28 August 2022

Movie Review: Sayap-Sayap Patah (2022)

“Nani sayang aku bikin nasi goreng kesukaanmu. Tunggu aku pulang!”

Mungkin dari poster-nya impresi pertama yang muncul ini adalah sebuah film drama percintaan, saya pun demikian pada awalnya dan kemudian berubah setelah mencoba mencari tahu cerita yang hendak film ini ceritakan. Sinopsisnya memang meninggalkan impresi serupa dengan poster, sepasang suami istri yang telah hidup bahagia, tapi di sisi lain di dalam cerita ada tragedi kerusuhan Mako Brimob tahun 2018, sebuah peristiwa yang berlangsung selama 36 jam saat terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh para narapidana terorisme. Seketika impresi awal akan sebuah drama percintaan yang dihasilkan oleh poster tadi tergerus, meskipun sebenarnya tersirat kombinasi hal manis dan pahit dari kehidupan di balik aksi Ariel Tatum yang mencium Nicholas Saputra itu. ‘Sayap-Sayap Patah’: mencoba membuatmu melihat dan ikut merasakan.


Ipda Aji (Nicholas Saputra) mungkin sedang sangat menginginkan agar tidak banyak kasus kriminal yang terjadi, karena sang Istri yang bernama Nani (Ariel Tatum) saat ini sedang hamil dan membutuhkan perhatian ekstra. Aji sudah mencoba menghibur Istri-nya itu dengan membuat beberapa permainan anak-anak dari kertas, ia bahkan menyempatkan memasakkan nasi goring untuk Nani, tapi memang sedang terjadi satu kasus besar sehingga ia tidak bisa lama di rumah. Bersama dua anak buahnya, Aiptu Aryo (Khiva Iskak) dan Aipda Ridwan (Revaldo), Aji sedang mengintai pemuda bernama Rosyid (Aden Bajaj) yang diduga adalah anggota kelompok terorisme.

Dugaan itu terbukti ketika sebuah bom meledak di markas kepolisian kota Surabaya, yang tidak hanya membuat Polisi bergerak semakin cepat untuk menemukan Leong (Iwa K), dalang utama yang menggunakan teknik brainwashing dengan janji surga untuk merekrut tumbalnya, tapi di sisi lain juga membuat Nani merasakan tekanan yang lebih besar. Nani cemas dengan keselamatan suaminya, yang sayangnya tidak berpengaruh banyak pada sikap Aji yang fokusnya terkunci pada upaya menangkap dan membawa Leong ke Jakarta. Tapi nahas, sebuah bencana datang menghancurkan impian Aji bersama Nina untuk terbang lebih tinggi dengan kelahiran anak pertama mereka.

Mengangkat peristiwa kerusuhan yang terjadi di Mako Brimob pada tahun 2018 yang lalu jelas merupakan sebuah booster di awal yang sangat baik bagi naskah yang ditulis bersama oleh Monty Tiwa, Eric Tiwa, dan Alim Sudio. Karena otomatis hal itu memantik rasa penasaran penonton terhadap penggambaran peristiwa tersebut tadi. Mungkin banyak dari penonton dan termasuk pula saya kala itu mengikuti perkembangan upaya pemberontakan narapidana terorisme yang berlangsung selama 36 jam itu, kawasan Cimanggis di kota Depok menjadi pusat perhatian jutaan pasang mata ketika proses negosiasi sedang terjadi, untuk menyelesaikan aksi yang kabarnya “meledak” akibat terjadi keterlambatan pasokan makanan akibat prosedur pemeriksaan. Mayoritas yang disorot oleh media tentu situasi yang terjadi di area luar, di sana kesempatan film ini yakni menunjukkan apa yang terjadi di dalam Mako Brimob kala itu.


Jadi tidak heran jika sejak awal Sutradara Rudi Soedjarwo langsung membawamu ke dalam proses penyergapan yang terjadi di Surabaya, dibangun dengan baik bersama atmosfir dingin dan ganjil yang oke penangkapan anggota kelompok terorisme itu memperkenalkan dirinya dengan baik sebagai salah satu konflik di dalam cerita. Ya, salah satu konflik karena di sisi lainnya lampu sorot juga mengarah pada pernikahan dua karakter utama yang sedang bersiap menunggu kelahiran anak pertama mereka. Itu merupakan tweak yang bagus terhadap kisah nyata yang digunakan jadi struktur utama cerita, menempatkan Aji serta Nina pada kondisi ketika emosi mereka juga menjadi sangat sensitif, satu menginginkan perhatian lebih tapi satunya lagi tidak bisa meninggalkan tugasnya sebagai penegak hukum. Seolah belum lengkap, Nina juga mengalami pre-eclampsia yang sangat berbahaya bagi wanita hamil. 

Konflik seperti itu memang sangat dibutuhkan oleh film yang menggunakan sebuah tragedi sebagai jualan utamanya, tidak hanya sekedar menampilkan peristiwa yang mengerikan dipenuhi ledakan dan menimbulkan luka fisik saja namun juga harus mampu membuat karakter merasakan luka psikis, kondisi di mana jiwa, mental, atau psikologis miliknya terguncang dan runtuh berantakan. Di sana letak kelebihan film ini, di tangan Rudi Soedjarwo tiap konflik sukses berkembang dengan baik dan terus bergerak mendekat ke batas atas yang opsinya cuma ada satu, yaitu meledak. Seperti balon yang konsisten ditiup secara perlahan, seperti air yang dimasak dengan api kecil tapi lalu suhunya dinaikkan perlahan, narasi ‘Sayap Sayap Patah’ terus bergerak tegas membangun tekanan, baik pada karakter serta cerita untuk menuju panggung utama, yakni upaya pemberontakan para narapidana.


Tragedi nahas yang bermula di tanggal 8 Mei 2018 itu memang menjadi tiang utama cerita, dan dari sisi porsi juga yang paling dominan, tapi apakah berarti itu spotlight utamanya? Tentu bergantung pada interpretasi tiap penonton tapi arti atau makna dari judul yang digunakan sendiri pada dasarnya mengarah pada situasi yang terjadi di dalam hidup Nina dan suami, bagaimana pernikahan yang tengah bersiap untuk terbang lebih tinggi lagi justru bertemu rintangan besar. “Sayap” mereka patah dan itu dampak dari peristiwa nahas tadi. Luka fisik memang terlihat jelas di layar tapi yang menjadi punch terkuat adalah luka psikis yang tertinggal dan itu dibentuk oleh Rudi Soedjarwo dengan sensitivity yang mengejutkan saya. Saya tidak berekspektasi terlalu tinggi tapi di ujung cerita ada emosi yang terasa manis, seolah membungkus dengan lembut rangkaian perjuangan yang telah dibentuk dengan baik.

Pencapaian tersebut tidak lepas dari goals yang sejak awal memang sederhana, yaitu menjadi penggambaran sayap yang patah tadi. Peristiwa kerusuhan di Mako Brimob itu juga bukan sebuah arena bermain yang luas, fokus narasi jadi terkunci sehingga tidak butuh sokongan konflik tambahan yang terlalu rumit, di sisi lain juga membuat eksposisi jadi terasa sederhana dan cukup padat. Memang ada bagian menampilkan momen yang menegangkan, seperti aksi penyergapan misal, begitupula saat terjadi pemberontakan dengan peluru beterbangan yang menemani baku hantam langsung dengan tumpahan darah, itu belum menghitung momen keji di kantor polisi dengan boneka bernama Desi. Tapi mereka hadir dengan batas atas yang terasa pas, tidak ada yang berlebihan sehingga goals utama berhasil dicapai dan membuat penonton merasakan apa yang sejak awal hendak disampaikan.


Saya sendiri ketika menulis ini masih merasa kaget dengan sisa rasa yang dihasilkan ‘Sayap-Sayap Patah’, bukan presentasi yang terasa luar biasa bagus tapi juga merasa cukup puas. Permainan atmosfir juga salah satu yang terbaik di film Indonesia tahun ini, gubahan musik dari Andi Rianto berhasil menyuntikkan energi tambahan bagi narasi. Saya juga suka dengan cara Rudi Soedjarwo mengemas gejolak emosi, terasa rapi dan ditampilkan dengan baik oleh para cast, salah satunya tentu saja pemeran utama Nicholas Saputra. Meskipun kinerja aktingnya memang bukan yang paling memorable di sini, kalah dari Iwa K dan Nugie, emosi dari mereka tidak terlalu matang namun komposisi terhadap karakter terasa tepat. Ariel Tatum? Ia membuat pesona Nani sama seperti Rosyid, Iptu Ruslan, dan Iptu Gendis, tapi at least peningkatan yang oke ketimbang penampilannya di film Selesai’.

Overall, ‘Sayap-Sayap Patah’ adalah film yang cukup memuaskan. Rudi Soedjarwo dan timnya berhasil menunjukkan bahwa sebuah film yang bagus tidak melulu harus rumit, cukup dengan beberapa isu dan konflik sederhana yang berjalan di jalur lurus tapi dengan fokus yang rapi dibungkus bersama sensitivity yang manis. Cerita dari kejadian nyata adalah sebuah booster, sukses memantik rasa penasaran penonton yang kemudian dikunci di dalam arena bermain yang tidak terlalu luas dan memiliki batas atas yang jelas, dengan menggunakan luka fisik dan luka psikis yang dialami karakternya ‘Sayap-Sayap Patah’ berhasil mencapai goals sederhana di awal, yaitu untuk menjadi penggambaran sayap patah di dalam sebuah pernikahan yang sedang bersiap untuk terbang lebih tinggi lagi, membuatmu melihat dan ikut merasakan itu.






1 comment :

  1. "Aku ngak tahu apa yang harus aku siapin buat kamu tuh selimut atau kain kafan!"

    ReplyDelete