Kita pasti pernah mendengar kalimat yang mengatakan
bahwa sejarah merupakan bagian penting dari sebuah bangsa, dan upaya yang harus
dilakukan adalah mempertahankannya agar dapat terus hidup di lintas generasi,
tidak peduli itu merupakan sebuah kesuksesan ataupun sejarah kelam. Seorang
sineas asal Kamboja bernama Rithy Panh coba melakukan hal tadi, dan mengambil
keputusan berani dalam mengatasi keterbatasan materi pendukung yang ia miliki
untuk menghadirkan sebuah sejarah dengan cara yang unik, stop-motion animation.
The Missing Picture (L'image manquante),
an imaginative haunting history.
Ada sejarah kelam dibalik eksistensi bangsa-bangsa di
dunia, tidak terkecuali negara Kamboja. Dimulai dari tahun 1970 hingga puluhan
tahun berikutnya pernah terjadi gerakan dari kaum komunis di Kamboja. Mereka
adalah Communist Party of Kampuchea (CPK),
atau yang lebih kala itu dengan sebutan Khmer
Merah, dibawah pimpinan Pol Pot.
Upaya mereka berlangsung dari tahun 1975, untuk meraih tampuk kekuasaan dan
mendirikan Democratic Kampuchea,
hingga akhirnya harus lengser pada tahun 1979 setelah hadirnya People's Republic of Kampuchea.
Celakanya periode yang katanya dipenuhi dengan
pembunuhan massal, kerja paksa, hingga kelaparan itu terus tertanam di ingatan Rithy Panh, pria yang kala itu telah
berusia remaja. Rithy Panh ingin merekonstruksi kembali sejarah bangsanya
tersebut, memori tentang betapa mengerikannya era Khmer Merah ketika harus menyaksikan keluarganya disiksa dan
dipukuli. Yang menjadi masalah lain adalah tidak ada arsip yang dapat mendukung
usahanya tersebut, tidak ada benda fisik seperti foto yang tersisa, hal yang
memaksa Rithy Panh menggunakan cara lain untuk menggambarkan kisah kelam itu,
sebuah panggung berisikan boneka tanah liat.
Jujur saja ketika pertama kali mendengar berita bahwa Kamboja mengirimkan sebuah film
documenter sebagai wakil mereka ke ajang Oscar
tahun lalu di kategori Best Foreign
Language, ada sedikit rasa aneh yang muncul. Di satu sisi muncul pertanyaan
seperti apakah mereka serius, apakah mereka memang tidak punya film drama lain
yang mumpuni, dan disisi lainnya justru hadir rasa penasaran dibalik sikap
percaya diri tersebut, apalagi setelah mengetahui bahwa karya tersebut bukan
sebuah dokumentasi biasa. Ya, ini tidak biasa, menggunakan tanah liat sebagai
boneka di panggung sandiwara rekaan, The
Missing Picture justru terasa sangat imajinatif.
Sejarah sebuah bangsa menjadi pusat utama disini,
namun ketimbang terbentuk seperti proses mengamati yang berisikan informasi
sejarah yang berpotensi menjemukan, The
Missing Picture justru terasa seperti sebuah puisi personal dalam panggung
boneka. Penonton tidak terbebani oleh materi, ada narasi puitis dan perlahan
membawa kita mendekat pada sebuah kebenaran yang disampaikan dalam cara yang
sederhana. Ya, sangat suka dengan pendekatan yang diterapkan, ratusan boneka
dengan berbagai ekspresi bersama pakaian warna-warni berputar-putar dalam skenario
yang justru selalu didominasi warna kelam dalam upaya berbagi rasa sakit yang
ia miliki.
Ini yang menarik, walaupun mata terhibur dengan patung
atau boneka sederhana yang konon diukir dengan tangan itu, disisi lain pikiran
kita seperti terus dijaga dengan baik oleh Rithy
Panh agar tidak keluar dari konsep utama, masa kelam Kamboja yang dipenuhi
dengan tindakan brutal dari pemerintah. Pilihan untuk menyelipkan klip-klip
propaganda didalamnya juga memberikan nilai positif lain, seperti mencampur
aduk sisi personal dengan hal-hal yang lebih luas terkait negara, menekan isu dengan cara implisit, dari melihat ayahnya mati kelaparan dan menolak makanan
dari pemerintah, hingga terror yang dilakukan rezim lewat aksi kerja paksa.
Harus diakui dari sisi teknis penyampaian yang dilakukan berhasil memikat.
Lantas apakah The
Missing Picture tidak punya titik lemah? Ia punya. Sejak awal meskipun
punya misi yang besar The Missing Picture
seperti dibangun dibalik sebuah kesederhanaan di berbagai sektor, sebut saja
seperti penggunaan boneka tadi dan minimnya arsip. Nah, disini masalahnya,
disamping dramatisasi yang menghipnotis itu informasi yang tersampaikan terasa
kurang kuat. Kita dapat melihat apa yang masyarakat Kamboja rasakan pada saat itu, namun gerak yang terbatas menjadi
penghalang bagi semua boneka itu untuk mengekspresikan perasaannya. Konflik
kelam tersebut kurang berhasil menyentuh dan mempermainkan emosi penontonnya,
hal yang seharusnya hadir mengingat upaya awal yang ingin ia lakukan.
Pada akhirnya sulit untuk bertumbuh lebih jauh bersama
konflik. Peristiwa mengerikan itu tergambarkan dengan baik, dan dokumentasi
kekejaman nasional juga terbentuk dengan mumpuni bersama ritme penceritaan yang
rapi dan intens, meskipun narasi kerap terasa kurang fokus. Namun disamping itu juga
banyak rasa yang seperti berada di zona netral, suasana menyenangkan kerap
mencuri kesempatan dari kisah kelam untuk menarik rasa simpati penonton. Tidak
heran di beberapa bagian saya sering merasakan seperti sedang berada didalam
sebuah show room berisikan boneka lucu dengan seorang tour guide yang
menjelaskan informasi sejarah yang mereka miliki.
Overall, The
Missing Picture (L'image manquante) adalah film yang memuaskan. Ya,
memuaskan, ia memang punya beberapa nilai minus yang uniknya tidak begitu
menjadi permasalahan mengganggu, sama uniknya dengan penggunaan panggung boneka
sebagai media penggambaran. Ini combo, mendapatkan informasi baru terkait
sebuah bangsa yang dipenuhi rasa putus asa, namun juga memperoleh sebuah
pertunjukkan teatrikal yang imajinatif dan menyenangkan. Manis.
Screened at 2014 Indonesia Arts Festival
0 komentar :
Post a Comment