27 November 2016

Movie Review: Harry Potter and the Deathly Hallows - Part 1 (2010)


"I must be the one to kill Harry Potter."

Keputusan memecah novel terakhir dari petualangan Harry Potter dan teman-temannya di dunia sihir menjadi dua bagian film sebenarnya memiliki dampak positif dan juga negatif. Positifnya adalah dengan begitu terdapat kesempatan yang lebih besar bagi materi dari novel untuk hadir di layar lebar, namun dari sana pula dampak negatif kemudian dapat lahir, jika kesempatan itu tidak dimanfaatkan dengan baik salah satu dari dua part tersebut punya potensi besar untuk kurang berhasil menjadi sebuah sajian yang padat. The beginning of the end, berikut adalah film ketujuh dari Harry Potter film series, Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 1, another puzzle solving journey with accio and one cute but depressing little dance.

Dengan kematian Albus Dumbledore (Michael Gambon) kini Hogwarts jatuh ke dalam kekuasaan jahat di mana Severus Snape (Alan Rickman) mengambil alih kendali utama sebagai kepala sekolah. Perubahan drastis terjadi di sana, hal yang tidak diketahui oleh Harry Potter (Daniel Radcliffe) serta Ron (Rupert Grint) dan Hermione (Emma Watson). Lewat aksi penyamaran yang dipimpin oleh Alastor 'Mad-Eye' Moody (Brendan Gleeson) serta dibantu anggota the Order of the Phoenix lainnya Harry diungsikan ke rumah keluarga Weasley yang rencananya akan menggelar acara pernikahan Bill Weasley (Domhnall Gleeson) dan Fleur Delacour (Clémence Poésy).

Sebelum acara tersebut Harry bersama dengan Ron dan Hermione mendapat wasiat dari Dumbledore melalui Rufus Scrimgeour (Bill Nighy). Minister of Magic yang baru itu menyerahkan tiga benda, sebuah buku berjudul Tales of Beedle the Bard bagi Hermione, deluminator untuk Ron, dan Harry mendapat Golden Snitch yang pertama kali ia tangkap di pertandingan Quidditch. Tiga benda tersebut menjadi alat yang kemudian membantu Harry, Ron, dan Hermione ketika mereka melarikan diri saat sebuah serangan menyerang acara pernikahan Bill dan Fleur, berusaha memecahkan teka-teki untuk menemukan Horcrux yang harus mereka hancurkan agar dapat mengalahkan Lord Voldemort (Ralph Fiennes). 


Kita tahu bahwa sejak pertama kali versi layar lebarnya hadir respon terhadap film-film Harry Potter tidak lepas dari para pecinta novel yang kurang senang karena terdapat bagian dari novel yang tidak hadir di film. Kali ini mereka mungkin akan berada di sisi sebaliknya. Bukan berarti dengan begini tidak akan ada bagian yang masih tidak mendapat kesempatan tampil namun David Yates dan juga Steve Kloves yang di sini kembali menjadi screenwriter memanfaatkan dengan cukup baik kesempatan pada ruang atau arena bermain yang kini otomatis lebih luas ketimbang film-film sebelumnya. Namun seperti yang disebutkan di awal tadi bahwa sejatinya keputusan membagi dua novel terakhir Harry Potter itu dapat pula menimbulkan dampak negative yang sayangnya juga menjadi bagian dari hasil akhir Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 1.

Seolah belum cukup puas menjadikan Half-Blood Prince sebagai “jembatan” menuju bagian pamungkas di sini penonton kembali dibawa ke dalam petualangan yang dapat dikatakan merupakan another setup bagi bagian puncak di part 2. Tidak buruk di mana Yates dan juga Kloves berhasil memanfaatkan kesempatan itu terutama pada penggambaran kondisi depresif yang kini melanda dunia sihir pasca tewasnya Dumbledore. Di satu momen Harry dibawa untuk melakukan kilas balik ke tempat di mana ia dulu kehilangan orangtuanya, tiga karakter utama juga merasakan kondisi di mana rasa bingung mereka berkombinasi bersama tekanan yang semakin besar pada upaya menemukan Horcrux, berbagai emosi dan inferiority hadir ketika mereka “menunggu” kemunculan clue salah satunya digunakan dengan baik untuk membuat elemen romance bertumbuh secara implisit. 


Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 1’ secara efektif membangun koneksi antara film sebelumnya dengan part 2 dengan didominasi kontemplasi di dalamnya. Dari isolasi, beban, hingga rasa frustasi, mereka menjadi warna utama film ini, dan itu berhasil digunakan dengan baik oleh Yates dan juga Kloves untuk memperpanjang nafas dari petualangan Harry Potter. Tidak ada kesan menjemukan di sini meskipun script tidak punya banyak materi yang dapat digunakan untuk meninggalkan punch, dari aksi kejar di bagian awal kita dibawa menyaksikan aksi menyamar yang sukses menjadi ladang tawa lewat berbagai aksi komikal yang tepat sasaran untuk kemudian bertemu dengan momen menyedihkan lewat kematian Dobby. For this one apresiasi layak diberikan pada David Yates, cara ia membentuk emosi di momen tersebut terasa sangat manis, di sini menjadi sebuah puncak yang oke bagi pain and loss yang telah hadir sejak awal.

Tapi kembali lagi ke masalah di awal tadi bahwa hal negatif juga menjadi bagian dari hasil akhir Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 1 di samping berbagai hal positif yang eksis dari keputusan memecah novel menjadi dua bagian film. Simply to say, ini terasa kurang padat, dengan materi yang telah jauh lebih kompleks punch yang ia hasilkan sama berada di level yang sama dengan film Chamber of Secrets yang notabene memiliki materi jauh lebih simple. Berteman dengan emosi yang kompleks dan kondisi yang mengerikan namun sayangnya di sini Harry, Ron, dan Hermione tampak seperti remaja yang menunggu kedatangan bus sekolah yang akan mengantar mereka ke Hogwarts.  Tidak heran ini terasa seperti sebuah “tugas” yang hanya sebatas harus diselesaikan sebagai syarat untuk dapat melangkah ke bagian selanjutnya, sebuah studi tentang karakter dan juga konflik dengan narasi yang kerap terasa seperti berputar di dalam lingkaran dan tidak memiliki "thrust" dengan power yang menawan. 


Karena tidak banyak hal yang terjadi di dalam cerita maka David Yates coba akali dengan menaruh fokus pada karakter. Itu harus diakui sebuah trik yang oke, animated sequence itu juga berhasil menjadi salah kurang penting namun berhasil menjadi pemanis yang oke. Tapi meskipun karakter dan konflik mengalami perkembangan yang signifikan mereka tidak hadir di dalam presentasi dengan kualitas excitement seperti beberapa film sebelumnya. Ini terasa fragmented, dramaturgi terasa kurang kokoh, kualitas highlights juga tidak begitu menonjol karena terasa merata seperti momen kematian Dobby, that cute and depressing little dance, dan tentu saja aksi menyamar. Selebihnya ini terasa semacam ekspedisi, mungkin akan bekerja dengan baik ketika hadir dalam bentuk tulisan di novel namun ketika ditampilkan dalam bentuk visual mereka yang menyebabkan cerita kerap terasa sluggish, momen menunggu datangnya inspirasi dengan pace yang terasa uneven.

Tapi yang harus diingat di sini adalah Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 1 berhasil menjalankan tugasnya untuk menyelesaikan beberapa tugas untuk menciptakan ruang yang lebih besar dan leluasa bagi part 2, proses menemukan Horcrux berhasil dicicil dengan baik di sini. Yang disayangkan adalah progress cerita yang cukup signifikan itu tidak menciptakan enjoyment yang kuat sehingga kemunculan cliffhanger itu juga disertai dengan rasa antiklimaks. Mungkin akan terkesan bahwa saya tidak setuju novel terakhir dibagi menjadi dua, no, justru senang hal itu dilakukan namun ekspektasinya tentu tetap pada mendapat sajian yang meninggalkan perasaaan “komplit” ketika ia berakhir meskipun cerita masih menggantung. Yates berhasil menghadirkan sajian yang sukses mengunci atensi penonton, visual kembali terasa impresif terutama cinematography, kinerja cast juga kembali terasa apik dengan beberapa di antara mereka mendapat kesempatan untuk show some depth, tapi in the end for me there’s no payoff here. Perbedaannya sangat signifikan ketika menyaksikan Deathly Hallows back-to-back. 


Overall, Harry Potter and the Deathly Hallows – Part 1 adalah film yang cukup memuaskan. Dari delapan film Harry Potter ‘Deathly Hallows – Part 1’ merupakan satu-satunya film yang meninggalkan rasa mixed. Sebagai pembaca tentu saja senang mendapati kesempatan itu dimanfaatkan dengan baik oleh sutradara dan screenwriter, berbagai detail yang mungkin hilang jika novel tidak dipecah menjadi dua berhasil muncul di sini, mereka sukses meneruskan konstruksi cerita untuk mencapai titik puncak namun juga “memperkaya” isi dari petualangan Harry Potter, namun di sisi lain hal tersebut membuat presentasi menjadi terasa kurang padat. Sulit untuk mengatakan ini merupakan sebuah disappointment karena ia menjalankan tugasnya dengan baik dan juga efektif tapi another setup satu ini terasa unfinished and a little bleak. One thing for sure ‘Harry Potter and the Deathly Hallows – 1’ is one of the weakest films in the series. Obliviate. 











0 komentar :

Post a Comment