28 February 2014

Movie Review: Philomena (2013)


Salah satu hal tersulit dalam bercerita adalah ketika harus menghadirkan materi hitam yang dikemas dalam tampilan non-hitam. Kita punya sebuah kisah kelam, namun dalam cara penyampaiannya kita harus mampu menjadikan kisah itu agar tampak lembut dan tidak membebani penontonnya, sehingga materi seperti diberikan batas dan berupaya menyampaikan misi yang ia bawa dengan menciptakan keseimbangan yang efektif dan efisien. Itu merupakan hal yang riskan, dan film ini mengalami dampaknya. Philomena, drama kelam yang sedikit terlalu lembut.   

Martin Sixsmith (Steve Coogan) sedang menghadapi sebuah ujian dalam kehidupannya, dimana pria yang berprofesi sebagai jurnalis ini baru saja kehilangan pekerjaannya sebagai penasihat pemerintahan partai buruh, dan setelah itu justru harus kembali menemukan hambatan ketika hendak menulis buku tentang sejarah Rusia. Rasa frustasi itu yang sempat menjadi sumber penolakan yang dilakukan pria yang tidak percaya dengan Tuhan ini terhadap tawaran dari seorang pegawai bar yang menyampaikan sebuah problema dari wanita tua bernama Philomena Lee (Judi Dench) untuk digunakan sebagai bahan tulisannya.

Pada akhirnya tawaran itu memang Martin terima, tidak tahu apakah karena desakan dari atasannya atau karena permasalahan yang dihadapi Philomena memang menarik baginya. Pada awal tahun 1950 Philomena pernah memiliki seorang bayi bernama Anthony padahal kala itu ia sedang bersekolah di sebuah biara yang kemudian memaksanya tinggal terpisah dengan sang anak. Namun suatu ketika Anthony diadopsi tanpa sebuah peringatan terlebih dahulu. Celakanya hal tersebut terus menghantui Philomena selama lima dekade.


Jika menilik uraian sinopsis diatas Philomena mungkin akan tampak seperti sebuah kisah detektif dengan misi untuk menemukan jawaban atas pertanyaan. Pada awalnya memang akan seperti itu, dimana dengan struktur yang efektif tanpa mau banyak basa-basi kita sudah paham konflik yang terjadi pada masa kini yang dikombinasi bersama penyebabnya yang terjadi pada masa lampau. Menggunakan sistem kilas balik, kisah yang ditulis ulang oleh Steve Coogan dan Jeff Pope dari buku The Lost Child of Philomena Lee karya Martin Sixsmith dengan cantik, ya cantik, telah terangkum tepat pada point-point penting yang mampu menunjang keberlangsungan cerita selama 98 menit durasinya. Efektif dan efisien.

Ya, mungkin seperti itulah gambaran besar dari misi yang diusung oleh Stephen Frears, ia sejak awal memang seperti tidak ingin bergerak terlalu jauh di setiap titik konflik kecil yang mungkin pada akhirnya akan menyebabkan timbulnya rasa ragu dari penonton pada totalitasnya dalam bercerita. Namun faktanya memang cara tersebut merupakan opsi paling aman yang tersedia, karena walaupun berisikan proses yang menaruh modus investigasi penuh lika-liku dengan materi yang dapat dikatakan dangkal sebagai makanan utama bagi penontonnya, pada dasarnya ini hanyalah sebuah studi karakter dari dua sosok yang mengusung sisi hitam dan putih dan terpaksa bersatu pada sebuah misi.

Menemukan anak dari Philomena memang bukan tujuan utama dari film ini, sejak awal ia telah mengatakan bahwa ini adalah sebuah human interest story, itu akan semakin nyata ketika ia mengumbar sebuah fakta bahkan tidak jauh dari titik tengah cerita. Ini lebih kepada bagaimana dua karakter bertarung dengan masalahnya masing-masing, dan kemudian saling membantu merubah satu sama lain. Agama menjadi fokus utama disini, memadukan iman yang bermain bersama sikap skeptisisme dari seorang atheis, pengampunan yang bertarung dengan sikap professional yang menganut paham bahwa yang salah harus dihukum, semua ditunjang dengan karakterisasi yang sangat kokoh sehingga konflik dua karakter berhasil tampil sama baik untuk menarik atensi.


Namun disini masalah itu muncul, dari momen ketika anda sudah paham modus utama yang dibawa oleh Philomena. Walaupun dengan stabil ia terus mampu menghadirkan nyawa pada cerita dan juga karakter, menyuntikkan humor-humor kecil yang bekerja dengan baik, serta kritik-kritik tajam dengan nada sarkastik terhadap politik, agama, dan juga sosial yang dikemas dengan sopan, fokus saya sebagai penonton telah terpecah menjadi dua. Konflik utama tidak lagi menarik, sederhananya seperti itu, dan seiring pertumbuhan karakter yang ia alami saya mulai merasa tertarik pada motif utama Martin. Disini terlihat bagaimana kombinasi yang dilakukan oleh Steve Coogan dan Jeff Pope pada dua main focus terasa kurang mulus, bukannya bersatu mereka justru saling membunuh.

Tidak masalah memang terjadi pergantian fokus pada sebuah cerita, namun masalahnya adalah sejak awal kita hanya disajikan sesuatu yang sangat ringan, hanya mengandalkan misteri minor yang seperti tidak mau untuk tampil manipulatif penuh dramatisasi. Motivasi berhenti, semua menjadi kikuk dengan aksi bolak-balik yang beberapa diantaranya terasa terlalu tenang. Beruntung memang ia tidak jatuh dengan berubah menjadi sebuah kekacauan yang menjengkelkan, terlebih dengan kemampuan dua pemeran utama terus menarik atensi terlebih dari sisi emosi, Steve Coogan dengan kebangkitan moral dari sikap apatis dan sinis, serta bintang utama pada Judi Dench yang dengan kadar minim pada dialog dan gerak mampu membawa kita merasakan tekanan yang ia alami selama setengah abad itu.


Overall, Philomena adalah film yang cukup memuaskan. Stephen Frears, Steve Coogan, dan Jeff Pope sepertinya sejak awal telah sepakat untuk menjadikan kisah nyata ini jauh dari kesan berlebihan, ada kesan hati-hati pada cara ia bercerita, tidak mau menggali terlalu dalam dan membiarkan penontonnya bermain bersama materi ringan, dan menyampaikan point penting dengan cara yang efektif dan efisien. Tidak salah memang, bahkan hal tersebut akan menjadi sesuatu yang impresif jika dapat terus bertahan sejak awal hingga akhir, sayangnya fakta yang terjadi justru sebaliknya. Sedikit terlalu lembut.



0 komentar :

Post a Comment