23 March 2014

Movie Review: Stray Dogs (2013)


Tidak peduli ia kemasan ringan penuh tembakan dan baku hantam, romansa dan komedi klise, ataupun sebuah kemasan berat yang menghadirkan proses mengamati, semua film pasti punya sesuatu yang ingin ia sampaikan, punya pesan yang ingin ia gambarkan, itu mengapa bagi saya menonton film ibarat sedang belajar. Nah, film yang ia sebut menjadi karya terakhirnya ini kembali memberikan arena bagi opsi kedua, Tsai Ming-liang bersama dua jam penuh meditasi, refleksi, apapun itu sebutannya. Watching Stray Dogs (Jiao you) feels like being alone in the middle of jungle, meditate yourself in silence. Exhausting fun cinema experience.

Seorang pria (Kang-Sheng Lee) harus berhadapan dengan tantangan hidup yang sangat berat. Miskin, bersama dua orang anaknya (Yi Cheng Lee, dan Yi Chieh Lee) yang ia lakukan setiap hari bukannya memikirkan masa depan, namun sebatas bagaimana cara untuk bertahan hidup, mereka tidak punya tempat tinggal, listrik hingga air, bahkan harus menggunakan toilet umum. Yang pria itu lakukan setiap hari adalah mencari uang dengan memegang sebuah papan berisikan iklan permukiman mewah, sedangkan disaat bersamaan kedua anaknya bermain-main di supermarket dan juga mal, dan ketika senja tiba mereka mencari bangunan lain untuk tidur.

Namun suatu ketika seseorang masuk kedalam kehidupan mereka, wanita (Lu Yi-ching) yang pertama kali bertemu dengan salah satu anak dari si pria, melihat kondisinya, dan berniat membantu anak tersebut. Perlahan hubungan mereka terus berkembang, dari sekedar mencari makanan hingga membacakan cerita pengantar tidur, bahkan ia mempersiapkan sebuah kue pada hari ulang tahun si pria. Tapi upaya untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik tidak serta merta berjalan tanpa rintangan, dari ambiguitas, hypnotic mural, hingga emosi dari masa lalu.


Menggambarkan karya terbaru dari sosok bernama Tsai Ming-liang ini sebenarnya sangat mudah, self-care restaurant. Ya, ibarat sebuah restoran, disini Tsai Ming-liang tidak memberikan satu kesatuan hidangan yang telah dimasak dengan matang dan kemudian tinggal disantap oleh konsumen, karena justru sebaliknya kita yang menentukan rasa yang ingin kita capai, memilih sendiri tiap hidangan kecil yang telah ia taruh di layar untuk kemudian menyatu di dalam piring. Tentu akan muncul kesan pemalas dengan sendirinya, tapi bukankah hal tersebut justru terasa lebih menarik, meskipun pada akhirnya memang pencapaian yang diperoleh sangat tergantung pada cara konsumen tersebut mengolah yang ada hadapannya.

Rumit? Ya, memang begitu, baru dua film Tsai Ming-liang yang pernah saya saksikan, The Wayward Cloud dengan semangka yang gila itu, serta bermain bersama puisi penuh nostalgia yang manis di Goodbye, Dragon Inn, namun dua pilihan yang menghasilkan sebuah keseimbangan tersebut sudah cukup untuk menghadirkan rasa yakin bahwa penilaian banyak orang terhadap film-film Tsai Ming-liang adalah benar: not for everyone. Super segmented malah, dimana kita akan sering mendapati kondisi yang secara sepintas dilemparkan kedalam layar dalam status mentah, berlama-lama dalam shoot statis penuh keheningan dengan durasi yang cukup panjang tapi uniknya punya makna menarik didalamnya, minim dialog yang menemani irama nafas dari karakter yang terisolasi, serta punya resiko sangat besar untuk menghadirkan rasa monoton, menghadirkan rasa bosan.

Refleksi, mediasi, begitu mereka sering menyebut film-film Tsai Ming-liang, hal yang juga hadir pada Stray Dogs. Namun ketimbang menyebutnya seperti itu, Stray Dogs justru lebih terasa seperti sebuah puisi melankolis, terkadang menyenangkan, terkadang juga melelahkan. Tugasnya memang sederhana, kita diajak untuk mendefinisikan apa yang kita lihat, menjelajahi luasnya layar yang statis bersama tetesan air hingga hujan dan angin, merasakan apa yang karakter rasakan, dan jika harus membandingkan dengan dua film yang disebutkan tadi ini tidak berada di level yang jauh berbeda, ada sebuah kelembutan dalam nafas depresif yang ia ciptakan, bergerak sangat lambat penuh kesan hati-hati bersama sinematografi yang dikemas tajam, namun secara keseluruhan ini terasa sedikit liar.


Ya, sedikit liar. Setelah menyaksikan Stray Dogs ada sebuah senyum ketika teringat pada apa yang dilakukan oleh Hayao Miyazaki di film terakhirnya, The Wind Rises. Momen sebagai film terakhir seperti menjadikan Tsai Ming-liang berupaya membentuk keahlian yang ia punya ke titik paling maksimum, di beberapa bagian ia tampak sedikit berlebihan. Tidak perlu belasan menit sebenarnya, walaupun durasi dari tiap isu sedikit di buat menjadi sedikit padat tujuan yang ia punya sebenarnya tetap dapat tersampaikan, dapat ditangkap maknanya, dapat dirasakan emosinya, sehingga mereka sering terlihat diperpanjang tanpa mengusung sesuatu yang krusial. Celakanya hal tersebut juga disertai dengan narasi yang minim, sehingga opsi yang tercipta hanya dua, penonton merasakan semangat, atau justru tersesat dan kehilangan minat.

Pada akhirnya Stray Dogs akan tampak seperti sebuah dongeng indah yang sering kehilangan momentum bagi mereka para penonton yang dalam waktu singkat telah klik dengan tujuan yang ia bawa di tiap bagian kecil tersebut. Hasilnya, sisa waktu akan menjadi proses menunggu yang perlahan menggerus misteri cerita. Sayang memang karena sisa waktu tersebut dapat diisi dengan upaya untuk semakin mendekatkan penonton pada cerita dan karakter, yang kali ini saja sudah terasa sedikit luas. Kondisi sosial, sebuah gambaran dari keputusasaan, eksplorasi psikis manusia yang hidup dalam survival struggle, ide yang cantik sebenarnya namun keputusan berani untuk berlama-lama itu menggerus kepadatan cerita dan juga daya tarik dari isu-isu tersebut.

Namun bagaimana dengan misi yang ia bawa? Apakah mereka tersampaikan dengan baik? That’s it, mereka tepat mencapai sasaran dengan kuat. Tidak dapat dipungkiri memang point-point yang Stray Dogs bawa memang menarik, dan itu ia sampaikan dengan seolah mengajak penontonnya melihat kondisi tragis sekitar mereka dalam ketenangan, berjalan kemudian berhenti sejenak kemudian merenung tentang kehidupan. Aksi mondar-mandir yang ia tampilkan juga tidak begitu mengganggu, humor kecil juga menjadi pewarna yang bagus, ada sebuah kecermatan dalam kepercayaan diri penuh komitmen yang ia tunjukkan, termasuk didalamnya kinerja Kang-Sheng Lee yang murni menjadi bintang utama.


Overall, Stray Dogs (Jiao you) adalah film yang memuaskan. Tentu saja tidak bisa mengharapkan sebuah hiburan dengan oktan tinggi dari film seperti ini, akan ditemani ketenangan dalam proses meditasi, refleksi, apapun itu namanya, dan Tsai Ming-liang mampu memberikan kesenangan dengan cara yang berani dalam mengusung konsep tradisional ini. Ini sangat tergantung pada point of view penontonnya, dan juga mood, karena isu tentang eksistensi kesedihan dibalik perubahan dunia itu dapat menjadi sebuah hiburan yang emosional jika anda berada dalam kondisi yang siap terjebak lebih dalam.








Screened at 2014 Indonesia Arts Festival

0 komentar :

Post a Comment