23 March 2014

Movie Review: Omar (2013)


Menciptakan sebuah kombinasi dari berbagai genre film menjadi satu kesatuan yang mengasyikkan bukan sebuah pekerjaan yang mudah, sangat riskan menghasilkan kesal kurang total atau justru dapat menciptakan masalah bagi dirinya sendiri pada fokus utama. Film yang menjadi wakil Palestina di ajang Oscar kategori Best Foreign Language ini berhasil menghadirkan kesenangan tersebut, drama, romance, permainan politik, bahkan thriller juga ikut beraksi, Omar.

Pekerjaannya sebagai tukang roti mungkin akan menjadikan orang berpikir bahwa pemuda muda bernama Omar (Adam Bakri) merupakan salah satu dari sekian banyak anak muda yang hidup tanpa ambisi, namun dibalik itu Omar punya rencana besar yang telah ia susun. Ada dua, pertama ia ingin menyerang pos militer Israel, dan bersama dua temannnya, Tarek (Eyad Hourani) dan Amjad (Samer Bisharat), berlatih secara mandiri tanpa berkeinginan untuk bergabung dengan suatu kelompok tertentu. Yang kedua, membawa kisah cinta yang masih backstreet ke jenjang yang lebih tinggi, menikahi kekasihnya, yang merupakan adik perempuan Tarek, Nadia (Leem Lubany).

Setelah berlatih dan merasa cukup, Omar mulai menjalankan misinya. Namun status mereka sebagai seorang amatir sebatas anak jalanan memberikan dampak negatif, menghasilkan tindakan ceroboh dan tertangkap, dan dari sana Omar mulai dihadapkan dengan berbagai masalah. Ia dipaksa untuk menjadi informan atau spy bagi Israel oleh seorang agent bernama Rami (Waleed F. Zuaiter), namun sebuah masalah yang lebih besar juga hadir. Sumbernya adalah Nadia, yang perlahan mulai merasa ragu untuk menghabiskan sisa hidupnya bersama Omar, semua karena status dan reputasi Omar yang mulai memburuk.


Sebenarnya tidak ada yang baru dari Omar jika harus menarik sinopsis diatas kedalam bentuk yang paling sederhana. Romeo + Juliet langsung terlintas dipikiran, namun yang menjadikan Omar menarik adalah kepiawaian dari Hany Abu-Assad (Paradise Now) dalam membangun pondasi klise tersebut. Menyaksikan Omar seperti melihat penggambaran dari perkawinan antara tragedi dan manusia, terus berputar-putar di tema tersebut dan kemudian menjadikan gesekan antara Israel dan Palestina yang sejak awal telah diantisipasi itu tidak membawa dampak yang begitu besar. Ya, mereka seperti sebuah setting belaka, karena Hany Abu-Assad tidak ingin membawa penontonnya bermain dengan ideologi yang terlalu risky.

Omar adalah sebuah drama tentang manusia yang menghancurkan dirinya sendiri. Memang ada aksi spy di dalamnya, terorisme dan interogasi brutal, hingga aksi kucing dan tikus yang menarik, namun Omar tidak bergerak terlalu jauh untuk menyentuh isu-isu tersebut, bahkan warna politik juga terasa minim disini. Omar hanyalah sebuah visualisasi dari isu umum yang selama ini pasti pernah kita rasakan, konsekuensi dari sebuah keputusan yang tidak tepat, yang uniknya tidak mencoba membawa penontonnya menuju sebuah jawaban dari sistem sebab akibat yang sederhana. Ya, sederhana, ambisi, kondisi tertindas, beraksi, masalah, tekanan, dan kemudian mencari jalan keluar, kita hanya akan disajikan sistem tadi dengan sedikit sentuhan dokumenter.

Lantas apa yang menjadikan Omar menarik dan berhasil menjadi lima terbaik dari ratusan film berbahasa asing di ajang Academy Awards? Seperti yang disebutkan di awal tadi, ini adalah sebuah kombinasi genre yang menyenangkan. Drama tentu saja berada di posisi terdepan, namun dibalik itu ada sebuah kisah romantisme klasik yang mampu tampil menarik, dan nafas thriller yang semakin menjadikan ia tampak variatif. Mungkin nyawa menjadi alasan utama, kisah umum itu berhasil memberikan kehidupan di layar, ada ketegangan yang mumpuni, humor bahkan, namun disertai pula dengan empati dan simpati. Mereka seperti dimanfaatkan dengan tepat oleh Abu-Assad dalam gerak cepat yang memikat.


Irama menjadi kunci lain Omar, menjadikannya seperti sebuah film thriller yang bergerak perlahan untuk mencapai ledakan. Ada sebuah tahapan yang menarik disini, diawal Abu-Assad fokus membentuk setting pada cerita dan juga karakter, membekali mereka dengan karakterisasi yang mampu menunjang ambiguitas yang kelak akan ia hadirkan, kemudian masuk kedalam kisah mondar-mandir yang berpusat pada trust (sedikit riskan menggunakan kata “kepercayaan” dalam bahasa Indonesia), hal yang juga mungkin akan menjadikan ia seperti bergerak tanpa tujuan. Dari sana tanpa rasa malu dan dengan rasa percaya diri tinggi ia memasukkan kisah romantisme klasik, dan kemudian menyatukan mereka menjadi sebuah thriller berbasis karakter dan emosional.

Hasilnya adalah sebuah hiburan penuh warna dengan dinamika yang memikat. Anda diajak bermain dengan teka-teki, kemudian sedikit mellow dengan elemen cinta, dan dihajar dengan thriller yang memiliki momentum yang terasa pas. Tidak sempurna memang, ya sebut saja seperti unsur mellow yang sedikit tergesa-gesa serta di beberapa titik terasa datar, serta kinerja karakter yang meskipun memukau tetap menghadirkan momen yang menggerus rasa peduli kita kepada mereka. Namun itu minor, karena Abu-Assad berhasil menyajikan berbagai pergeseran yang tidak kasar dan tetap fokus, dan uniknya ini akan terasa menyenangkan bagi penggemar thriller karena ia terus hidup hingga akhir.

Divisi akting juga menjadi daya tarik tersendiri, terlebih dengan status Omar sebagai sebuah kisah yang bertumpu pada karakter. Adam Bakri berhasil menopang tugasnya sebagai pusat cerita, kita dapat melihat rasa percaya diri pada sosok Omar dengan halus, karisma menarik yang juga berhasil mengundang simpati. Pemeran pendukung lainnya juga tidak kalah baik, seperti Samer Bisharat yang mampu menberikan unsur lucu, hingga Waleed Zuaiter yang berperan sebagai antagonis dan berhasil mencapai level cukup baik. Leem Lubany yang menjadi love interest juga memberikan keberhasilan yang mumpuni, kisah cinta yang riskan menjadi murahan itu berhasil dikemas dengan baik meskipun minim ledakan yang mengasyikkan.


Overall, Omar adalah film yang memuaskan. Menyebut dirinya hanya sebatas sebuah drama, Omar berhasil memberikan kejutan karena apa yang ia berikan lebih dari itu. Sebuah visualisasi dari ikatan tragedi dan manusia, konflik Israel – Palestina sebagai pondasi utama, dengan hati-hati dan penuh rasa percaya diri Hany Abu-Assad berhasil membangun Omar menjadi sebuah petualangan padat dan intens penuh warna berlandaskan kesetiaan yang menyenangkan, dari tragedi yang mencekam, sebuah kisah cinta penuh dramatisasi yang standard tapi efektif dan lembut, dan unsur thriller yang mumpuni. Segmented. 










Screened at 2014 Indonesia Arts Festival

2 comments :

  1. Jatuh-jatuhnya film thriller yah mas rory atau drama?
    *cakep lagi pemeran cweknya, alamat donload nih hehehe

    Salam kenal :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Imo sih mix ya, berimbang, tapi sensasi thriller nya yang mungkin akan lebih mudah dikenang. :)
      Hahaha, benar, Leem Lubany emang manis disini. Salam kenal juga. :)

      Delete