26 June 2022

Movie Review: Good Luck to You, Leo Grande (2022)

“Pleasure is a wonderful thing. It's something we should all have.”

Tidak semua orang datang ke hidupmu untuk tinggal, ada yang datang dan singgah lalu kemudian pergi setelah membuatmu “belajar” akan suatu hal, baik itu bahagia maupun luka. Mungkin hal tersebut akan terasa normal jika disajikan menggunakan karakter dengan hubungan yang normal pula, seperti sepasang kekasih misal, atau pasangan yang telah menikah lalu bercerai. Tapi bagaimana jika konsepnya sedikit “berbeda” yakni proses belajar dan lepas dari hidup yang kurang memuaskan antara wanita lanjut usia dengan profesi sebagai guru bersama pria muda berwajah tampan yang merupakan seorang pekerja seks? ‘Good Luck to You, Leo Grande’: playing with empathetic sex therapy.


Nancy Stokes (Emma Thompson) merupakan seorang janda yang merasa bahwa kini ia menjalani hidup dengan belenggu rasa tidak puas, ia telah kehilangan rasa percaya dirinya meskipun ia dulu merupakan seorang tenaga pengajar, mantan guru agama. Yang menjadi beban pikiran Nancy adalah rasa ingin tahunya yang besar pada “real sexual pleasure”, sesuatu yang selama ini tidak pernah diberikan oleh suaminya yang telah meninggal dunia dua tahun yang lalu. Nancy bertekad untuk tidak akan pernah lagi berpura-pura orgasme seperti yang selama ini ia lakukan, dan hal tersebut ia sampaikan pada Leo Grande (Daryl McCormack), pria muda yang sedang ia sewa.

Permintaan kliennya tersebut bukan masalah besar bagi Leo yang paham betul cara yang harus digunakan untuk memuaskan para penyewanya. Fleksibilitas itu yang membuat Nancy yang awalnya ragu dan takut pada akhirnya merasa yakni bahwa Leo dapat mengajarinya “seni bercinta”, dan dengan empati yang besar Leo mencoba untuk membuang perasaan insecure dari kliennya yang ternyata dulu ketika masih aktif sebagai guru pernah memberi tugas esai kepada murid-muridnya tentang the moral issues surrounding sex work. Masalahnya adalah meskipun intimitas telah sukses terbangun Leo tetap menjaga profesionalitasnya, tapi tidak dengan Nancy.

Setiap orang pasti punya kriteria yang diinginkan dari pasangannya, semacam syarat dan ketentuan yang lantas akan ia gunakan untuk “menyaring” dan mempermudah proses pencarian sosok yang ia dambakan. Ada banyak hal yang dapat ditetapkan sebagai syarat, dari pekerjaan, jumlah harta, rupa wajah dan juga fisik, hobby serta yang paling sederhana yakni usia. Kamu harus dan wajib benar-benar yakin secara mantap bahwa syarat tersebut telah terpenuhi sebelum membuat keputusan, karena jangan sampai kemudian menyesal dan merasa salah memilih, dan akhirnya harus menjalani unfulfilling life. Memang di film terbarunya ini Sutradara Sophie Hyde tidak mencoba masuk terlalu jauh ke sana namun “hidup yang tidak memuaskan” jelas menjadi masalah utama di sini, terutama dari karakter utama kita, Nancy.


Menyajikan kisah yang berkaitan dengan sexuality sebenarnya bukan hal yang baru bagi Sophie Hyde, ‘52 Tuesdays’ film tentang gender transition dengan intimitas yang manis sedangkan tiga tahun lalu lewat ‘Animals’ ia menyuguhkan petualangan dua orang wanita yang mencoba untuk memenuhi keinginan mereka di tengah society expectations terhadap gender mereka. Yang sedikit berbeda di film terbarunya ini ialah dengan nama Emma Thompson sebagai pemeran utama maka membuat atensi yang didapat jelas lebih besar, padahal jika berbicara tentang pola sendiri tidak ada sebuah lompatan yang besar dari Sophie Hyde, ia tetap menempatkan rasa ingin tahu itu di posisi tengah sebagai spotlight dan menaruh sensitifitas yang manis di sekitar permasalahan utama, yakni back again, unfulfilling life.

Menariknya adalah kali ini cerita bermain dengan menggunakan gaya teatrikal klasik, mengandalkan setting yang dominan “mengurung” dua karakter di dalam satu buah kamar hotel dan membawa penonton mengamati interaksi di antara mereka berdua. Yang berkembang secara perlahan tanpa ledakan masalah skala besar, sexual desires jelas menjadi yang paling mencolok tapi ditemani dengan rasa ingin tahu lain, lahir dari rasa takut karakter. Itu trik yang bagus dari Screenwriter Katy Brand, karakter Nancy dengan profesi yang ia miliki sebenarnya sangat mudah untuk jatuh menjadi sosok yang tidak likeable, namun justru narasi memutar masalah lebih dari sekedar “bercinta sesuai pesanan” saja. Plot utamanya sangat mudah untuk diakses, tapi di sisi lain ada emosi yang lahir dari simpati pada karakter yang “belum” bahagia itu.


Belum bahagia di sini konteksnya berbeda pada masing-masing karakter, termasuk pula Leo Grande yang meskipun di dua per tiga awal durasi tampak sangat tenang. Sophie Hyde mendorong proses empathizing itu untuk terus menjadi sorotan, tidak heran jika narasi tidak pernah jatuh menjadi silly dan terperangkap dalam gambaran “menjijikkan” tentang prostitusi. Terus bergulir pergeseran di dalam hubungan dua karakter utama yang saling menggoda, memang tidak semua berisikan dialog yang terasa kuat tapi jauh lebih dari cukup untuk mengikat atensi penonton, terlebih lagi mereka tetap terkoneksi dengan spotlight utama tadi. Hingga tiba ledakan itu yang menunjukkan bahwa kedua karakter telah “belajar” tentang hidup mereka. Terdapat simbiosis mutualisme di sini, pushing each other to be a better person.

Of course with sex and chat yang mencampur professional and private. Yang saya sesalkan adalah bagaimana dramaturgi di bagian akhir dibentuk, memang berhasil membungkus dengan baik semua masalah tapi meninggalkan beberapa potensi yang seharusnya dapat memperkuat pesan utama cerita. Seperti ketika Nancy “melewati” batasan itu, tapi justru disusul dengan rekonsiliasi yang memudahkan dan membuat pesona akhir karakter terasa kurang punchy. Padahal yang menjadi charm terbesar film ini sejak awal adalah pesona dua karakter utama, diperankan dengan baik oleh Emma Thompson dan Daryl McCormack, interaksi yang terbangun terasa menarik dan menyenangkan untuk diikuti terutama berkat banter yang memiliki keteraturan yang menawan, sukses menutup kekurangan dialog yang banal di babak kedua.


Tapi Sophie Hyde dan Katy Brand tentu punya alasan lain di balik cara babak akhir itu dikemas, yang pada dasarnya tidak buruk dan bahkan membuat cerita mendarat dengan baik. Saya juga suka dengan tahapan di dalam plot yang membagi pertemuan menjadi beberapa babak, menciptakan banyak ruang bagi hasrat dan rasa takut agar terombang-ambing di dalam pikiran karakter yang berjuang untuk lepas dari hidup yang tidak memuaskan tadi. Sexual practices for the sake of completeness? Itu lucu, seolah menjadi jalan pintas Nancy untuk merasa lega, padahal yang dia butuhkan adalah lepas dari rasa ragu dan takut lalu menemukan kembali rasa percaya dirinya. Dipentaskan secara cepat dengan gambar-gambar yang menangkap dengan baik gejolak emosi, hal tersebut konsisten tersaji dengan keintiman yang menarik untuk diikuti.

Overall, ‘Good Luck to You, Leo Grande’ adalah film yang cukup memuaskan. Seks jelas menjadi spotlight utama di sini tapi fokus utamanya sebenarnya terletak pada proses empathizing di mana kedua karakter secara implisit pushing each other to be a better person. Bermain dengan gaya teatrikal klasik, Sophie Hyde menyajikan dramaturgy yang oke sehingga plot mudah diakses dan ditemani dengan emosi serta simpati dengan sensitifitas yang manis di sekitar permasalahan utama, yaitu tentang unfulfilling life. Memang a bit lacks bite and depth di akhir, tapi berkat interaksi yang konsisten menarik dan menyenangkan untuk diikuti terutama berkat banter di antara dua karakter utama yang diperankan dengan baik, film ini berhasil mencapai apa yang ia ingin raih sejak awal, tidak terbang tinggi tapi mendarat dengan baik. Segmented.





1 comment :