01 February 2013

Movie Review: The Last Stand (2013)


Terlepas dari segala kekurangan serta kelemahan yang ia miliki, pasti ada saja film yang pada akhirnya mampu membuat anda gembira, at least ketika anda keluar dari studio. The Last Stand adalah contoh paling baru mengapa saya selalu menempatkan tingkat kepuasan yang diberikan oleh sebuah film sebagai salah satu faktor terpenting dari penilaian saya terhadap sebuah film. Arnold Schwarzenegger kembali dengan sebuah paket guilty pleasure.

Cerita yang ditawarkan film ini simple, seorang sheriff bernama Ray Owens (Arnold Schwarzenegger) yang memiliki history mengagumkan, memutuskan untuk sebuah kota kecil di Arizona bernama Sommerton Junction. Ya, dia sudah bosan dengan semua kepenatan yang diberikan oleh LAPD, dan memutuskan untuk melindungi kota kecil dan sepi itu. Tapi, class is permanent. Suatu ketika seorang boss mafia narkoba bernama Gabriel Cortez (Eduardo Noriega) mampu lepas dari jeratan John Bannister (Forest Whitaker) dan pasukannya FBI di Las Vegas, memutuskan kabur ke Meksiko melalui jalur yang tidak umum, sebuah jembatan baru di kota Sommerton, dimana Terminator telah menunggunya.


Sebuah paragraf cukup untuk menggambarkan plot dari film ini, memiliki beberapa sub-plot meskipun terasa kurang begitu menarik bagi saya. Seorang mafia lepas dari tahanan, kabur membawa sandera, dikejar FBI, dan telah ditunggu seorang sheriff yang luar biasa di pintu keluar “khusus” menuju MeksikoAndrew Knauer tidak membawa sebuah premis yang pintar tapi meskipun awalnya tampak begitu kurang meyakinkan, baik dari sinopsis yang ia berikan, berjalan dengan pelan di awal, membagi film kedalam dua plot besar dengan konflik yang berbeda, Kim Ji-woon berhasil membuat saya kagum terutama lewat cara ia menyajikan kekacauan di dalam cerita. Menghadirkan Bannister yang kalang kabut di Las Vegas, mengajak anda untuk berpacu kencang bersama Corvette C6 ZR1, cerita cinta klasik dan sempit, kisah persahabatan yang kuat dan efektif, hingga kehadiran karakter aneh dan gila dalam diri Lewis Dinkum (Johnny Knoxville), semuanya sejenak mampu mencuri perhatian ketika ia hadir.

Ji-woon juga tahu apa yang harus ia jual: Arnold Schwarzenegger. Arnie dibantu oleh Ji-woon untuk masuk kedalam tokoh dengan karakteristik yang sesungguhnya bukan hal baru baginya. Seorang sheriff dengan wibawa yang sangat kental, kemampuan super layaknya seorang pahlawan tak terkalahkan, berbalut manis dengan memanfaatkan beberapa karakter yang telah lekat dengan Arnie. Dan itu kembali efektif, karena ketika Arnie diberikan ruang bebas maka semakin mudah film tersebut mencapai tergetnya.

Meski hanya berperan sebagai pembantu, para pemeran pendukung juga memberikan kontribusi yang efektif terhadap cerita. Jaimie Alexander, Rodrigo Santoro, Peter Stormare, Eduardo Noriega, hingga Forest Whitaker punya porsi yang tidak mampu menandingi Schwarzenegger, tapi berhasil membuka jalan mulus bagi Schwarzenegger untuk show-off. Begitupula dengan Luis Guzmán dan Johnny Knoxville yang mempu menyelesaikan tugas mereka sebagai bagian dari divisi humor pada cerita. Ada alasan kenapa di bagian awal anda akan diajak oleh Kim Ji-woon untuk sedikit lebih serius, karena ketika semua telah berada di jalurnya anda akan diberikan banyak adegan aksi memuaskan, dark comedy yang beberapa bekerja cukup baik, dibantu bumbu lain yang mampu menjadikan anda berpikir mereka gila, dan perlahan menjadikan anda mulai melupakan bahwa plot dari cerita, yang sesungguhnya mulai terasa lemah.


Overall, The Last Stand adalah film yang cukup memuaskan. Sebuah guilty pleasure. Memiliki beberapa kelemahan tapi di lain sisi sangat sulit untuk mengatakan bahwa saya tidak bertemu dengan rasa puas ketika film ini berakhir. Kim Ji-woon membuktikan bahwa anda harus tahu persis kelemahan serta kekuatan dari paket yang akan anda jual, karena jika diracik dengan apik tidak peduli seberapa standar mereka konsumen akan merasa puas jika tujuan yang ingin dilakukan berhasil dicapai. 








0 komentar :

Post a Comment