28 January 2013

Movie Review: Hansel & Gretel: Witch Hunters (2013)

 

Awards season telah berlalu bagi saya, dan saatnya telah tiba untuk kembali membuka lembaran yang baru. Tidak dapat dipungkiri mengisi waktu luang menyaksikan film-film dengan kualitas Oscar memberikan dampak yang sangat positif. Ya, mereka ibarat sebuah wiski yang dipersiapkan untuk menghibur acara-acara bergengsi. Namun anda tetap harus menikmati segelas teh manis untuk tahu betapa nikmatnya wiski, dan Hansel & Gretel: Witch Hunters mendapatkan kehormatan tersebut.

Okay, once upon a time di dunia yang akrab dengan eksistensi dari para penyihir, hiduplah dua orang kakak beradik, Hansel dan adiknya Gretel. Suatu ketika para penyihir jahat menyerang, dan kedua orang tua mereka dengan anehnya justru menyelamatkan mereka dengan cara yang tidak biasa, melepas Hansel dan Gretel di sebuah hutan belantara yang gelap. Sejak saat itu mereka tidak mengetahui dimana keberadaan kedua orang tua mereka, dan memutuskan untuk menjadi pemburu penyihir sebagai bentuk balas dendam.

Setelah disajikan sebuah pembukaan yang datar, sedikit berlebihan, dan hampir saja membuat saya kesal, Tommy Wirkola akan langsung mengajak anda untuk maju beberapa tahun kemudian (ya, tidak jelas berapa tahun), menyaksikan Mina (Pihla Viitala), wanita manis yang dituduh sebagai penyihir dan diancam hukuman mati, diselamatkan oleh Hansel (Jeremy Renner) dan Gretel (Gemma Arterton) yang telah tumbuh dewasa, dan diminta oleh walikota untuk menjadi pelindung kota  Augsburg. Tugas itu langsung datang, mencoba menggagalkan misi dari seorang penyihir jahat bernama Muriel (Famke Janssen). Dapatkah mereka melindungi kota Augsburg?


Hmmm, sebuah pertanyaan yang sebenarnya tidak begitu penting jika diberikan untuk sebuah film pada kategori ini. Anda sudah tahu kemana film dengan tema “hero” seperti ini akan berakhir. Hal tersebut juga mungkin tidak menjadi concern utama dari para pemilik film ini. Anda diberikan premis yang menarik, dan mari bersenang-senang bersama mereka. Ya, ada film yang mampu memuaskan dalam hal cerita dan visual, film yang memuaskan dalam salah satu aspek tersebut, dan juga film yang tidak mampu memuaskan baik dari segi cerita maupun tampilan visual. Dan lagi, Hansel & Gretel: Witch Hunters mendapatkan kehormatan untuk mengisi kategori terakhir.

Saya tidak begitu familiar dengan cerita dari Hansel & Gretel, saya juga bahkan sedikit terkejut ketika pertama kali mendengar film ini akan hadir di Indonesia tidak jauh dari tanggal rilisnya di US. Ya, kaget, tapi tidak heran, karena sudah menjadi sebuah fakta umum bahwa film dengan “jenis” seperti ini akan mampu dengan cepat menembus bioskop Indonesia, karena pasar empuk yang tersedia untuk kategori ini cukup besar. Saya yakin banyak reviewer juga akan dengan mudah melabeli film ini sebagai film kategori B, begitupula dengan saya yang hanya memasukkannya kedalam daftar consideration, bukan must watch list. Bahkan pertimbangan teh manis dan wiski tadi masih tidak mampu menggoyahkan status film ini. Beruntungnya dia punya Gemma Arterton.

Ya ya, to be honest, sejelek dan sekacau apapun akting dari Gemma, dia adalah aktris yang akan selalu saya tunggu. Dari  St. Trinian's yang kacau itu, hingga yang terakhir Tamara Drewe, semua film Gemma ada di daftar tonton saya, terlepas dari dua filmnya tahun lalu yang belum rilis, dan juga film pendek. Menyaksikannya di layar saja sudah merupakan sebuah kepuasan tersendiri bagi saya, meskipun apa yang filmnya hasilkan masih berada di level yang sama dengan film-film Gemma terdahulu.


Jejaring sosial bioskop di Indonesia secara periodik mengingatkan bahwa film ini khusus dewasa, R-rating. Sebuah ekspektasi tinggi itu tidak berakhir dengan kepuasan bagi saya. Memang, adegan-adegan berisikan darah itu cukup menyenangkan, namun masih terasa biasa. Ya, mungkin bagi mereka yang tidak biasa akan merasakan sebuah kedahsyatan yang film ini berikan pada adegan-adegan tersebut, tapi sepertinya itu akan kurang berhasil pada anda yang bukan merupakan bagian dari mereka. Bahkan anda mungkin akan merasa R-rating itu hanya untuk satu adegan nude saja.

Dongeng klasik dari negeri Jerman ini gagal memanfaatkan kesempatannya untuk memukau karena Tommy Wirkola. Ya, sorry Wirkola, anda membentuk film ini menjadi sebuah fantasy yang justru tidak mampu menginspirasi. Semua aspek tidak dicoba untuk digali lebih dalam oleh Wirkola, sehingga terasa seperti Transformer di negeri dongeng, mengandalkan visual dengan cerita yang dangkal untuk menghibur anda selama 88 menit. Tidak ada dialog yang kuat, bahkan komedi-komedi yang ia coba selipkan juga terasa gagal, dimana hanya satu yang berhasil yaitu ketika Troll mengatakan namanya (yang telah identik dengan salah satu karakter “terkenal”). Untungnya ia punya tampilan visual yang bisa dikatakan cukup baik.

Hansel & Gretel, Jeremy & Gemma. Celakanya mereka tidak menjadi sebuah tim yang kokoh untuk menerima beban film ini dipundak mereka. Tidak ada ruang bebas yang lebih luas dari Wirkola bagi Gemma dan Jeremy untuk mengembangkan karakter mereka. Mereka tampak seperti dipaksa untuk menjadi kakak dan adik, tanpa ikatan emosi dan chemistry yang tidak begitu kuat. Tidak ada keberanian dari Wirkola untuk menghadirkan kejutan-kejutan dari segi cerita yang saya yakin akan mampu disampaikan dengan baik oleh Gemma dan Jeremy. Hansel and Gretel: Witch Hunters mungkin dapat menjadi contoh bagaimana pentingnya pengaruh dari screenplay pada kualitas akhir dari sebuah film.


Overall, Hansel and Gretel: Witch Hunters adalah film yang tidak memuaskan. Ya, saya puas, bukan pada hasil akhir yang diberikan film ini, namun puas karena tujuan utama saya terpenuhi. Sejak awal tidak ada ekpektasi yang begitu tinggi pada film ini, hanya ingin menjadikannya sebagai sample agar tetap dapat merasakan teh manis setelah diserbu kehadiran wiski, dan juga menyaksikan Gemma Arterton. Ditunda lebih dari setengah tahun, Paramount dan MGM gagal mendapatkan sebuah paket baru yang dapat menjadi sebuah ladang uang mereka, akibat sebuah kesalahan dasar, screenplay yang payah.

Score: 4/10

0 komentar :

Post a Comment