22 May 2014

Movie Review: Oculus (2013)



"I've met my demons, I have many. I've seen the devil, he is me."

Sebenarnya apa sih inti utama dari sebuah film horror yang menarik? Gambar-gambar creepy yang menarik? Cerita yang bagus? Atau justru kemampuan ia untuk menyuguhkan satu hal sederhana yang dicari para penonton, menakut-nakuti mereka. Jika jawaban kamu adalah opsi ketiga, maka mungkin ada senyuman bagi Oculus, visual dan cerita memang hanya sebatas oke, namun untuk memberikan rasa takut dia lebih dari oke. 

Kaylie Russell (Karen Gillan) berniat untuk melakukan hal yang sudah lama ingin ia laksanakan, menghancurkan sebuah cermin besar miliknya, namun kisah kelam yang terjadi pada orangtuanya, Alan (Rory Cochrane) dan Marie (Katee Sackhoff) masih ia yakini punya kaitan dengan cermin tersebut. Karena alasan itu bersama saudaranya yang baru keluar dari rumah sakit jiwa, Tim (Brenton Thwaites), Kaylie berniat untuk melakukan test supranatural terhadap cermin tersebut. Namun sayang bukannya menambah rasa yakinnya benda tersebut tidak punya kaitan dengan sejarah kelam tadi, Kaylie dan Tim harus terjebak pada kilas balik keluarga mereka pada cermin tersebut, mundur sepuluh tahun, bertemu mereka yang masih kecil.

Oculus berhasil menjalankan misi utamanya untuk menakut-nakuti penontonnya tidak lepas dari keputusan Mike Flanagan untuk membangun dengan “benar” dulu cerita yang ia ciptakan dengan Jeff Howard. Ada sebuah perdebatan yang cukup panjang, dan tidak tahu mengapa ia berhasil menjadikan saya merasa peduli dengan karakter utama. Hal kayak begini penting banget buat film horror, jadi ketika segala macam scare jump super klasik itu muncul mereka punya potensi lebih besar untuk berhasil memberikan kejutan karena sejak awal penonton udah terlibat didalam cerita. 

Tapi ya itu tadi ceritanya sendiri pada dasarnya sudah sempit, pecahkan saja cerminnya, dan selesai. Mike Flanagan memang pandai mengembangkan ide dari hal sederhana itu menjadi bagian-bagian yang bukan hanya memberi rasa bingung lewat teka-teki menarik dengan past dan present yang saling terjalin bersama dan terjaga dengan baik, dengan gambar cekatan dan score eletronik ia juga cukup efektif dalam eksekusi pada momen-momen yang memberikan kejutan. Tapi bagaimana dengan tingkat ketegangan? Kurang sih, bukannya meningkat saya malah merasa berkurang secara perlahan, mungkin karena ceritanya juga mulai berputar-putar. 

Terasa sedikit mix memang, campur aduk, trik-trik kontemporer mampu di eksekusi dengan baik, tapi terkadang fokus saya justru terjebak dalam teka-teki yang pintar membuat bingung dengan pertanyaan seputar fakta dan ilusi yang ia jaga dengan baik. Cara ia bergerak yang juga tidak begitu cepat juga mungkin saja menjadi penghalang bagi penonton untuk klik, ya walaupun narasinya dapat dikatakan baik dan terasa padat, cerita predictable yang sempit itu juga dikemas dengan cukup baik sehingga tidak monoton dan tidak hadir rasa basinya. Hal itu juga dibantu oleh akting dari Karen Gillan yang tidak tahu mengapa terasa pas, menjadikan penonton peduli dengannya, sama dengan pemeran mudanya, Garrett Ryan dan Annalise Basso

Tapi dengan perpaduan hal positif dan negatif tadi itu ada satu hal penting sih yang membuat Oculus tetap dapat dikatakan sebagai sebuah horror yang menyenangkan, ia punya pesona yang setidaknya berhasil membuat penontonnya terpaku hingga akhir. Ya kembali ke pertanyaan pembuka tadi, film horror tanpa mengharapkan dia punya cerita pintar cukup hanya dengan apa ia bisa menakut-nakuti, Oculus adalah salah satunya, trik-trik klasik dengan permainan gambar yang di eksekusi dengan baik serta punya beberapa momen menakutkan yang menyenangkan. 










0 komentar :

Post a Comment