26 November 2016

Review: Moonlight (2016)


"You're the only man who ever touched me."

Emosi merupakan faktor penting setiap karakter dalam menunjukkan perasaan mereka, tidak ayal hal tersebut menjadi bagian penting pula dari sebuah film. Tapi tidak semua filmmaker menggunakan emosi dengan “memasak” mereka sampai matang karena ada pula yang memilih menampilkan mereka secara mentah, raw emotion yang bersifat laten, eksis namun tersembunyi, bermain di bawah permukaan lalu perlahan membawa kamu sampai di klimaks. Hal tersebut diterapkan pada film ini, Moonlight, sebuah film tentang identitas dengan menggunakan perjuangan manusia. When Carol meets Boyhood, it’s a tender and heartfelt drama.

Moonlight bercerita tentang karakter sentral pada tiga rentang usia, Little (Alex R. Hibbert), Chiron (Ashton Sanders), dan Black (Trevante Rhoses). Ketika di sekolah dasar Little menjadi “sasaran” dari teman-temannya, ia menjadi anak yang pemalu dan memendam amarahnya. Ketika high school hal tersebut semakin parah, untung saja Little memiliki teman bernama Kevin (Andre Holland) yang bersedia menerimanya apa adanya. Beranjak dewasa dunia semakin terasa sulit baginya, dari kehadiran drug dealer bernama Juan (Mahershala Ali) hingga ibunya yang drug-addicted, Paula (Naomie Harris).  


Sinopsis tadi memang sederhana dan jika dilihat dari “luar” saja film yang ditulis dan disutradarai oleh Barry Jenkins ini juga tampak sederhana. Sudah cukup banyak film yang mencoba melakukan apa yang Jenkins coba hadirkan di sini, film yang berbicara tentang karakter yang belajar dalam proses menemukan identitas mereka. Tapi di antara film-film itu dapat dikatakan cukup sedikit yang mampu meninggalkan kesan kuat, film yang tidak Cuma sekedar menunjukkan saja tapi juga mengekplorasi secara lebih jauh tentang bagaimana karakter mendefinisikan, melihat, dan memproyeksikan dirinya. Menggunakan formula klasik yaitu human struggle dari kaum minoritas Jenkins berhasil hadirkan itu di sini, dari bagian pembuka membawamu ke dalam sebuah stuktur dengan tiga stages untuk mempresentasikan kekuaran dan kelemahan dari manusia serta lingkungan dan sosial. 


Paragraf tadi mungkin membuat Moonlight jadi terkesan berat tapi nyatanya tidak. Ini adalah film yang mencoba “berbicara” tentang hal-hal klasik dan klise tentang “the human like” dalam presentasi yang padat dan memikat. Kekuatan utamanya adalah Jenkins berhasil membuat kesan klise itu lalu menyuntikkan charm pada cerita dan juga karakter, membuat kisah tentang boy becoming a man itu sebagai sebuah study yang tenang dan lembut namun terus tumbuh semakin dan semakin kuat di dalam pikiran penontonnya. Hampir semua bagian di Moonlight terasa low-key tapi mereka terus mengalir secara fluid and smooth di mana “berat” dari emosi di sisi lain terus berkembang semakin besar. Di sana raw emotion bermain, Jenkins berhasil melumasi karakter dan cerita menjadi satu kesatuan yang tidak hanya natural saja tapi juga “mengakomodasi” penonton untuk merasa terlibat semakin dalam pada kisah yang dilalui oleh karakter. 


Hasilnya tergantung bagaimana penonton “merasakan” apa yang karakter alami dan hadapi. Itu mengapa saya menyinggung ‘Carol’ di bagian awal tadi karena setelah selesai menonton film ini saya merasakan apa yang saya rasakan dulu ketika selesai menonton Carol. Di sini Jenkins menggunakan masalah yang dapat dikatakan “tragis” lalu mencoba evoke karakter untuk bangkit dari tekanan dan meraih apa yang ia inginkan. Dari discover lalu disappointment cerita dan karakter terus berkembang menjadi sesuatu yang evokatif bagi penontonnya, dikendalikan dan dibangun dengan baik oleh Jenkins dalam alur yang well-paced. Cerita yang dimiliki oleh Moonlight ini biasanya akan digunakan oleh filmmaker untuk dibakar dengan api yang berkobar besar, tidak jarang ada intervensi hal lain di dalamnya seperti pernyataan politik, tapi di sini Jenkins lebih menekankan sisi humanist, sebuah coming of age yang terasa universal meskipun terdapat hal-hal khusus seperti black issues dan masculinity di dalamnya. 


Hal terbaik lainnya yang Moonlight punya disamping script, cinematography, dan editing adalah para pemerannya dengan casting yang pas terutama pada tiga pemeran karakter utama. Batasan kontribusi antara lead dan supporting di sini tidak begitu besar sehingga para aktor memiliki peran yang cukup merata untuk mempertahankan pesona Moonlight. Alex Hibbert dan Ashton Sanders tampil impresif, dari gerak tubuh sederhana dan mata mereka menampilkan perjuangan Little dan Chiron secara oke, dari ketegangan hingga amarah dan permusuhan, lalu dilanjutkan oleh Trevante Rhodes yang membawa masuk kontras yang oke. Terdapat inner life yang oke dari karakter sentral, dari his face, lalu diam, hingga semangat untuk akhirnya berbicara, mereka dibentuk dalam proses yang terasa menarik. Karakter lain juga diperankan dengan baik oleh cast, Janelle Monáe sebagai Teresa, Naomie Harris sebagai ibu yang “remuk”, hingga Mahershala Ali yang terrific sebagai dealer dan sosok ayah. 


Kudos untuk Barry Jenkins yang berhasil membentuk hal-hal klasik tentang proses menemukan identitas itu menjadi sajian yang lembut dan natural. Isu yang sering ditampilkan menggunakan karakter dengan hati sekeras batu itu tidak dimodifikasi secara frontal oleh Jenkins tapi dengan formula yang sama ia berhasil tampilkan vulnerability itu dengan sensitivity yang memikat, sebuah eksplorasi dan meditasi dari kaum minoritas dalam proses mencari jati diri. Dibantu dengan performa akting yang impresif menggunakan raw emotion dalam berbagai time jumps Jenkins ciptakan sebuah potret yang intim dan tampak sederhana namun menampilkan isi yang luas dan kompleks, menggabungkan pengalaman karakter yang discover his life, belajar tentang help and love, tentang dirinya dan juga dunia. It’s a tender and heartfelt drama. Segmented.











0 komentar :

Post a Comment