"I've met my demons, I have many. I've seen the devil, he is me."
Sebenarnya apa sih inti utama dari sebuah film horror
yang menarik? Gambar-gambar creepy yang menarik? Cerita yang bagus? Atau justru
kemampuan ia untuk menyuguhkan satu hal sederhana yang dicari para penonton,
menakut-nakuti mereka. Jika jawaban kamu adalah opsi ketiga, maka mungkin ada senyuman bagi Oculus, visual
dan cerita memang hanya sebatas oke, namun untuk memberikan rasa takut dia
lebih dari oke.
Kaylie Russell (Karen
Gillan) berniat untuk
melakukan hal yang sudah lama ingin ia laksanakan, menghancurkan sebuah cermin
besar miliknya, namun kisah kelam yang terjadi pada orangtuanya, Alan (Rory Cochrane) dan Marie (Katee Sackhoff) masih ia yakini
punya kaitan dengan cermin tersebut. Karena alasan itu bersama saudaranya yang
baru keluar dari rumah sakit jiwa, Tim
(Brenton Thwaites), Kaylie berniat untuk melakukan test supranatural
terhadap cermin tersebut. Namun sayang bukannya menambah rasa yakinnya benda
tersebut tidak punya kaitan dengan sejarah kelam tadi, Kaylie dan Tim harus
terjebak pada kilas balik keluarga mereka pada cermin tersebut, mundur sepuluh
tahun, bertemu mereka yang masih kecil.
Oculus berhasil menjalankan misi utamanya untuk menakut-nakuti
penontonnya tidak lepas dari keputusan Mike
Flanagan untuk membangun dengan “benar” dulu cerita yang ia ciptakan dengan
Jeff Howard. Ada sebuah perdebatan
yang cukup panjang, dan tidak tahu mengapa ia berhasil menjadikan saya merasa
peduli dengan karakter utama. Hal kayak begini penting banget buat film horror,
jadi ketika segala macam scare jump super klasik itu muncul mereka punya
potensi lebih besar untuk berhasil memberikan kejutan karena sejak awal
penonton udah terlibat didalam cerita.
Tapi ya itu tadi ceritanya sendiri pada dasarnya sudah
sempit, pecahkan saja cerminnya, dan selesai. Mike Flanagan memang pandai mengembangkan ide dari hal sederhana
itu menjadi bagian-bagian yang bukan hanya memberi rasa bingung lewat teka-teki
menarik dengan past dan present yang saling terjalin bersama dan terjaga dengan
baik, dengan gambar cekatan dan score eletronik ia juga cukup efektif dalam
eksekusi pada momen-momen yang memberikan kejutan. Tapi bagaimana dengan
tingkat ketegangan? Kurang sih, bukannya meningkat saya malah merasa berkurang
secara perlahan, mungkin karena ceritanya juga mulai berputar-putar.
Terasa sedikit mix memang, campur aduk, trik-trik
kontemporer mampu di eksekusi dengan baik, tapi terkadang fokus saya justru
terjebak dalam teka-teki yang pintar membuat bingung dengan pertanyaan seputar
fakta dan ilusi yang ia jaga dengan baik. Cara ia bergerak yang juga tidak
begitu cepat juga mungkin saja menjadi penghalang bagi penonton untuk klik, ya
walaupun narasinya dapat dikatakan baik dan terasa padat, cerita predictable
yang sempit itu juga dikemas dengan cukup baik sehingga tidak monoton dan tidak
hadir rasa basinya. Hal itu juga dibantu oleh akting dari Karen Gillan yang tidak tahu mengapa terasa pas, menjadikan
penonton peduli dengannya, sama dengan pemeran mudanya, Garrett Ryan dan Annalise
Basso.
Tapi dengan perpaduan hal positif dan negatif tadi itu
ada satu hal penting sih yang membuat Oculus
tetap dapat dikatakan sebagai sebuah horror yang menyenangkan, ia punya pesona
yang setidaknya berhasil membuat penontonnya terpaku hingga akhir. Ya kembali
ke pertanyaan pembuka tadi, film horror tanpa mengharapkan dia punya cerita
pintar cukup hanya dengan apa ia bisa menakut-nakuti, Oculus adalah salah satunya, trik-trik klasik dengan permainan gambar yang di eksekusi
dengan baik serta punya beberapa momen menakutkan yang menyenangkan.
0 komentar :
Post a Comment