11 December 2014

Movie Review: Clouds of Sils Maria (2014)


Semakin besar ambisi yang anda miliki maka semakin besar pula tantangan yang harus anda hadapi dan atasi, begitupula dengan hasil akhir serta masalah yang mungkin akan anda ciptakan. Ada sinkronisasi diantara bagian-bagian tadi, dengan kunci terletak pada bagian tengah tadi, bagaimana itu dihadapi dan diatasi. Film ini sangat besar pada ambisi, namun sayangnya hal tersebut tidak tampil sama persis di bagian lainnya. Clouds of Sils Maria: a disjointed character study about insecurity. For your consideration, in best supporting actress category, Kristen Stewart.

Seorang aktris bernama Maria Enders (Juliette Binoche) sedang berada didalam kereta api yang bergerak membawanya menuju Swiss, tempat dimana ia akan menerima sebuah penghargaan, namun ketika belum sampai di tujuan melalui asistennya yang bernama Valentine (Kristen Stewart), Maria justru menerima sebuah berita dukacita yang langsung membuat emosi Maria yang tadinya stabil mulai terguncang. Wilhelm Melchior, penulis dan sutradara sebuah drama panggung berjudul Maloja Snake yang sukses membawa karir akting Maria melesat pesat telah meninggal dunia, dan berita tersebut semakin memperkeruh pikiran Maria yang kala itu sedang menghadapi masalah lainnya. 

Ternyata masalah tidak berhenti sampai disana dimana Maria di undang untuk kembali tampil dalam Maloja Snake versi terbaru. Tentu bukan sesuatu yang sulit jika menilik pekerjaan tersebut pernah ia lakukan sebelumnya, tapi yang menciptakan sebuah dilemma besar adalah peran yang Maria kini dapatkan. Dahulu ia memainkan Sigrid, seorang wanita muda kuat yang penuh gairah dan memikat, namun kini ia harus memainkan karakter Helena, seorang boss yang pada akhirnya melakukan aksi bunuh diri karena Sigrid, dan refleksi antara dua karakter itu semakin mengganggu Maria ketika ia melihat pemeran baru Sigrid, Jo-Ann Ellis (Chloë Grace Moretz).


Karya terbaru dari Olivier Assayas (Summer Hours, Something in the Air) ini merupakan sebuah studi karakter yang penuh intrik, posisinya bukan pada misteri yang ia miliki tapi terletak pada bagaimana cara ia mempermainkan penonton dan juga mempermainkan dirinya sendiri. Maksudnya apa? Ya, terdengar aneh memang, tapi ketika adegan di kereta api mulai bergeser menuju pegunungan Alpen itu kita akan memperoleh sebuah perubahan dan misi sederhana yang tenang menjadi sebuah kekacauan dari cerita yang berisikan kekacauan, mengamati satu karakter yang berjuang mengalahkan rasa takutnya, satu karakter yang membantu karakter sebelumnya untuk keluar dari rasa takutnya, penuh gesekan dan aksi tarik dan ulur bahkan sedikit kesan frustasi, dan seperti latar yang ia gunakan semua terbentuk dengan tenang serta cenderung sedingin pegunungan yang sesekali akan menguasai layar itu.

Awalnya semua terbangun dengan menarik, dan itu tidak terlepas pada cara Olivier Assayas menciptakan pondasi pada cerita dan karakter. Dua bagian ini sangat meyakinkan ketika semuanya baru saja dimulai, perputaran masalah diawal itu terasa menarik terutama pada pertanyaan apakah Maria akan menerima tawaran yang diberikan kepadanya, dan karakterisasi yang ditempelkan kepada dua karakter utama semakin memperbesar daya tarik hal tersebut. Tapi ternyata dibalik kesan sederhana pada misi yang ia bawa tadi film ini punya keinginan yang jauh lebih besar dari itu, ia tidak hanya ingin menjadi penggambaran bagaimana aktris bertarung dengan masalah yang ia hadapi tetapi juga menjadi sebuah sindiran pada industri perfilman itu sendiri, dan celakanya ambisi tersebut yang justru menjadikan film ini seperti menjadi beberapa pecahan sketsa kecil yang jika digabungkan terasa kurang harmonis.


Tidak akan mengatakan alur cerita yang ia miliki terasa membosankan, rasa penasaran terus hadir dibalik tampilan dingin karakter serta perputaran masalah yang secara kasat mata memang seolah tidak berkembang itu, tapi momen dimana kita menyaksikan Maria bermain dengan rasa ragu dan menimbang-nimbang keputusannya itu terasa monoton. Daya tarik stabil, tapi tidak dengan energi, semangat yang terus mencengkeram atensi penontonnya, Sils Maria mencoba terlalu keras untuk mengolah masalah sederhana itu tampak serius. Tiap bagian memang terasa punya makna sendiri apalagi dengan kehadiran Valentine yang disini tidak hanya sebatas pelengkap semata, ia juga membawa isu kedalam cerita, tapi seringkali pesan dari tiap bagian itu dapat ditangkap dengan sangat mudah tapi celakanya meskipun tidak akan menghasilkan sesuatu yang lebih kuat dan dalam daripada itu Olivier Assayas justru terus menerus mencoba memperdalam mereka, sebuah tindakan yang terasa kurang penting.

Jadi jangan heran atensi anda yang dengan cepat ia raih di awal tadi muncul akan pergi dengan kecepatan yang sama besarnya, karena dibalik luasnya ruang cerita progress yang ia berikan terasa sangat minim, baik itu pada cerita juga emosi yang dimiliki karakter. Aksi berlama-lama didalam nostalgia itu bukannya meninggalkan kesan sebuah upaya untuk memperdalam masalah tapi justru usaha yang disengaja, seolah berbisik pada kita untuk melihat jauh lebih dalam pada karakter padahal tidak ada perkembangan yang berarti yang terjadi disana. Banyak dialog penuh gesekan antara Maria dan Valentine tapi kurang mampu membantu untuk mengeksplorasi dua individu itu bahkan potensi untuk tampil provokatif juga sering tenggelam dalam pertarungan atau distorsi antara persepsi dan motivasi dalam dunia seni yang seolah terus di jaga ambigu oleh Maria.


Dari sisi teknis ini oke, potensi pada visual didaerah pegunungan berhasil dimanfaatkan dengan baik, cinematography juga tampil memikat bahkan tidak sedikit yang terasa manis, tapi itu tidak cukup untuk membawa Clouds of Sils Maria keluar dari situasi tersesat yang ia alami, membantunya terus menarik sembari mencari jalan keluar. Ini terlalu kontemplatif dalam mengembangkan isu yang tidak terlalu gemuk, seperti menyaksikan dua karakter yang memutuskan keluar sejenak dari gegap gempita kehidupan dengan melakukan meditasi di sebuah pegunungan dan perlahan kehilangan sinar mereka, metafora berlebihan dari sesuatu yang sederhana meskipun terus dikemas dengan cekatan, aksi mengembara yang tersesat ketika sedang berusaha menemukan tujuan dan makna dari rasa takut atau rasa tidak aman yang tiba-tiba menghampiri kehidupannya.

Clouds of Sils Maria memang memiliki banyak nilai minus, namun percayalah anda akan bertahan hingga akhir, itu bukan dikarenakan rasa penasaran pada masalah yang mereka berikan melainkan pada kualitas akting yang ditampilkan tiga karakter besarnya, kuat. Chloë Grace Moretz adalah pelengkap yang sangat kokoh, bahkan kemunculannya pertama kali didalam layar seperti sebuah jendela yang tiba-tiba terpecah untuk membawa masuk udara segar kedalam ruangan yang perlahan terasa sesak. Chemistry antara dua karakter utama juga manis, dan ketika mereka berdiri sendiri juga sama kuatnya. Juliette Binoche menampilkan sebuah kompleksitas yang pedas, ada kobaran api dibalik ekspresi tenang yang ia tampilkan, tapi justru ia sering kalah dibandingkan dengan Kristen Stewart. Karakter Valentine seperti pembuktian K-Stew pada franchise Twilight yang membuatnya kehilangan dignity, sebuah penampilan natural yang tajam dibalik kesederhanaan ekspresi yang ia gunakan. Manis. Good luck K-Stew.


Overall, Clouds of Sils Maria adalah film yang cukup memuaskan. Sangat disayangkan ketika pondasi yang telah terbangun dengan cantik baik pada cerita dan juga karakter justru harus mendapatkan pengembangan yang tidak sama cantiknya. Sisi teknis oke, kualitas akting juga mampu tampil memikat, tapi Olivier Assayas kurang berhasil menjadikan ini sebagai sebuah studi karakter dengan kedalaman yang mampu meninggalkan banyak kesan bagi penontonnya, justru berbagai pengulangan monoton dengan harmonisasi yang miskin antar tiap bagian kecil itu yang besar kemungkinan akan meninggalkan impresi Clouds of Sils Maria sebagai hiburan yang melelahkan.









Screened at Festival Sinema Prancis 2014

0 komentar :

Post a Comment