Memang
tidak tampak terlalu kontras atau mencolok namun jika kamu amati lebih detail
maka sebenarnya di babak kedua kemarin ‘Thirty-Nine’ sudah terlihat mulai
kewalahan dan terasa goyah. Jalannya cerita sendiri masih terasa menarik tapi
di sisi lain dari segi tone perpaduannya terasa mulai tumpang tindih, meski
benang merah tetap terkoneksi dengan baik tapi narasi yang kerap berputar-putar
di empat episode yang lalu itu kerap kehilangan punch dan momentum akibat
tatanan tone yang tidak oke. Tahapannya menuju puncak emosi itu memang mencapai
sasaran tembaknya namun saya seperti merasa sedikit jauh dengan para karakter,
seperti timbul ruang pemisah yang tidak exist di empat episode pertama.
Masalahnya di mana? Lagipula dengan kondisi seperti itu bukankah excitement
tetap tumbuh dengan baik?
Awkwardness,
that’s the problem. Pada review sebelumnya saya menginginkan agar cerita
menyajikan eksplorasi dan eksploitasi yang sedikit lebih besar porsinya, sebab
kala itu narasi seperti sedikit terlena dan tampak berputar-putar. Yang saya
takutkan di sana adalah ketika yang muncul hanya sebuah lingkaran maka potensi
terjadinya pengulangan akan semakin besar pula. Tiap konflik tetap menampilkan
progress tapi yang membedakan babak kedua dan babak pertama ialah di mana yang
terakhir terasa lebih menyenangkan karena masih berada di tahap membangun
pondasi, ada variasi yang baik di dalam cerita maupun karakter. Terlebih dengan
menaruh sebuah kejutan besar di bagian paling awal itu ‘Thirty-Nine’ dengan
mudah menarik atensi penonton untuk mengantisipasi apa yang akan terjadi dan
sebelumnya terjadi dalam kehidupan para karakter.
Dalam
perjalanannya memang demikian, terdapat beberapa hal yang coba digali oleh
Screenwriter Yoo Yeong-ah dengan mengandalkan luka yang masih dirasakan dan
coba ditemukan solusinya oleh masing-masing karakter. Yang paling sederhana
jelas Jang Joo-hee, selepas keputusannya untuk keluar dari tekanan di tempat
kerja yang selama ini ternyata ia rasa kurang membuatnya merasa bahagia Joo-hee
tidak punya sesuatu yang rumit untuk ia selesaikan. Kisah cinta malu tapi mau
antara ia dan Park Hyun-joon juga terasa underwhelmed, pengembangannya ternyata
tidak kontras dan diselesaikan secara terburu-buru cenderung dipaksakan di
bagian akhir. Jang Joo-hee berhasil menjadi karakter yang berbicara tentang sebuah
isu menarik tapi saya rasa yang paling membekas darinya justru just her
clumsiness.
Beralih
ke karakter Jeong Chan-young, yang sejak awal sudah kita ketahui nasibnya dan
langsung ditempatkan pada mode menunggu. Mungkin sikapnya yang menolak menjalani
pengobatan itu bukan sesuatu yang terasa lumrah, tapi keinginannya agar dapat
menikmati sisa kesempatan hidupnya secara normal dan bergembira adalah salah
satu “perayaan” di dalam cerita. Momen saat film yang dibintangi Chan-young
rilis setelah kematiannya berhasil mendorong pesan tentang bagaimana fungsi
dari hidup itu sendiri. Memang ada beberapa konflik yang punya potensi besar
untuk dieksplorasi lebih jauh tapi sayangnya tidak terjadi, seperti masalah
perselingkuhan itu misalnya. Yang saya harapkan tentu saja bukan seperti yang
terjadi di ‘Penthouse’ apalagi ‘Love ft. Marriage & Divorce’, tapi
sebenarnya ada isu dan pesan yang bisa dipoles lebih menarik lagi di balik
sikap Kim Jin-seok di dalam hubungannya dengan Chan-young serta kondisi pernikahannya
dengan Kang Seon-joo.
Sayangnya
Yoo Yeong-ah menolak membuat bagian tersebut mencuri atensi terlalu besar dan
menempatkannya sebagai “bumbu” bagi perjuangan dan juga sisi tragis di dalam
kehidupan Chan-young, terkait mencintai dan dicintai. Treatment serupa juga
tersaji di dalam kehidupan Cha Mi-jo sebelum masuk ke usia 40 tahun, tentang
masa lalunya lewat masalah Ibu kandung serta adopsi, punya koneksi dengan sosok
Kim So-won yang membawa isu dan masalah yang tidak jauh berbeda. Meskipun di
beberapa momen sepanjang 16 episode itu Mi-jo beberapa kali seperti banjir
emosi tapi saya merasa masalahnya tidak dieksplorasi terlalu jauh, ditempatkan
sebagai luka lama yang selama ini diacuhkan dan kini coba untuk disembuhkan.
Begitupula dengan kisah cintanya bersama Kim Seon-woo, manis meskipun klise.
Memang
slice of life drama kerap bermain demikian, tidak memakai dramatisasi yang
berlebihan dan menaruh fokusnya untuk mengikat emosi penonton untuk ikut
terlibat di dalam perjuangan karakter, yang masalahnya juga mudah ditemukan di
kehidupan sehari-hari. Tapi satu hal yang sejak episode kedua sangat saya
harapkan diterapkan adalah mencantumkan countdown terhadap peristiwa utama di
bagian pembuka itu. Memang hal tersebut beresiko menimbulkan gesekan karena
kematian sendiri memiliki sensitifitas yang tinggi, tapi menginformasikan para
penonton dengan cara mencantumkan info bahwa tiap potongan besar momen dalam
cerita terjadi berapa hari menjelang kematian mungkin bisa membuat excitement
lebih mudah berkembang secara bertahap, karena penonton yang telah larut
bersama emosi otomatis akan dibuat semakin mengantisipasi tibanya momen
menyedihkan tersebut.
Itu
salah satu hal yang saya sesalkan dari ‘Thirty-Nine’, bagaimana persahabatan
yang manis itu tidak menghasilkan punch yang sangat kuat di akhir, padahal
slice of life drama sebenarnya punya potensi yang lebih besar untuk membuat
penonton bertemu punch kuat di bagian akhir. Sayangnya hasil akhirnya cenderung
bermain terlalu normal, bukan dalam hal cerita melainkan pesona dari perayaan
“great life” itu sendiri. Mendarat dengan baik memang tapi di samping editing
yang kerap kali membuat narasi jadi terasa super jumpy itu seperti ada yang
kurang dari final charm ketika Mi-jo dan Joo-hee melangkah pulang dari makam
Chan-young. Menariknya, terlepas dari kekurangan itu Kim Sang-ho, Yoo Yeong-ah,
dibantu tim di belakang mereka serta para cast, terutama tiga pemeran utama
wanita berhasil menjaga agar energi yang tersaji tetap terasa stabil, salah
satu charm memikat dari ‘Thirty-Nine’.
Ya,
satu hal unik yang saya rasakan ketika mengikuti “Thirty-Nine’ ini, yaitu bahwa
saya sadar bagaimana secara tatanan ini bukanlah sebuah kisah yang berjalan
rapi secara teknis, kerap kali narasi terasa jumpy dengan kombinasi potongan
terasa kasar pula, sedangkan secara tone sejak babak kedua juga terasa mulai
goyah dan kurang kuat fokusnya. Tapi menariknya kekurangan tadi tidak terasa
mengganggu apalagi jatuh menjadi sesuatu yang menjengkelkan, hal tersebut
karena guliran isu dan konflik terus berjalan dan berkembang dengan baik,
meskipun memang terasa kurang dieksplorasi lebih jauh lagi. Alhasil ketika
semua itu berakhir ada rasa puas di dalam benak saya, kurang lebih ketika dulu
saya menyaksikan ‘Hi Bye, Mama!’ dua tahun lalu, sadar akan kekurangannya namun
terus terikat dengan perjuangan yang dilalui karakter untuk menuju sebuah garis
finish yang sederhana, bersama emosi yang juga sama sederhananya. Andai saja
Chan-young mau menjalani pengobatan, ia bahkan sudah tahu harus pergi ke rumah
sakit mana dan menghubungi siapa saja di sana!
“It's a deep story about happiness and yearning.”
ReplyDelete