25 November 2016

Review: I, Daniel Blake [2016]


"When you lose your self-respect, you’re done for."

Kamu pasti tahu satu sistem di mana yang kuat yang bertahan sementara yang lemah memiliki peluang lebih besar untuk hancur berantakan. Itu sistem yang “kasar” memang namun dengan semakin kerasnya dunia sekarang ini hal itu perlahan jadi sesuatu yang “normal” di dalam kehidupan sosial. Di tangan Ken Loach ‘I, Daniel Blake’ mencoba bercerita tentang hal tersebut, pertarungan antara David melawan Goliath dengan menggunakan administration, social system, and of course injustice. It’s a social drama that stirs with tenacity.

Daniel Blake (Dave Johns) merupakan pria berusia 59 tahun asal Newcastle yang bekerja sebagai carpenter. Belum lama ini ditinggal oleh sang istri yang meninggal dunia Daniel mengidap penyakit serius dan perlahan mulai pulih dari serangan jantung. Disarankan oleh dokter bahwa ia belum mampu untuk langsung kembali bekerja Daniel mengajukan sick leave di mana syaratnya ia harus mengisi kuesioner. Sayangnya score test tersebut terlalu rendah sehingga Daniel tidak berhasil mendapatkan sick leave. Daniel mencoba mengajukan banding tapi bersama dengan Katie Morgan (Hayley Squires) serta Dylan (Dylan McKiernan) dan Daisy (Briana Shann) simple man itu masuk ke dalam sistem birokasi dan administrasi yang membuat mereka putus asa.  


Daniel dan Katie merupakan karakter yang menarik baik sebagai individu ataupun sebagai sebuah tim. Daniel merupakan pria yang simple tapi hal itu yang menjadi alasan mengapa ia kemudian terkejut dengan sistem yang sangat rumit dan kaku itu, sementara Katie sendiri merupakan tipe ibu yang di sini berperan sebagai gudang “emosi”, somekind of needy people yang sukses merebut simpati penonton ada perjuangan yang ia lakukan. Bersama mereka membentuk tim yang digunakan dengan baik oleh Ken Loach untuk menampilkan kombinasi harapan dan kegagalan. Di sini kamu bisa lihat ada hope di dalam perjuangan Daniel dan Katie tapi di sisi lain kamu juga akan paham bahwa kemenangan itu akan sulit untuk diraih apalagi jika sudah menyangkut sistem pemerintahan. 


Di situ Ken Loach coba suntikkan pesan utama film ini, isu tentang humanity dengan menggunakan kasus “dehumanisasi” manusia yang dilakukan oleh inhumanized bureaucratic system. Secara logika jika memang Daniel gagal memenuhi syarat di dalam sistem maka normalnya ia harus menerima resiko dari regulasi tersebut, tapi sama seperti karakter Daniel di sini Ken Loach menerapkan pandangan bahwa pada kasus yang dialami oleh Daniel sistem yang dimiliki oleh pemerintah berada di sisi guilty. They’re one to blame di sini, mereka yang harus diubah untuk kembali mewujudkan isu tentang humanity. Times have changed, jika dilihat dari sudut pandang modern hal yang dilakukan oleh Daniel itu tindakan yang keras kepala tapi “accusation” itu digunakan dengan baik oleh Ken Loach membawa film ini hit the target, dengan mengandalkan naturalism menjadi sebuah kisah yang kompleks namun dengan tampilan luar yang terkesan polos. 


Tapi di sisi lain meskipun berhasil menyentuh hati penontonnya ‘I, Daniel Blake’ ini tidak berhasil mencapai potensi terbesarnya. Di sini “drama” itu langsung ditaruh oleh Ken Loach di titik fokus dan dari sana ia mencoba memanipulasi emosi dan viewpoints penonton terhadap masalah Daniel. Mayoritas berhasil tapi ada juga beberapa yang terasa mati rasa. Film dengan penderitaan “small people” semacam ini selalu lebih mudah untuk meraih simpati dan empati penontonnya, belum lagi ditambah kesan natural yang digunakan Ken Loach berhasil membuat penonton merasakan amarah di dalam cerita tapi sayangnya mereka tidak selalu bersinar terang. Terdapat bagian di mana cerita yang predictable dan didominasi angry itu terasa cloudy, cerita yang tipis juga membuat energi film tidak selalu sekuat bagian awal. Upaya satire berhasil digunakan dengan baik, beberapa humor dikombinasikan dengan baik bersama usaha meraih simpati dan empati tadi, but that didn't help much pada minus kecil tadi. 


Untung saja kekurangan itu tidak merusak kualitas ‘I, Daniel Blake’ secara keseluruhan, dibantu juga oleh performa akting yang oke dari Dave Johns dan Hayley Squires minus tadi juga dapat dikatakan segmented dan tergantung pada sudut pandang penonton terhadap isu utama. Humanism or humantity, apapun itu namanya di sini Ken Loach kembali menyuarakan “protesnya” kepada injustice yang terdapat di dalam kehidupan sosial. Menggunakan David melawan Goliath ‘I, Daniel Blake’ merupakan sebuah drama yang dipenuhi dengan angry dengan selingan humor dan satire, a bit melodramatic dengan pace yang santai membawa compelling case itu untuk menciptakan sebuah echo yang mengingatkan penonton pada ketidakadilan di dalam kehidupan sosial. It’s a good moving social drama that stirs with tenacity, not "a punch" just "a pinch". Segmented. 











0 komentar :

Post a Comment