25 November 2016

Movie Review: Harry Potter and the Half-Blood Prince (2009)


"Avada Kedavra!"

Novel Harry Potter and the Half-Blood Prince dapat dikatakan merupakan salah satu novel terbaik dari tujuh Harry Potter novels, setup yang telah coba dibentuk pada lima film sebelumnya kini naik ke tahap selanjutnya di mana sisi protagonist dan antagonis mulai melancarkan “ledakan” satu sama lain, dari "the special one" Harry kini sadar bahwa ia juga merupakan "the chosen one". Menjadi jembatan bagi dua film terakhir berikut adalah film keenam dari Harry Potter film series, Harry Potter and the Half-Blood Prince: half for romance, half for the prince.

Menyadari kekuatan Lord Voldemort (Ralph Fiennes) yang tumbuh semakin kuat Professor Albus Dumbledore (Michael Gambon) merasa bahwa ini waktu yang tepat baginya untuk memberikan sebuah rahasia besar terkait Voldemort kepada Harry Potter (Daniel Radcliffe). Berhasil membujuk Horace Slughorn (Jim Broadbent) untuk kembali mengajar di Hogwarts bukan satu-satunya hal yang ingin Dumbledore raih, ia meminta Harry untuk menjalin koneksi dengan Slughorn dengan tujuan utama mendapatkan memori yang Slughorn miliki terkait Tom Riddle, pria normal yang kemudian berubah menjadi Voldemort. 

Hal tersebut bukan satu-satunya hal yang kini Harry harus hadapi. Ketika menghadiri potions class Harry mendapat sebuah buku panduan yang di dalamnya tertulis merupakan properti miliki Half-Blood Prince. Masih didampingi oleh sahabat setianya Ron (Rupert Grint) dan Hermione (Emma Watson) yang di sisi lain sedang “bertarung” dengan rasa "tertarik" mereka satu sama lain, Harry mencoba mencari tahu siapa sesunguhnya sosok yang menamai dirinya Half-Blood Prince itu sembari terus merasa waspada karena ia juga tahu bahwa kini Professor Severus Snape (Alan Rickman) telah diutus oleh Voldemort untuk menjadi “assisten” bagi Draco Malfoy (Tom Felton). 


Salah satu hal yang paling mudah untuk dirasakan dari Harry Potter film series adalah seiring semakin jauh petualangan dunia sihir itu berjalan semakin besar pula kesan “terrifying” yang ia tampilkan. Film ini berhasil membawa hal tersebut naik ke tingkat selanjutnya dengan menghadirkan “pukulan” yang lebih besar dari sisi antagonis kepada protagonist. Adolescent lengkap dengan segala “weirdness” yang mereka miliki masih menjadi salah satu pusat pada cerita yang kini kembali ditulis oleh Steve Kloves, di sini kita dibawa menyaksikan bagaimana Ron yang sejak awal telah memiliki semacam obvious  and “electrifying” connection dengan Hermione melakukan sebuah blunder yang kemudian membuat hubungan mereka semakin rumit, dikemas dengan efektif oleh David Yates sama halnya seperti ia mengemas romance antara Harry dan juga Ginny, mereka spot on and adorable.

Yang mengejutkan adalah porsi bagian tersebut ternyata cukup besar di film ini, hampir mendominasi setengah dari fokus penonton yang juga terbagi pada usaha Harry menemukan Half-Blood Prince dan juga proses “mempersiapkan” Harry yang sedang dilakukan oleh Dumbledore dengan menggunakan memori dari masa lalu itu. Di sini Harry telah berani menyatakan dirinya sebagai the Chosen One dan itu berkombinasi dengan baik bersama proses menggabungkan berbagai titik yang ia lakukan untuk kemudian sampai pada beberap konklusi, salah satunya terkait masalah Horcrux itu. Cara David Yates dan juga Steve Kloves membentuk proses untuk sampai di sana itu terasa cukup baik, relationship-focused memang namun dengan dipresentasikan secara mature apa yang Harry hadapi dan temukan di film ini berhasil menjadi another setup yang manis untuk petualangan selanjutnya. 


David Yates yang kembali mengisi bangku sutradara melakukan pekerjaan yang baik di sini terutama pada cara ia mendorong setiap elemen cerita bertumbuh namun di sisi lain menyeimbangkan dan menggabungkan mereka sebagai satu kesatuan. Elemen fantasi tentu saja masih mendominasi namun di sini karakter dicoba untuk lebih “membumi” sehingga koneksi di antara mereka dengan penonton menjadi lebih kuat jika dibandingkan dengan film sebelumnya. Hal tersebut merupakan strategi yang sangat baik dari David Yates karena sejak awal penonton telah dipersiapkan untuk bertemu dengan salah satu momen paling menyedihkan di dalam Harry Potter series. Sama seperti eksekusi pada Voldemort yang dieksplorasi lewat sejarah masa lalunya cara Yates mengemas momen tersebut juga cukup efektif, tidak tampak “wow” namun terdapat punch yang kuat dari kepergian Dumbledore yang turut menambah besar kadar “terrifying” yang dimiliki petualangan Harry Potter.

Apa yang Harry lakukan di sini memang cukup variatif dengan usaha menemukan siapa itu Half-Blood Prince menjadi fokus utama namun jika dilihat secara lebih luas film ini berusaha mengkonfirmasi bahwa the Chosen One kini semakin kuat dan semakin matang meskipun belum sepenuhnya siap untuk memegang tanggung jawab yang ditinggalkan Dumbledore padanya. Script berhasil membentuk arena bermain yang cukup baik agar hal tersebut dapat tercapai, berisikan beberapa emotional punch yang oke, sama seperti yang dilakukan oleh Michael Goldenberg di film sebelumnya di sini Steve Kloves berhasil membentuk script yang compact tanpa kehilangan the main plot points, berhasil “memasak” materi-materi penting tanpa kehilangan pula beberapa detail kecil yang memiliki peran penting dalam memperluas dan memperkuat setup bagi chapter selanjutnya meskipun pada akhirnya core plot harus diakui menjadi terasa minimalis dan sedikit terlalu ringan jika dibandingkan dengan apa yang diberikan oleh novelnya. 


Tidak heran terdapat beberapa momen di mana cerita menghadirkan kesan yang sedikit unfocused, sedikit goyah pada berbagai aksi basa-basi terutama pada elemen romance yang sempat terkesan seperti sebuah soap opera itu. Elemen nomance merupakan sidekick di dalam petualangan Harry Potter dan teman-temannya di dunia sihir namun di sini kuantitas mereka yang gemuk itu justru membuat kisah di masa lalu yang dimiliki oleh Tom Riddle menjadi tidak begitu bersinar yang tentu saja memiliki pengaruh pula pada pencarian Harry terhadap masalah terkait Half-Blood Prince itu. Beberapa dari elemen romance itu memang sukses menghadirkan comedic relief yang oke namun meskipun seimbang mereka kerap menjadi dinding yang membatasi light tone and dark tone untuk terintegrasi secara sempurna. Untung saja spirit dari masing-masing bagian kuat sehingga bagian momen menyedihkan itu berhasil meninggalkan “BANG” yang memikat dan memorable.

Pencapaian dari momen yang dapat dikatakan merupakan “puncak” dari film ini itu juga tidak lepas dari ledakan emosi yang penonton rasakan dari karakter yang diperankan dengan baik oleh divisi cast. Trio utama kembali tampil baik, Daniel Radcliffe berhasil dengan baik menunjukkan bagaimana peran Harry Potter tumbuh semakin besar di dalam cerita sementara Rupert Grint dan Emma Watson bermain manis di elemen romance. Supporting cast kembali hadir dengan kualitas yang memikat, England’s finest actors seperti Gambon, Rickman and Broadbent berhasil melaksanakan peran kunci mereka dengan baik sementara Maggie Smith, David Thewlis, Helena Bonham-Carter, Timothy Spall, Julie Walters dan Robbie Coltrane berhasil menjadi supporter yang oke di belakang mereka. Kinerja cast sesuai dengan ekspektasi, sama seperti kualitas elemen teknis seperti special effects yang terasa memikat, cinematography yang manis dari Bruno Delbonnel, hingga permainan warna dengan kontribusi yang oke terhadap atmosfir cerita. 


Overall, Harry Potter and the Half-Blood Prince adalah film yang memuaskan. Kembali dengan mature tone film keenam ini mencoba menggabungkan mystery solving dengan elemen romance, mencoba menyeimbangkan tone dengan berbagai comedic relief yang berhasil tampil di note yang tepat. Mereka tidak terintegrasi secara sempurna namun mengingat bahwa Half-Blood Prince imo merupakan salah satu novel Harry Potter dengan tingkat “difficulty” tertinggi untuk diadaptasi apa yang Yates dan Kloves terasa efektif dan on target. Fokusnya masih sebagai setup yang merajut benang merah menuju chapter selanjutnya namun ‘Harry Potter and the Half-Blood Prince’ berhasil lakukan itu dengan disertai dramatic depth yang mumpuni, karakter dan konflik tidak sekedar maju namun juga mencengkeram penonton semakin kuat dan dalam. Beautifully filmed this creepy and lovely instalment berhasil membawa petulangan di dunia sihir itu terasa semakin exciting and compelling.











0 komentar :

Post a Comment