian yang terasa sangat disayangkan jika menilik ide dan premis cerita yang ia miliki serta bagaimana setting fantasi tersebut dibentuk. Tidak hambar memang tapi cukup banyak momen yang seharusnya terasa magical ketika menjalankan tugas untuk hadir membawa kejutan justru terasa terlalu biasa, terlalu normal.

Dari segi visual sendiri ‘A Whisker Away’ terasa oke, diproduksi oleh Studio Colorido tidak ada yang terasa “salah” dari tatanan visual terlebih dengan komposisi warna di setiap scene yang terus menerus digunakan untuk menyokong emosi yang terkandung di dalamnya, terasa manis. Yang disayangkan adalah kinerja visual tersebut tidak ditemani dengan sentuhan magic terhadap emosi di dalam cerita terutama pada arti dan esensi perjuangan Miyo secara kumulatif. Miyo dan Taro seharunya menjadi sebuah tim dan peran yang dimiliki oleh Taro seharusnya menjadi semacam “jembatan” penghubung di dalam cerita, namun justru eksistensinya membuat cerita jadi terasa disjointed.
Alhasil alur cerita kerap terasa kurang dinamis terutama pada kesan penting yang terkandung di dalam perjuangan seorang Miyo. Hal tersebut tadi penting mengingat di babak akhir cerita mencoba membawa penonton menyaksikan dua karakter utama berjuang menyelamatkan kisah cinta mereka. Dipenuhi dengan berbagai kondisi genting babak tersebut kurang berhasil menampilkan excitement yang luar biasa, terasa terlalu normal dan menghasilkan dampak domino terhadap konklusi di bagian akhir yang datang dan kemudian berlalu dengan cepat, membuat kesan yang tercipta dari perjuangan meraih cinta tersebut tadi terasa terlalu disederhanakan.

Ya, hal ini memang segmented dan semua tergantung pada ekspektasi awal yang telah ditetapkan oleh masing-masing penonton, namun dengan ide yang sangat menarik serta premis yang terasa menjanjikan sayang sekali proses dan konklusi yang disajikan terasa terlalu biasa. A Whisker Away memang tepat sasaran namun saya sebenarnya mengharapkan hadir penggambaran fantasi dengan emosi yang jauh lebih punchy di dalam cerita, hal yang sayangnya hadir dalam kuantitas yang sekedar “secukupnya” terutama menjelang garis akhir. Bahkan di bagian tengah cerita muncul rasa bingung mengapa daya tarik karakter Miyo yang terasa energik dan menarik di awal itu perlahan menunjukkan grafik menurun hingga akhir?
Overall, ‘A Whisker Away’ adalah film yang kurang memuaskan. Memiliki visual yang terasa manis dan menyenangkan untuk disaksikan tidak cukup membantu menutupi kekurangan yang dimiliki ‘A Whisker Away’ di sektor materi dan eksekusi pada cerita. Klise dan cringe bukan masalah utama melainkan bagaimana ide dan premis yang sangat menarik itu dibangun menjadi sebuah presentasi terlalu sederhana dan minim emosi, almost shallow. Film ini berhasil mencapai sasaran dengan baik namun seharusnya dapat jauh lebih baik lagi jika hadir dengan ide dan premis yang jauh lebih “matang” serta eksekusi terhadap cerita yang, tidak setengah hati? A magicless animation. Segmented.











1 comment :