01 March 2013

Movie Review: Jack the Giant Slayer (2013)


Apakah ketika anda kecil dulu anda pernah mendengarkan sebuah dongeng tentang biji kacang (atau jenis lainnya) yang tumbuh menjadi pohon raksasa, tinggi menjulang menembus awan, dan berakhir pada sebuah negeri yang dihuni para raksasa? Jika iya, maka beruntunglah anda, karena anda memiliki kesempatan untuk menyaksikan secara visual semua fantasi yang dulu mungkin hanya sebatas diceritakan oleh kedua orang tua anda dari buku cerita anak-anak. The legend is true, and all the story that your father tell you is true.

Jack (Nicholas Hoult), seorang pemuda biasa yang ditugasi oleh kakeknya untuk menjual kuda dan juga kereta milik mereka ke kota. Tingkat ekonomi keluarga mereka yang rendah menjadi penyebabnya, meskipun Jack tidak rela untuk melakukannya. Lelah karena gagal melakukan tugasnya, Jack beristirahat sejenak untuk menyaksikan pertunjukan yang mementaskan kisah seorang raja paling terkenal di kerajaan itu, Erik The Greatest. Tapi bukan itu fokus utamanya, melainkan Isabelle (Eleanor Tomlinson), putri dari Raja Brahmwell (Ian McShane).

Di sisi lain, seorang biarawan melarikan diri dari kejaran para penjaga kerajaan. Biarawan tersebut menjadi buronan mendadak akibat perintah dari Lord Roderick (Stanley Tucci), pria tua yang dijodohkan Brahmwell dengan putrinya, pria yang ternyata memiliki sebuah rencana buruk dengan menyimpan sebuah benda wasiat yang berbahaya, salah satunya biji yang memiliki kekuatan magic. Namun, biji tersebut justru diberikan oleh biarawan kepada Jack, meminta Jack memberikan biji tersebut ke biara, dengan syarat tidak boleh terkena air. Esok harinya hal itu terjadi, karena kecerobohan Jack sebuah biji terkena air, tumbuh menjadi pohon raksasa yang membawa rumahnya menembus awan. Celakanya, ketika itu terjadi, Isabelle sedang berada di rumah Jack.



Oke, dongeng. Mereka punya beberapa opsi yang dapat mereka pilih sebagai cara mereka menyampaikan cerita. Tampil serius, serius dibarengi sedikit humor, atau justru hanya ingin membawa bersenang-senang tanpa beban yang berat. Tingkat kesulitannya tentu berbeda, dengan opsi ketiga sebaik pilihan termudah. Ya, dampaknya adalah opsi ketiga akan terkesan kurang bergengsi memang, namun ketika mereka sukses menyuntikkan kebahagian kepada penontonnya, boom, semua termaafkan. Jack the Giant Slayer sukses melakukan hal tersebut.

Ceritanya memang kurang logis, konyol, terlalu kekanakan, dan sebagainya. Hey, ingat, ini sebuah dongeng, dan anda justru yang akan terlihat bodoh jika mengharapkan sesuatu yang masuk akal dari sebuah dongeng. Tujuan dari sebuah dongeng adalah mengajak anda untuk ikut berfantasi bersamanya, dan kali ini Bryan Singer berhasil menerjemahkan sebuah dongeng klasik menjadi sebuah hiburan yang mampu menghibur. Diawal cerita memang terasa kurang meyakinkan, berjalan pelan dan justru terlihat lemah. Tapi,setelah proses itu selesai, film ini langsung berbalik 180 derajat.

Cepat, terasa cepat. Bryan Singer terkesan ingin membuat cerita yang ia punya untuk tampil sesederhana mungkin, tanpa memberikan konflik pendukung yang menguras energi penontonnya. Hasilnya, sebuah perjalanan yang menyenangkan. Anda sudah tahu A ke B, dan B harus ke C, kemudian duduk dengan tenang menyaksikan tampilan visual yang memanjakan mata dan pikiran, membuat anda ikut berfantasi bersama mereka. Pohon besar yang tumbuh menembus awan, para raksasa yang dapat menggenggam manusia hanya dengan satu tangannya, dibungkus dengan efektif tanpa terasa membosankan karena tempo yang terjaga dengan baik.



Ya ya, sedikit terasa malas untuk membahas masalah cerita yang dimiliki film ini, karena sejak awal ia sudah memutuskan untuk tampil sederhana tanpa mencoba untuk terlalu serius. Ceritanya yang unik itu diterjemahkan kedalam script yang diluar ekspektasi saya justru tampil cukup solid, dengan beberapa kekurangan minor yang dapat termaafkan. Film ini juga cukup berani pada cara ia menyelesaikan semua kisah yang ia bangun, karena mungkin akan memberikan hujatan dan pujian, meskipun bagi saya itu adalah keputusan yang tepat.

Kunci sukses Jack the Giant Slayer terletak pada bagaimana cara ia menggunakan tampilan visual untuk menghidupkan dongeng itu tanpa menyebabkan kisah tersebut tampak terlalu konyol. Benar, tidak berlebihan, semua disusun tepat sesuai porsi yang ia punya. Hal tersebut semakin dibantu dengan kepintaran Bryan Singer dalam menjaga tempo, mengontrol tensi cerita agak tetap stabil, sehingga suasana menyenangkan itu tidak penah sirna.

Jika ditanya nilai minusnya, mungkin terletak pada departemen akting yang ia punya. Bukan berarti mereka bermain buruk, namun tiap karakter terasa punya andil yang cukup merata. Hal ini justru mengakibatkan Jack, yang seharusnya menjadi bintang, terasa kurang dominan. Hingga pertengahan film ia justru menciptakan celah bagi Stanley Tucci untuk mencuri perhatian. Bahkan Elmont (Ewan McGregor), pemimpin pasukan yang menyelamatkan putri, cukup berhasil mencuri perhatian ketika ia tampil. Ya, Nicholas Hoult, dan mungkin Eleanor Tomlinson, terasa terlalu dibatasi. Hasilnya, chemistry terasa lemah, dan kisah romansa yang mereka bangun terkesan kaku.


Overall, Jack the Giant Slayer adalah film yang cukup memuaskan. Dia tidak selevel dengan The Hobbit yang mencoba tampil serius dan lucu bersamaan, tapi dia juga tidak hancur seperti apa yang dihasilkan oleh Hansel & Gretel: Witch Hunters. Bukan film yang luar biasa, tapi Jack the Giant Slayer setidaknya mampu menjadi paket tontonan ringan yang tidak membuat penontonnya terbebani dengan cerita kompleks, namun tetap mampu membawa mereka ikut berfantasi lewat cara yang menyenangkan. Good popcorn movie.


0 komentar :

Post a Comment