11 December 2014

Movie Review: The Great Passage (2013)


Film ini menciptakan kejutan tersendiri di kalangan penikmat film ketika ia terpilih menjadi wakil Jepang pada pertarungan Best Foreign Language di ajang Oscar tahun lalu. Ada yang mengatakan ia bukanlah sebuah drama luar biasa, namun itu masih jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan rasa bingung karena disampingnya hadir Jepang juga punya Like Father, Like Son karya Hirokazu Koreeda yang notabene akan menjadi nilai plus bagi negara mereka. Memang benar ini tidak megah, namun ia punya apa yang kita cari pada sebuah drama dari negeri sakura. The Great Passage (Fune o Amu): an old-fashioned inspiration.

Mitsuya Majime (Ryuhei Matsuda) mungkin adalah contoh paling akurat dari orang-orang yang kita sebuah nerd hingga geek, bukan hanya dari tampangnya yang kalem dan terkesan sulit untuk didekati, tapi Majime juga merupakan pria pemalu yang canggung ketika berhadapan dengan hal-hal sosial, tipe pria yang ibarat sudah punya alur tetap dalam kesehariaannya, obedient kelas berat. Tapi sikap tersebut pula yang menjadikan pria yang gemar membaca ini menarik perhatian Masashi Nishioka (Joe Odagiri) dan Kouhei Araki (Kaoru Kobayashi), dua pegawai divisi yang sedang berupaya menyusun sebuah kamus yang sedang mencari pengganti Araki. 

Bergabungnya Majime menjadikan rencana tim tersebut untuk menciptakan kamus yang kelak akan mereka namai The Great Passage (Daitokai) kembali berjalan, kamus yang dicanangkan dapat menjadi penghubung antara bahasa tradisional dengan bahasa modern. Namun ternyata waktu yang diperlukan tidak singkat, bukan hanya dalam hitungan bulan semua berjalan lebih dari satu dekade, banyak hal terjadi yang berulang kali hadir mengguncang, dari hal yang terkait Nishioka, kisah cinta antara Majime dengan seorang koki bernama Kaguya Hayashi (Aoi Miyazaki), masalah yang menimpa chief editor mereka Tomohiro Matsumoto (Go Kato), sampai hal sederhana seperti salah ketik dan kualitas kertas.


Bukan mengatakan ini merupakan sebuah drama yang buruk, tapi setelah selesai menyaksikan film yang berada dibawah kendali Yuya Ishii ini ada sedikit rasa kesal bercampur mengerti pada keputusan Jepang memilih film ini menjadi perwakilan mereka di Oscar tahun lalu. The Great Passage adalah drama yang baik, tapi sayangnya terasa kurang punya sesuatu yang benar-benar tajam, sesuatu yang menghujam penontonnya sangat kuat baik itu ketika ia tampil atau disaat ia telah berakhir. Baik namun terlalu aman, sejak awal hingga akhir semua yang ada dihadapan kita adalah sebuah proses yang stabil dan tenang, bahkan tanpa ledakan, dan tidak menjadi sesuatu yang mengherankan jika ada penonton yang merasa ini terlalu monoton dan membosankan karena pintu untuk menuju kearah sana faktanya selalu terbuka lebar hingga akhir.

Tapi ada sesuatu yang menarik disini, dan mungkin pula menjadi alasan mengapa The Great Passage akhirnya menjadi film terbaik di Japan Academy Prize bulan maret lalu: cita rasa old-fashioned yang total. Jepang selalu handal dalam menciptakan film dengan tipe seperti ini, terus menarik meskipun berada dalam level standard ketika ia sedang berjalan, namun ketika semuanya telah selesai rasa hangat dari apa yang ia tampilkan akan menghampiri penontonnya. Hal tersebut terjadi di film ini, dalam hitungan tahun kita diajak menyaksikan perubahan pada masyarakat untuk menemani proses pembentukan kamus yang belum juga menemukan titik akhir, proses penulisan dengan kesan mondar-mandir yang sangat lembut, tapi disisi lain rasa penasaran kita tidak dicengkeram tapi seperti dirawat dengan sangat baik olehnya, potongan drama dalam oktan kecil yang selalu menghasilkan ruang bagi kita untuk menelisik dan merasakan apa yang karakter rasakan.


Hal tersebut yang menjadi kesuksesan terbesar film ini, ia pintar dalam mempermainkan rasa sabar serta sensitifitas dari penontonnya, dan itu semakin lengkap mengingat isu yang ia bawa pada dasarnya juga sangat menarik. Dedikasi, komitmen, itu tampil menarik sejak awal, tahapan dari perjuangan Majime berhasil memutar cerita yang sederhana menjadi tampak tidak sederhana. Sangat suka pada sentuhan yang diberikan oleh Yuya Ishii bukan hanya dalam upaya mempertahankan ketertarikan kita pada cerita tapi juga menjadikan kita merasakan inspirasi yang terbangun secara perlahan itu, sebuah pekerjaan yang baru akan selesai satu dekade lebih sejak ia pertama kali dimulai, nilai kehidupan itu mungkin akan melekat cukup lama di memori, dari sikap berani, rasa percaya diri, ada proses yang menyentil kita pada betapa berharganya kehidupannya yang kita jalani.

Jika anda benar-benar terikat sangat kuat pada point menarik tadi maka besar kemungkinan film ini akan terasa megah, tapi masalahnya adalah ia juga punya nilai minus meskipun terhitung cukup kecil. Minus terbesar berasal dari eksekusi yang terasa kurang efektif dalam memanfaatkan waktu. Dengan durasi 133 menit apa yang diberikan film ini sebenarnya dapat berakhir di bawah dua jam, ada bagian-bagian yang terasa terlalu besar dan lama, mungkin mengemban tujuan lain dalam kehadirannya namun sedikit yang terasa tajam. Bahan yang terasa tipis juga meninggalkan dampak pada karakter yang subplot, contohnya Nishioka yang eksistensinya bahkan terlupakan ketika ia mulai mundur perlahan, begitupula dengan kisah cinta antara Majime dan Kaguya. Anda akan mengerti tujuan dari hadirnya subplot ini, tapi cara ia dikemas terlalu kasar, rasa canggung itu tidak semuanya terasa hangat, emosi juga ada yang terasa palsu.


Andai saja bagian tadi sedikit di eksplorasi mungkin akan menambahkan warna pada cerita karena potensinya cukup besar. Ya mungkin mereka punya maksud lain dari keputusan tersebut, seperti tidak ingin mengganggu fokus utama kita pada proses penulisan kamus yang otomatis akan memberikan ruang yang sangat besar bagi Majime. Kesempatan yang ia peroleh memang terbukti berhasil dimanfaatkan dengan baik oleh Ryuhei Matsuda, terutama pada ekspresi yang ia hasilkan meskipun seharusnya ia dapat terbentuk jauh lebih kuat. Tik-tok diantara karakter juga menjadi salah satu hal menarik lainnya, terutama ketika Joe Odagiri masih menjalankan tugasnya, ada humor menyenangkan yang hadir darinya. Sedangkan Aoi Miyazaki terbilang tenggelam di samping Ryuhei Matsuda, jika menilik tugas mungkin ia telah melaksanakannya dengan baik, namun ada rasa jengkel jika menilik potensi yang dimiliki karakternya.


Overall, The Great Passage (Fune o Amu) adalah film yang cukup memuaskan. Dedikasi, komitmen, point penting itu akan melekat sangat kuat di ingatan mengingat proses yang ia hadirkan juga ditemani berbagai hal yang sangat mudah membuat penonton teringat kembali pada betapa berharganya kehidupan mereka, meskipun cukup disayangkan hal tersebut hadir dalam kesan yang terhitung terlalu biasa, terlalu aman, ia stabil, ia cermat, apa yang menjadi tugasnya juga terlaksana dengan baik, namun akan sulit untuk mengatakannya sebagai sebuah hiburan yang megah, hiburan yang mampu memberikan sensasi dari inspirasi yang ia miliki dibalik ketenangan yang ia andalkan.







0 komentar :

Post a Comment