28 August 2016

Review: Ben-Hur (2016)


"Racing is a blood sport, if you lose, you die."

Rilis 57 tahun yang lalu, meraih 12 nominasi Oscars dan hanya kalah di satu kategori saja dan membuatnya menjadi film peraih Oscars terbanyak selama hampir empat dekade sebelum akhirnya disamai oleh Titanic di tahun 1997, “Ben-Hur (1959)” dianggap sebagai one of the greatest films ever made terutama pada genre religious. Dengan pencapaian memukau yang diraih oleh satu dari lima film adaptasi novel Ben-Hur yang telah eksis sebelumnya itu pertanyaan utama yang muncul adalah apa yang ingin dilakukan dan dicapai oleh film ini yang disebut sebagai re-adaptation, reimagining, and new interpretation of the novel? Dengan teknologi terkini tentu saja visual akan terasa lebih baik, tapi hanya itu? A shallow re-adaptation, reimagining, new interpretation of the novel and remake for the classic one, it’s a $100 million C-movie. Oscars worthy? Hah.

Ketika tentara Romawi berada di bawah tekanan yang dipimpin Pontius Pilate (Pilou Asbaek), Messala Severus (Tony Kebbell) memutuskan untuk menjadi perwira tentara Romawi. Messala juga menjadi sumber malapetakan bagi saudaranya, Judah Ben-Hur (Jack Huston), yang dituduh oleh Messala telah melakukan pengkhianatan dan harus menerima hukuman bekerja sebagai budak kapal. Akibat sebuah tragedi saat berperang Ben-Hur kemudian bertemu dan dibantu oleh Sheik Ilderim (Morgan Freeman), pria yang juga menjadi jalan bagi Ben-Hur untuk bertemu kembali dengan Messala serta melakukan balas dendam lewat sebuah perlombaan berbahaya. 


Bukankah sinopsis di atas tadi tampak normal? Screenplay yang ditulis oleh Keith R. Clarke dan John Ridley (12 Years a Slave) mencoba menciptakan kombinasi antara perang personal dan perang politik, menggunakan plot usaha balas dendam yang standar. Duduk masalah digambarkan dengan cepat, maju dan mundur berusaha menciptakan persaingan antar saudara tapi di sisi lain juga menampilkan panas yang akan menjadi ledakan. Di awal cerita juga oke dalam membuat batas yang membedakan Judah dan Messala, dari agama dan keluarga, penonton tahu bahwa dua saudara ini tampak seperti memang tidak ditakdirkan untuk bersama. Tapi sayangnya hal-hal tadi terasa melayang-layang, sejak awal hingga akhir, dari unsur action sampai dramatisasi konflik utama tidak mampu menemukan pijakan yang kuat untuk berdiri tegap. Alhasil Ben-Hur terus meloncat kesana-kemari, dan tentu saja ditemani “riot” a ala Timur Bekmambetov. 


“Komitmen” Timur Bekmambetov pada karakter dan konflik celakanya juga lemah, kamu mengerti ada masalah antara Messala dan Judah sejak kecil tapi ikatan di antara mereka kurang menarik, begitupula dengan ikatan mereka bersama penonton. Karakter uninteresting, seharusnya ada chemistry dan emosi yang menarik di antara dua kakak beradik ini tapi hal itu terasa loyo dan tidak punya kedalaman yang oke, dan dampaknya tentu besar, kisah tentang balas dendam ini terasa lesu dan kurang berenergi. Tidak jauh dari garis start sudah terasa bahwa Ben-Hur membawa salah satu dari penyakit remake film classic yang telah eksis: “bad” new touches. Timur Bekmambetov di sini terlalu fokus untuk membuat “Ben-Hur” terasa epic secara visual sehingga cerita tidak punya skala dramatis yang kuat. Memang visual cukup oke, dari pegunungan hingga pemandangan pedesaan, sayangnya efek dari gambar yang menarik tidak banyak membantu pesona dan daya tarik Ben-Hur untuk bersinar dengan baik. 


Satu-satunya bagian yang cukup menarik dari film ini adalah adegan balapan kuda, tensi di bagian itu terasa menarik terlepas dari minus yang juga hadir di sana. Set design dan score juga tidak begitu buruk tapi camerawork yang terlalu dipenuhi “kepanikan” itu terasa kurang enak, beberapa ada yang terasa “lucu” dan kerap terasa blur. Kualitas CGI juga rapuh, sama seperti kualitas 3D, dan sisi rapuh “Ben-Hur” berlanjut ke cast. Kualitas performa para cast tidak begitu buruk tapi karena materi yang lemah dan cara Timur Bekmambetov membangun mereka yang juga lemah akibatnya tidak ada dari mereka yang terasa benar-benar memikat. Yang cukup oke di bagian ini adalah Jack Huston dan Toby Kebbell, melakukan pekerjaan yang tidak buruk terhadap karakter mereka, begitupula dengan Morgan Freeman, sementara karakter lain terasa datar dan forced. Menjengkelkan hal ini terjadi karena cerita film ini punya banyak hal yang dapat diceritakan, dari spiritual hingga rasa sakit yang mendalam, tapi yang karakter lakukan seperti berjalan dengan tujuan yang kurang kuat dan menarik. 


Sesungguhnya “Ben-Hur” seperti berisikan dua cerita, satu kisah balas dendam dan satu satu lagi antara Ben-Hur dan Jesus (Rodrigo Santoro), cukup untuk mewakili betapa kurang efektif eksekusi Timur Bekmambetov serta script dari tim penulis cerita di sini, kurang mampu menyeimbangkan komponen materi yang mereka miliki. Fight scenes memiliki tensi yang tidak buruk, kualitas akting juga tidak super buruk, tapi mereka kurang bersinar akibat script dan narasi yang hanya berusaha mengedepankan point cerita dengan dramatisasi lemah yang kerap membuat dialog di beberapa bagian terasa seperti sebuah parodi, serta eksekusi Timur Bekmambetov yang kurang mampu menarik dan mengikat penonton di dalam cerita. Wajar penonton sulit untuk merasa tertarik sepenuhnya pada “Ben-Hur” karena film ini sendiri juga tidak pernah terasa yakin ia ingin menjadi sebuah hiburan yang seperti apa. Itu mengapa tidak ada mention Ben-Hur (1959) di dalam isi review, hanya kualitas visual yang terasa lebih oke (57 tahun, so, yeah). Is it worth the admission price? Not sure. Segmented.









0 komentar :

Post a Comment