20 June 2021

Movie Review: Ali & Ratu Ratu Queens (2021)

“Ngak ada mimpi yang sempurna.”

Ibu durhaka? Kalau anak yang durhaka mungkin banyak, tapi tentu sulit menemukan seorang Ibu yang kerap digambarkan memiliki kasih tak terhingga sepanjang masa itu justru “mengkhianati” anaknya sendiri. Sulit, tapi bukan tidak ada. Isu tersebut digunakan film ini sebagai pondasi utama bagi coming-of-age story yang mendorong karakter utamanya untuk “keluar” dan belajar tentang kerasnya dunia lewat sebuah misi sederhana yaitu menemukan Ibu yang telah pergi meninggalkannya. ‘Ali & Ratu Ratu Queens’ : a charming and heartwarming family drama.


Mia (Marissa Anita) memutuskan untuk berangkat ke New York meninggalkan Hasan (Ibnu Jamil) dan anak laki-laki mereka, Ali. Mia tidak kembali ke Indonesia dan ketika Hasan meninggal Ali (Iqbaal Ramadhan) kemudian dirawat keluarganya, ada Bude Suci (Cut Mini Theo) yang menjadi wali. Namun Ali tetap mempunyai mimpi untuk dapat bertemu kembali dengan Ibunya hingga suatu ketika ia menemukan kumpulan surat yang dikirim oleh Mia kepada Hasan. Surat tersebut tidak dibalas oleh Hasan meskipun di antaranya ada tiket yang telah disiapkan oleh Mia untuk Hasan dan Ali.

Setelah mendapat restu dari keluarganya Ali memutuskan untuk berangkat ke New York demi mencari keberadaan Mia. Sesampainya di New York, tepatnya di wilayah Queens, Ali langsung menuju ke petunjuk utamanya yakni apartemen yang dahulu pernah dihuni oleh Mia. Di sana ia bertemu dengan empat wanita, Party (Nirina Zubir), Biyah (Asri Welas), Chinta (Happy Salma), dan Ance (Tika Panggabean). Nama terakhir telah memiliki anak perempuan bernama Eva (Aurora Ribero). Sayangnya pencarian itu tidak semulus atau semudah yang Ali bayangkan sebelumnya.

Ketika menulis draft review film ini saya bingung harus menempatkan pembahasan bagian mana sebagai pembuka, karena faktanya adalah bagi saya setiap bagian dari film ‘Ali & Ratu Ratu Queens’ berhasil menjalankan tugas mereka dengan baik. Pada akhirnya saya memutuskan bahwa screenplay merupakan bagian terkuat, rangkaian kata dan jalan cerita yang ditulis oleh Gina S. Noer (Keluarga Cemara, Dua Garis Biru) dari materi cerita yang ditulis oleh Muhammad Zaidy itu berhasil membawa penonton masuk ke dalam “dunia” para karakter, memberi mereka kesempatan tampil dan meraih hati penonton untuk kemudian merasakan polemik yang sedang berputar.


Ali tidak butuh waktu lama untuk meraih atensi, konflik yang sedang ia coba atasi pada dasarnya juga bukan sesuatu yang tidak dapat ditemukan di kehidupan nyata. Yang membuat perjuangan Ali terasa tidak biasa adalah kemampuan Gina S. Noer untuk menempatkan isu utama berdiri kokoh di posisi terdepan sejak awal hingga akhir. Seiring dengan bergulirnya narasi kamu akan bertemu beberapa isu lain, para ratu itu sedang berjuang bertahan hidup di New York misalnya, kemudian ada pula tersakiti dengan kerasnya dunia yang membuka pintu masuk kedalam proses belajar untuk menerima. Mereka eksis, perlahan tumbuh kuat dan kemudian bersinar.

Tapi tidak sampai mengganggu konflik utama, yaitu mimpi Ali untuk menemukan Ibunya. Di sini peran dari kondisi “Ibu durhaka” tadi yang bekerja dengan baik serta membuat cerita jadi terasa segar. Penonton juga tidak dibawa terlalu lama berkutat di proses mencari yang justru digunakan sebagai jalan utama bagi Ali untuk belajar tentang “dunia baru” yang telah ia temukan. Begitupula dengan empat orang wanita rempong itu, mereka berfungsi dengan baik sebagai rumah baru bagi Ali dan juga menunjukkan betapa kerasnya hidup seorang perantau. Ada nilai persahabatan dan semangat kerjasama di sana lewat upaya mereka untuk membuka usaha bersama.


Dan untuk semua hal di atas tadi berhasil dikemas dengan baik oleh Sutradara Lucky Kuswandi. Yang paling terasa mencolok dari penyutradaraan Lucky adalah ia mampu menciptakan tone cerita dengan setting ringan dan santai, mempertahankan hingga akhir meskipun juga memiliki bagian di mana emosi berganti peran dengan komedi. Selalu ada transisi yang halus di antara dua bagian tadi dan berkesinambungan, saat Ali tertawa kita tahu luka yang sedang ia coba atasi namun ketika ia sedih kita juga dapat rasakan adanya harapan positif yang dapat ia pilih. Nyawa cerita dan karakter eksis sejak awal lalu kemudian ditemani dengan hati yang terasa hangat.

Dan saya juga suka bagaimana karakter Ibu durhaka tidak dibentuk sebagai seorang penjahat, melainkan sebagai batu loncatan dan pembelajaran bagi Ali. Ini salah satu kesuksesan terbesar Lucky Kuswandi yakni menjaga vibe positif dari masing-masing isu serta konflik yang coba didorong ke penonton. Memang ada masalah dan harus dicari jalan keluarnya namun dari sana tiap karakter belajar tentang hidup, tentang tidak ada mimpi yang sempurna namun ada proses yang membahagiakan jika kita mau belajar untuk saling menerima. Begitupula dengan fakta bahwa banyak jalan untuk dicintai dan mencintai ketika kamu menjadi diri sendiri. Klise tapi dikemas manis.


Hasil positif tadi tercapai berkat presentasi yang konsisten menekankan feel good di tiap elemen miliknya, tidak hanya di sektor cerita serta eksekusi sang Sutradara tapi juga dari elemen teknis seperti musik, design, dan cinematography yang sukses menangkap manis dan pahitnya sudut wilayah Queens di kota New York. Begitupula dengan kinerja akting, dari akting Iqbaal Ramadhan yang terasa understated sebagai Ali serta Nirina Zubir, Asri Welas, Tika Panggabean, dan Happy Salma yang sukses membuat keunikan karakter mereka bersinar secara tepat. Bayu Skak, Aurora Ribero, dan Cut Mini Theo juga menjalankan tugas mereka dengan baik. For me MVP sektor ini adalah Marissa Anita, emosi rumit seorang Mia ia tampilkan dengan cantik.

Overall, ‘Ali & Ratu Ratu Queens’ adalah film yang memuaskan. Setting-nya memang ringan dan santai tapi setelah sukses meraih atensi di bagian awal perjuangan Ali ini perlahan tumbuh kuat dan kemudian bersinar semakin terang, menampilkan cerita yang sebenarnya klise ini menjadi sebuah presentasi yang terasa segar serta punya emosi dan hati yang hangat, berkualitas dalam kuantitas yang tepat. Seperti eksekusi Sutradara dan script yang menata komposisi serta timing dari materi yang mereka punya dengan baik, membuat coming-of-age story dengan isu utama Ibu durhaka ini terasa dinamis dan berakhir sebagai sebuah family drama bukan heartwarming saja tapi juga sangat berkesan. Very good.









1 comment :

  1. “Tapi selalu ada proses yang membahagiakan. Saat kita belajar saling menerima.”

    ReplyDelete