23 November 2016

Movie Review: Harry Potter and the Order of the Phoenix (2007)


"You're a fool, Harry Potter."

Dua film pertama sangat faithful terhadap sumber cerita, kemudian dua film selanjutnya berhasil untuk tidak berakhir dengan status yang sama seperti dua film pertama, dan film kelima ini take the liberties naik satu level lebih tinggi terhadap petualangan Harry Potter pada media film, hal yang kemudian membuat respon terhadap output yang ia hasilkan menjadi split terutama pada lovers of the book yang kecewa karena berbagai “aspek” di dalam novel tidak hadir di dalam film. Berikut adalah film kelima dari Harry Potter film series, Harry Potter and the Order of the Phoenix, a darker and better metaphors about a growing up hero.

Harry Potter (Daniel Radcliffe) kembali harus berurusan dengan Dudley Dursley (Harry Melling), sebuah masalah yang terhitung kecil jika dibandingkan dengan masalah lainnya yang kemudian datang menghampiri Harry. Para Dementors menyerang Harry dan memaksanya untuk menggunakan ilmu sihir sebagai bentuk pertahanan diri. Harry selamat dari serangan tersebut namun tidak dari jerat hukuman akibat aksinya di dunia para muggle. The Ministry of Magic mencoba menjatuhkan hukuman berat di mana Harry dikeluarkan dari Hogwarts, namun ia lolos berkat argument dari Professor Dumbledore (Michael Gambon).

Kondisi tersebut kemudian “memudahkan” Professor Dolores Umbridge (Imelda Staunton) ketika ia bergabung dengan Hogwarts sebagai guru baru Defense Against the Dark Arts. Dolores membawa misi untuk meredam gagasan bahwa Dark Lord telah kembali, melakukan berbagai perubahan bersifat dictatorial di dalam Hogwarts salah satunya dengan menolak mengajarkan defensive spells. Akibat hal tersebut Hermione (Emma Watson) bersama dengan Ron (Rupert Grint) mencoba meyakinkan Harry untuk membentuk kelas rahasia yang mengajarkan para siswa defensive spells, later called Dumbledore's Army.  


Jika melihat sinopsis di atas mungkin cerita yang dimiliki ‘Harry Potter and the Order of the Phoenix´ akan terkesan simple namun sebenarnya ini merupakan film dengan novel yang merupakan the longest book of the series. Perubahan sutradara kembali terjadi yang kini diambil alih oleh David Yates namun tidak itu saja karena Steve Kloves absen di sini dan digantikan oleh Michael Goldenberg sebagai screenwriter. Menariknya perubahan besar di dua posisi utama itu tidak membuat film ini justru hadir dengan “taste” yang berbeda, justru dengan mudah berhasil menampilkan kemegahan dan kegembiraan yang dimiliki Harry Potter film series terutama sejak dua film sebelumnya. Petualangan Harry Potter sudah menemukan pijakan yang kuat sejak film ketiga dan yang film ini kembali memperkuat pijakan tersebut lewat berbagai event yang kembali menaruh fokus seperti film sebelumnya, menaruh cute stories di samping dan mengisi panggung utama dengan berbagai dark tales yang kembali naik satu level lebih tinggi.

Harry Potter and the Order of the Phoenix merupakan film pertama di mana penonton merasakan cerita dan juga karakter finally fully grown up dari kisah para remaja menjadi perjuangan para young-adult melawan “bencana” yang siap menerjang mereka. Bahaya semakin meningkat, dari ilusi yang Harry dapatkan hingga eksistensi Dolores di dalam Hogwarts untuk kemudian diakhiri dengan sebuah explosive ending, the story becomes more darker and more mature. Terdapat konflik yang menarik terkait “dinding” yang diciptakan oleh Dolores dan usaha para siswa untuk menghancurkan dinding tersebut, dikemas dengan baik sehingga tidak pernah terasa kering maupun terasa terlalu kompleks, memiliki semacam gravity yang mampu mengikat penonton untuk merasa terlibat di dalam perjuangan Harry dan anggota Dumbledore's Army lainnya. Masih terdapat cute things seperti Harry first kiss misalnya dan juga perkembangan hubungan Hermione dan Ron yang tampil secara implisit, namun mereka tidak pernah mencuri atensi secara berlebihan. 


Alhasil the drama moving forward in a good way, mencoba membuat fokus utama yang telah hadir di dua film sebelumnya semakin padat dan kuat yaitu bahwa ini merupakan kisah tentang seorang remaja yang terjebak di dalam “bencana” akibat masa lalunya. It is dark, it is serious, namun menariknya tidak pernah terasa terlalu stuffy. Tidak hanya “membuang” game sequences saja namun David Yates juga seperti menolak untuk go deeper pada berbagai elemen pendamping di dalam cerita seperti masalah politik dan romance misalnya, mereka eksis namun sebatas just enough to keep the narrative terasa dinamis. Itu sebuah keputusan yang tepat karena dengan demikian fokus pada masalah utama yang dialami oleh Harry menjadi semakin kuat dan padat. Kita dapat merasakan kesan terisolasi yang kemudian membuat Harry dan teman-temannya mencoba untuk bergerak aktif, mengambil action ketimbang sebatas menjadi korban yang terjebak di dalam berbagai rencana jahat yang disusun oleh Voldemort dan anak buahnya.

Progress dari berbagai events di dalam cerita mungkin tidak terkesan “wow” namun terdapat proses storytelling yang terasa intim di sini, interaksi personal yang tidak hanya membuat cerita flows and moves saja namun juga pay attention terhadap perkembangan feel yang dimiliki tujuan utama petualangan Harry Potter itu sendiri, yaitu good versus evil. Film ini dapat dikatakan berakhir dengan “tenang” namun di dalam ketenangan itu penonton dapat merasakan bahwa bahaya dan bencana yang berasal dari kembalinya Lord Voldemort telah bergejolak semakin kencang. Presentasi yang mencoba menampilkan the wonder of magic masih menjadi bagian dari film ini namun di sisi lain hal tersebut kini bertarung dengan image bahwa kini magic itu telah tumbuh menjadi sesuatu yang berbahaya dan juga menakutkan. Dengan kesan more substance di film ini cerita dan karakter berkembang dengan baik namun begitu pula dengan darkness yang kini telah menyebar semakin luas dan semakin kuat. 


Pencapaian tersebut juga tidak lepas dari kontribusi Michael Goldenberg yang mengolah novel tebal itu menjadi script yang padat dan tepat sasaran untuk durasi 138 menit. Penonton yang membaca novelnya tentu ingin agar film dapat menggambarkan semua hal menarik yang terdapat di dalam novel tersebut, tidak heran banyak di antara mereka yang kecewa pada film Harry Potter and the Order of the Phoenix. But I think Michael Goldenberg melakukan pekerjaan yang sangat baik di sini, berani untuk membuang cukup banyak source material untuk menciptakan screenplay yang jernih dan mampu bergerak cepat dan tepat. Fokus film ini terasa sharp karena screenplay tidak mencoba menghadirkan plot yang dapat melepas cengkeramannya pada atensi penonton. Michael Goldenberg paham bagian mana yang bersifat penting, menggunakan mereka untuk membentuk that overstuffed novel menjadi paket yang lebih compact tanpa kehilangan the main plot points. And it works really well, plot menjadi ramping, fokus menjadi lebih tight, urgensi pada dramatisasi terasa mumpuni dan penonton tidak merasa “lost” di dalam cerita.

Pengemasan yang efektif seperti itu juga terjadi di elemen teknis seperti special effects yang bekerja efektif to produce wonder dengan permainan imajinasi yang oke, battle di bagian akhir itu juga terasa thrilling berkat special effects. Begitupula dengan kinerja dari divisi cast di mana the young cast menghadirkan perkembangan yang manis di sini terutama Daniel Radcliffe yang  grown into the role of Harry dengan baik. Supporting aktor lainnya kembali menampilkan kinerja yang dependable, Michael Gambon, Maggie Smith, Ralph Fiennes, Alan Rickman, Gary Oldman, dan Emma Thompson. Terdapat tiga sosok baru yang mencuri atensi di sini, pertama Imelda Staunton yang berhasil membuat penonton “membenci” Dolores dengan cara yang annoying, berikutnya Helena Bonham Carter dengan penampilan singkat namun berkesan sebagai Bellatrix Lestrange, dan yang terakhir adalah Evanna Lynch, ia membuat Luna Lovegood menjadi salah satu hal yang paling standout di film ini, calm, quirky, and enchanting. 


Overall, Harry Potter and the Order of the Phoenix adalah film yang memuaskan. Melanjutkan character development David Yates dan Michael Goldenberg membawa petualangan Harry Potter dan teman-temannya itu berisikan berbagai hal yang lebih kompleks and darker dengan fokus utama perkembangan dari ancaman yang ditebar Voldemort pada Harry Potter. Dengan plot yang ramping, fokus yang sharp dan padat, ini merupakan sebuah well-paced adventure yang terasa menyenangkan, masih memiliki berbagai cutesy namun di sisi lain berhasil memperkuat set up bagi berbagai event yang akan hadir selanjutnya dengan tone yang darker dan tentu saja better jika dibandingkan dengan film sebelumnya.











0 komentar :

Post a Comment