28 February 2014

Movie Review: Lone Survivor (2013)


Sebenarnya sebuah film yang bermain di medan peperangan tidak selamanya harus tampil megah dipenuhi dengan ledakan. Zero Dark Thirty membuktikan itu dua tahun lalu hanya dengan menampilkan sebuah proses, bahkan The Hurt Locker enam tahun lalu berhasil terus memaku atensi hingga akhir hanya menggunakan kisah dari para tim penjinak bom, ya walaupun sebenarnya hal tersebut juga menuntut karakter yang kuat. Hal tersebut yang tidak dimiliki oleh film ini, sekalipun ia pandai dalam bercerita, Lone Survivor.

Ahmad Shah, yang merupakan pemimpin dari organisasi Taliban, adalah sosok yang ditenggarai bertanggung jawab atas tewasnya beberapa tentara Amerika Serikat di Afghanistan. Hal tersebut yang kemudian membuat Navy SEAL berencana untuk menangkap Ahmad Shah, dimana dibalik sikap santai yang mereka perlihatkan ternyata telah disusun sebuah strategi untuk melacak keberadaan Ahmad Shah. Sangat sederhana, Lieutenant Commander Erik S. Kristensen (Eric Bana) yang menjadi pemimpin utama berencana untuk menempatkan on-ground team sebagai mata-mata disekitar pemukiman penduduk yang dicurigai.

Pasukan tersebut terdiri dari empat orang, dipimpin oleh Lieutenant Michael P. Murphy (Taylor Kitsch), dan tiga angota tim, Marcus Luttrell (Mark Wahlberg) seorang sniper dan ahli medis, Danny Dietz (Emile Hirsch) sebagai spotter dan bertanggung jawab dibagian komunikasi, dan Matthew Axelson (Ben Foster) dibagian data. Misi yang mereka usung sebenarnya sangat mudah, bahkan tidak ada pressure dari pihak lawan, namun celakanya hal yang tidak diinginkan terjadi oleh semua prajurit menghampiri mereka, nasib sial, yang kemudian perlahan membawa empat pria ini kedalam masalah besar.


Jika harus memilih bagian mana dari Lone Survivor yang menjadi bagian favorit saya dibalik durasi dua jam yang ia miliki, maka jawabannya adalah naskah yang ditulis ulang oleh Peter Berg dari buku dengan judul yang sama hasil kerja sama Patrick Robinson bersama Marcus Luttrell, korban nyata dari Operation Red Wings di Afghanistan itu. Apa yang saya inginkan dari sebuah film action berhasil hadir di elemen ini, ya walaupun sedikit terlalu lama dibagian awal setelah masuk ke babak kedua ia perlahan mampu membuat kadar daya tarik secara perlahan dan bertahap terus bertumbuh, kita terus dibuat merasa penasaran apa yang akan terjadi selanjutnya, dan hebatnya hal tersebut ia tampilkan dalam irama yang dapat dikatakan cukup tenang jika menilik medan perang yang digunakan sebagai latar utama.

Ya, mungkin saja hal tadi merupakan dampak positif dari keputusan Peter Berg yang sepertinya tidak ingin menjadikan Lone Suvivor tampak epik, dan cenderung menekan inti utama terkait survival story sebagai fokus cerita. Tidak ada musuh yang kokoh disini, kita hanya diberikan karakter yang terjebak dan kemudian harus berhadapan dengan berbagai nasib sial dari penggunaan kambing, dilema, decision debate, hingga hal paling klise seperti sinyal dan komunikasi. Namun dibalik itu ada daya cengkeram yang kuat pada cerita, mampu terus menarik atensi, ada waspada yang terus hadir meskipun ia kerap kali hanya berputar di satu tempat tanpa sebuah pergerakan yang mumpuni pada alur cerita. Mondar-mandir.

Nah, disini letak masalah utama yang dimiliki Lone Survivor, tensi cerita. Momentum yang ia hadirkan ketika membangun cerita memang mampu terjaga dengan baik, namun tensi cerita sendiri sejak awal tidak pernah berada di level yang mumpuni. Tidak ada ketegangan yang mengasyikkan disini, tidak hadir feel memuaskan yang menjadi bagian wajib dari kisah bertemakan perjuangan individu dalam menghadapi masalah. Ini juga merupakan dampak dari keputusan Peter Berg yang sepertinya sejak awal tidak ingin membebani penontonnya dengan materi berat, berniat menjadikan ini sebagai sebuah biografi yang ringan, namun sayangnya keputusan tersebut memberikan dampak negatif ketika karakter terjebak, karena sejak awal ia tidak diberikan pondasi yang kuat.

Benar,bekal berupa karakterisasi yang diberikan pada karakter terasa kurang mumpuni. Tidak peduli seberapa besar kesuksesan yang berhasil digapai Peter Berg dalam hal teknis seperti salah satunya penggunaan kamera genggam yang terasa manis dalam menangkap serta menciptakan suasana medan peperangan, dari desakan antagonis hingga suara peluru, tetap saja harus ada simpati dan empati dari penonton pada karakter jika ia memang telah berniat untuk mengarahkan kisah ini ke sisi yang lebih personal. Itu yang tidak dimiliki Lone Survivor, pada akhirnya perlahan kita akan bergeser menuju proses menunggu berisikan tahapan eliminasi yang celakanya bahkan berisikan rasa peduli yang tidak begitu tinggi.

Para aktor sebenarnya telah berupaya keras untuk menjadikan karakter mereka tampil memikat, sayangnya tidak mampu mencapai titik tertinggi. Standard, sederhananya mungkin seperti itu. Bekal mereka di awal terasa minim, bahkan saya baru dapat merasakan peran dari Mark Walhberg sebagai sosok sentral setelah cerita berada di bagian tengah, terlebih dengan kemampuan Ben Foster, Taylor Kitsch, dan Emile Hirsch menjalankan peran mereka dengan baik sehingga hal-hal kecil yang dimiliki terasa menarik. Waktu yang mereka peroleh untuk mengembangkan karakter juga terasa kurang, sehingga tragedy yang terjadi tidak mampu berubah menjadi sebuah ironi, hal sesungguhnya dapat memberikan sokongan yang begitu besar pada misi utama yang diusung oleh Peter Berg.


Overall, Lone Survivor adalah film yang cukup memuaskan. Cara ia dibangun terasa sangat apik di paruh pertama, dari proses menjahit cerita hingga membentuk daya tarik secara bertahap. Namun walaupun ia bermain di latar yang mungkin akan tampak kompleks, Lone Survivor pada dasarnya hanyalah sebuah perjuangan dalam lingkup yang sempit, apalagi fokus utama ditaruh pada karakter bukan konflik. Hal yang diperlukan untuk tipe seperti ini adalah karakter yang kuat, mampu menarik simpati dan empati penonton, yang sayangnya tidak dimiliki film ini. Ya, ini menarik, namun dalam level yang standard.











Part of "season 2013 late published reviews."

0 komentar :

Post a Comment