27 February 2013

Movie Review: Warm Bodies (2013)


Lebih dari satu dan setengah dekade yang lalu, Romeo dan Juliet hadir membawakan kisah cinta yang terhalang oleh hubungan kurang harmonis yang dimiliki oleh kedua keluarga mereka. Namun zaman sudah berubah ke era yang jauh lebih modern, dimana hal-hal klasik seperti itu akan cukup sulit untuk dapat “mempermainkan” perasaan penontonnya agar dapat terpenjara dalam kisah mereka. Terobosan baru itu muncul, kali ini Juliet tetap sebagai seorang manusia, namun Romeo adalah seorang zombie.    

Zombie apocalypse itu benar terjadi, dan menyebabkan sebuah area harus dikurung secara paksa dengan dikelilingi pagar tinggi untuk memproteksi penduduk. Tokoh utamanya adalah R (Nicholas Hoult), yang bersama teman dekatnya M (Rob Corddry) dan zombie-zombie lainnya (yang jumlahnya tidak terhitung) mencoba untuk bertahan hidup dengan memangsa siapa saja manusia yang masuk ke wilayah mereka, meskipun disisi lain mereka juga terus waspada terhadap musuh lain yang berada diwilayah itu, sekumpulan monster tengkorak yang mereka sebut Boney.

Suatu ketika, Julie Grigio (Teresa Palmer), bersama pacarnya Perry Kelvin (Dave Franco), teman karibnya Nora (Analeigh Tipton) beserta beberapa anggota lainnya membentuk sebuah tim yang ditugasi oleh Ayah Julie, Kolonel Grigio (John Malkovich), untuk mengemban misi yang terdengar sedikit konyol, mengambil persediaan medis yang tersimpan disuatu tempat didalam wilayah berbahaya tersebut. Hal konyol itu terbukti benar, dimana mereka diserang oleh R beserta kelompoknya, yang mengakibatkan Julie terjebak diwilayah itu. Tapi, anehnya, Julie justru di selamatkan oleh R dari ancaman teman-temannya, dengan alasan yang klasik, cinta.


Bukan berarti kuno, namun sukses atau tidaknya hal klasik itu memang tergantung tingkat keunikan pada cara penyampaian yang digunakan. Jonathan Levine, kembali melakukan apa yang pernah ia berikan kepada 50/50, premis dan sinopsis yang terasa aneh, dibalut dengan kisah cinta yang simple, kuat, dan menyentuh, namun tidak lupa untuk menyelipkan bumbu-bumbu keajaiban yang mampu diterima dengan mudah tanpa menyebabkan penontonnya terlalu mempermasalahkan hal tersebut.

Ya, saya adalah salah satu dari mereka yang sedikit underestimate terhadap film ini. Alasan utamanya mungkin karena tema yang ia angkat, zombie, dan semakin ditambah dengan label romance didalamnya. Apa yang terpikirkan oleh saya? Ya, another twilight wannabe, dengan kisah cinta tak logis yang berlebihan, tidak mampu menyentuh baik dari cerita bahkan lewat pesan yang ia emban. Tapi, Warm Bodies ternyata jauh dari ekspektasi saya tersebut, yang bahkan membuat saya sedikit malu telah menganggap remeh film ini pada awalnya.

Jonathan Levine kembali membuktikan keberanian yang ia miliki. Mengadaptasi kisah dari novel karya Isaac Marion, Warm Bodies bisa jadi merupakan sebuah gambling yang dilakukan oleh Levine. Ya, Juliet di transfer kedalam tubuh wanita petarung, serta Romeo pada seorang zombie. Itu aneh, namun berani dan sangat sangat menarik. Mungkin akan lebih banyak mereka yang menilai film ini akan berakhir menjadi rom-com lemah yang hanya mampu memberikan penontonnya kisah yang cheesy. Jika salah satu dari mereka adalah anda, sebaiknya segera kurangi opini tersebut, karena Warm Bodies justru tampil mengejutkan dengan diwarnai banyak kejutan yang efektif.

Memang terkesan terlalu ringan dan simple, tapi Levine tahu cara mengolah hal simple, ringan, aneh, dan bla bla bla itu menjadi sebuah paket tontonan yang menarik, mudah untuk diterima, namun selalu ingat dengan pesan yang ia ingin sampaikan. Yap, cara penyampaian script yang digunakan oleh Levine ternyata bekerja dengan efektif, dan paling terlihat dengan jelas pada rasa takut akan hadirnya kisah asmara berlebihan yang justru tak diberikan kesempatan untuk hadir. 


Well, saya, dan mungkin banyak penonton di studio tadi, suka pada kisah romance yang ditawarkan film ini, mampu mengaduk imajinasi tanpa terasa menggelikan. Kunci sukses untuk menikmati film ini adalah jika anda sejak awal mencoba untuk tidak terlalu pusing dengan semua keanehan yang Jonathan Levine selipkan. Jika itu berhasil, maka anda akan menikmati film ini, terjadi juga pada saya, yang bahkan selalu menaruh cerita sebagai fokus utama.

Warm Bodies juga punya kekuatan pada cara ia menyelipkan clue-clue yang sangat membantu dalam proses penceritaan, terutama semua hal yang berkaitan dengan zombie. Singkat memang, namun hubungan sebab-akibat tersebut justru menciptakan rasa penasaran yang semakin besar pada proses yang ia bangun. Yep, sebuah proses yang menurut saya cukup menyenangkan (meskipun ada bagian yang terasa terlalu di push sehingga berakhir aneh). Tempo yang dihasilkan sangat sangat baik, dengan berani menciptakan momen berdua antara R dan Julie berbalut alunan-alunan music yang merdu, tapi tetap mampu mengembalikan pace kembali keatas.

Sama seperti ceritanya yang aneh, saya juga terkejut dan aneh kenapa pada akhirnya saya bisa mencintai dua karakter utama, R dan Julie. Chemistry yang dibangun oleh Hoult dan Palmer memang tidak megah, namun punya power untuk menjadikan mereka, baik secara individu maupun tim, sangat loveable. Saya tidak rela jika xxxx terjadi, saya ingin xxxx terjadi. Gila, sangat jarang saya berhasil dijerat seperti itu.

Nicholas Hoult adalah pilihan yang tepat sebagai R, dengan ekpresi wajah yang memukau sebagai kekuatan utamanya. Sedangkan Teresa Palmer membuktikan bahwa ia bukan K-Stew doppelganger, karena meskipun terlalu dini untuk menyebutkan kualitas aktingnya lebih baik, namun bagi saya Palmer punya unsur “likeable” yang lebih besar ketimbang K-Stew, dan itu ia buktikan lewat karakter Julie yang berhasil menarik simpati lewat permainan emosinya yang efektif.


Overall, Warm Bodies adalah film yang memuaskan. Hmmm, Warm Bodies jelas sebuah film yang aneh, namun akan berubah menjadi sangat menarik jika anda sejak awal telah berhasil untuk tidak terlalu memikirkan secara serius keanehan yang ia miliki. Kisah Romeo dan Juliet itu kembali hidup berkat sebuah keberanian yang berlandaskan ide segar yang memukau. Unsur romance bekerja dengan baik, horror cukup menghibur, punya komedi yang apik dan efektif, bersatu untuk menghantarkan pesan-pesan yang menarik meskipun klasik, salah satunya adalah love can heal anything.


2 comments :