28 February 2013

Movie Review: Wuthering Heights (2011)


Mungkin akan terasa aneh bagi mereka yang telah menyaksikannya, namun bagi saya Wuthering Heights adalah pilihan yang paling tepat untuk mengisi slot terakhir yang mengemban tugas mengakhiri rangkaian empat film bertemakan cinta dan kasih sayang yang telah saya hadirkan beberapa hari terakhir dalam rangka menutup bulan februari, bulan yang sudah sangat familiar dengan julukannya sebagai bulan kasih sayang (meskipun saya kurang setuju dengan hal itu). Ya, film ini tampaknya memang sederhana, namun Wuthering Heights menggambarkan dengan jelas apa yang kita sebut dengan the power of love.

Tahun 1700-an, Heathcliff (Solomon Glave), remaja berkulit hitam yang tersesat di kawasan Moor, Yorkshire, mengalami keajaiban ketika ia bertemu dengan Earnshaw (Paul Hilton), yang kemudian mengajak Heathcliff untuk menginap di rumah sederhana miliknya. Namun sayangnya, keluarga Earnshaw kurang senang dengan keputusan yang diambilnya, dengan alasan utama karena Heathcliff adalah ras kulit hitam, yang bahkan tidak diketahui asal usulnya dari mana. Heathcliff diterima dengan terpaksa oleh anggota keluarga lainnya, terutama oleh Hindley (Lee Shaw), anak sulung Earnshaw, yang menganggap Heathcliff sebagai budak, dan tidak pernah takut untuk mengumpatnya dengan kata berawalan N yang tabu itu.

Tapi Catherine (Shannon Beer), yang sering dipanggil Cathy, tidak melakukan hal kasar yang dilakukan oleh abangnya kepada Heathcliff. Cathy justru menganggap Heathcliff seperti saudaranya sendiri. Mereka semakin akrab seiring kegemaran mereka yang ternyata sama, berkeliaran bebas di kawasan Moor yang terbentang luas, kabur dari tugas mereka dan memilih untuk bermain lumpur bersama, hingga menikmati angin yang berhembus kencang diatas sebuah batu yang besar. Tapi, hal tersebut justru menjadikan rasa kasih sayang mereka berubah arah menuju pada cinta eros, yang akhirnya membawa masalah pada mereka.


Yak, saya tidak membaca novel dengan judul yang sama karya Emily Brontë, novel yang menjadi pondasi awal film ini. Apa yang menjadikan saya tertarik pada film ini adalah Andrea Arnold, dengan factor lainnya adalah Kaya Scodelario (I’m still loving you Effy Stonem). Hanya satu karya Andrea Arnold yang saya saksikan, Fish Tank, dan film itu membuktikan anda tidak perlu menyaksikan banyak film dari seorang sutradara untuk membuat anda jatuh cinta padanya. Wuthering Heights memiliki hal-hal yang menjadi identitas dari seorang Andrea Arnold. Anda diberikan konflik utama yang kuat dan sangat fokus, tidak pernah diberikan konflik pendukung yang mengganggu, terus diajak bermain dengan rasa penasaran, hingga diakhir cerita kembali diberikan dua opsi, seperti apa yang Andrea lakukan pada Fish Tank.

Wuthering Heights adalah film yang segmented, sangat segmented malah. Alasan utamanya adalah ia menggunakan cara yang kurang begitu umum untuk memaparkan cerita dan pesan yang ia punya. Dialog yang sangat minim di satu jam pertama, hanya memanfaatkan tampilan visual indah yang mungkin akan terasa berlebihan dan aneh, namun sangat berhasil membuat penontonnya untuk merasakan kekuatan yang dimiliki oleh cinta, semua berkat Shannon Beer dan Solomon Glave. Anda akan dibuat bertanya-tanya oleh Andrea Arnold, pilihan mana yang menurut anda terbaik untuk mereka.

Mungkin ia bergerak dengan pelan, dan akan menciptakan rasa bosan jika anda mulai kehilangan fokus. Tapi hal itu tidak akan terjadi jika anda sejak awal sudah merasakan sesuatu yang menjanjikan dari film ini. Ya, diawal saya merasa film ini akan berakhir datar, namun semakin jauh ia berjalan semakin besar pula harapan pada film ini. Dengan plot ceritanya yang tersusun rapi, cara penyampaiannya yang sedikit abstrak, dibalut oleh cinematography yang didominasi tampilan alam yang menenangkan, sudah cukup bagi Andrea Arnold untuk menggambarkan pada anda semua pesan, ya, semua pesan yang ingin ia sampaikan, karena penggambaran yang sangat mudah meskipun diberikan secara implisit itu menjadikan cerita terasa sangat fokus.

Walaupun memiliki unsur keluarga, ditambah kekerasan yang terwakili lewat sikap brutal yang mungkin cukup frontal (terbukti dengan penggunaan kata kasar serta kekerasan pada beberapa hewan yang cukup berani), anda tidak akan bisa melupakan kisah cinta antara Heathcliff dan Cathy, bahkan untuk sejenak. Kisah cinta mereka sangat kuat, bahkan tetap terasa ketika Heathcliff (James Howson) dan Cathy (Kaya Scodelario) yang telah dewasa mulai mengambil alih paruh kedua. Ya ya, meskipun akan terasa aneh karena tampilan wajah muda dan tua yang terasa kurang pas, namun tidak memberikan dampak sedikitpun pada daya tarik cerita yang telah dibangun.

Disamping peran Andrea, dan beberapa pemeran lainnya, kesuksesan film ini terletak pada Solomon Glave dan Shannon Beer. Mereka yang membawa film ini melewati masa kritis diawal cerita, masa dimana mereka wajib menjadikan kisah cinta itu untuk setidaknya memiliki daya tarik. Mereka pula yang menjadikan karakter Heathcliff dan Cathy menjadi sangat mudah untuk dicintai, terasa real dengan chemistry yang kuat, sehingga menjadikan saya ikut merasa senang dan waspada berjalan bersama mereka dengan kisah yang secara perlahan dibangun oleh Andrea. Kaya Scodelario dan Howson memang mampu meneruskan tongkat estafet yang diberikan pada mereka, namun semua itu berkat pondasi kokoh yang telah diciptakan pasangan sebelumnya, Solomon dan Shannon.


Overall, Wuthering Heights adalah film yang memuaskan. Memang tidak semegah apa yang diberikan oleh Amour, namun dengan caranya yang berani Andrea Arnold sukses mengajak saya untuk merasa sangat dekat pada sebuah konflik yang terus dibumbui oleh sukacita dan rasa waspada secara bergantian. Film yang segmented, memerlukan kondisi yang baik saat menyaksikannya, hanya menuntut anda untuk sabar, dan akan berakhir menyenangkan jika anda dapat menerima “cara” ia dalam menyampaikan cerita. Film yang indah.


1 comment :