01 December 2020

Movie Review: Psychobitch (2019)

“Do you have to be nice?”

Perubahan ke arah positif terkadang datang dengan cara yang unik dan mungkin aneh, seperti yang terjadi di film ini ketika seorang pria yang dikenal sebagai sosok pintar dan baik kemudian bertemu dengan seorang wanita yang dikenal seantero sekolah memiliki kepribadian yang aneh, bertindak sesuka hati dan kerap membuat jengkel dengan sikapnya yang “liar”. Pertemuan mereka tidak hanya menghasilkan hubungan yang dipenuhi gejolak saja tapi juga perubahan untuk menghancurkan “batas” antara normal dan tidak normal. ‘Psychobitch’ : an accessible teenage drama with quite lovely sensibilities.


Marius (Jonas Tidemann) merupakan seorang remaja pria yang pintar, dia menjadi kebanggaan keluarganya terutama pada kemahirannya dalam berbahasa Inggris. Tidak heran jika sebuah ide dari Marius langsung diterima oleh Guru-nya, yakni untuk melakukan belajar kelompok untuk mematangkan persiapan menghadapi ujian akhir. Marius menyarankan agar kelompok belajar tersebut hanya terdiri dari dua siswa saja, sebuah saran yang didasari keinginan Marius untuk mendekati rekan sekelasnya, Lea (Saara Sipila-Kristoffersen).

Tapi ternyata Guru-nya Marius memiliki rencana lain untuk anak didiknya tersebut, ia meminta Marius untuk satu kelompok belajar dengan Frida (Elli Rhiannon Müller Osbourne), permintaan yang diterima oleh Marius dengan lapang dada meskipun ia sadar bahwa ia akan bertemu dengan “masalah”. Ya, Frida dikenal sebagai sumber masalah akibat perilakunya yang aneh dan kerap sulit mengendalikan emosinya, ia bahkan pernah mencoba untuk bunuh diri dengan loncat dari atap gedung sekolah. Tapi sesuatu terjadi pada Marius, semakin ia mengenal Frida semakin “mengerti” pula dia dengan kondisi yang Frida jalani

Mungkin alasan mengapa ‘Psychobitch’ ini terasa sangat related karena saya pernah memiliki rekan sekelas yang, maaf, berada di dalam kategori serupa dengan Frida. Ia tampak normal dari luar namun selalu ada beberapa momen di mana rekan saya itu seperti kehilangan kontrol pada sanity miliknya dan mulai melakukan hal-hal yang terasa aneh bagi orang sekitarnya, bahkan ada terasa mengganggu. Apakah saya mengatakan bahwa orang-orang seperti mereka itu orang gila? Tidak, tapi untuk mengatakan bahwa secara psikologi mereka tampak normal juga rasanya sulit, dan pada umumnya mereka berakhir di kategori tersebut karena memiliki masalah yang mungkin belum selesai, dan sebagian besar datang dari masa lalu.


Frida sendiri merupakan sosok yang tampak sangat normal bagi saya namun yang membedakannya dengan teman-teman seumurannya adalah ketidakmampuan Frida dalam mengendalikan emosi dan amarah miliknya. Ada satu momen di mana Marius baru datang untuk belajar bersama, kala itu mereka tidak terlalu akrab serta tidak punya masalah satu sama lain, namun yang dilakukan Frida adalah mengambil bekal makanan milik Marius dan melemparnya ke jendela. Saya tidak tahu istilah di dunia medis untuk “gangguan” seperti yang dialami Frida namun jelas terlihat bahwa Frida adalah sosok yang selalu need to electrify herself, melakukan aktivitas yang dapat membuat emosinya merasa excited dan bersemangat.

Itu adalah isu utama ‘Psychobitch’ tapi menariknya tidak menjadi fokus utama cerita yang ditulis pula oleh Sutradara Martin Lund. Kondisi yang dialami oleh Frida serta “kekurangan” yang ia miliki tadi tidak menjadi sebuah masalah yang ingin disorot oleh Martin Lund, fokus justru diputar pada bagaimana lingkungan di sekitar Frida menerima kekurangannya tadi. Dan di sana peran Marius. Saya suka dengan cara Martin Lund menggunakan salah satu karakter utamanya ini, Marius adalah contoh dari segelintir orang di dunia nyata yang mungkin akan merasakan hal serupa ketika berada di situasi tersebut. Tidak banyak yang benar-benar peduli pada kondisi Frida, pun demikian dengan Marius pada awalnya sebelum ia berubah.


Marius digunakan oleh Martin Lund untuk memoles pesan utama yang ia bawa sejak awal, yakni kemampuan kita sebagai manusia untuk hidup saling menghargai satu sama lain, terlepas dari kekurangan yang dimiliki oleh orang-orang di sekitar kita. Julukan psychobitch untuk Frida tidak sepenuhnya salah jika menilik kondisi emosi dan sikapnya, tapi apakah kondisi tersebut justru menempatkan Frida pada posisi kalah dan harus disiksa? Marius sadar akan hal itu, ada pertentangan yang terasa normal pada awalnya namun perlahan mulai muncul perubahan di dalam dirinya. Martin Lund tidak mengembangkan proses tersebut dengan cepat, ada sedikit tarik dan ulur di dalam hati Marius yang justru membuat momen di bagian akhir itu terasa manis.

Perubahan di dalam diri Marius hadir karena kesadarannya akan mana yang buruk dan mana yang baik, ia tidak dipaksa untuk “segera” berpindah sisi di dalam cerita. Yang mengejutkan adalah Martin Lund ternyata tidak menggunakan Frida sebagai mesin utama penggerak cerita, ia justru menempatkan wanita muda untuk berperan sebagai poacher dengan berbagai kekurangannya tadi. Frida dibuat menunggu tapi ia menunjukkan kepada penonton bahwa pada dasarnya dirinya dapat “jinak” jika ada yang memberikan perhatian dan kasih sayang pada dirinya. Dan itu adalah poin penting lainnya di ‘Psychobitch’ ini, Martin Lund hadirkan dengan cara implisit tapi berhasil meninggalkan kesan yang oke.


Sedikit kekurangan mungkin terletak pada sepertiga akhir cerita, momen ketika kita melihat Frida dan Marius mulai bertemu dengan masalah dalam hubungan mereka yang baru itu. Momen saat karakter Frida mulai mundur satu langkah meninggalkan Marius sendiri di depan, narasi jadi kurang energik. Yang hadir adalah proses Marius untuk menetapkan isi hatinya setelah bertarung dengan berbagai pertentangan yang membuatnya merasa tidak nyaman. Jonas Tidemann memerankan Marius dengan baik terutama di momen saat ia meragu untuk mengambil pilihan, harus maju atau tetap berada di zona nyaman. Sedangkan Elli Rhiannon Müller Osbourne membuat Frida punya pesona psycho dan bitch yang kuat dan menarik, emosi yang ia tuang tidak berlebihan dan terasa pas.

Overall, ‘Psychobitch’ adalah film yang cukup memuaskan. Durasinya memang dua jam tapi Martin Lund tidak gunakan itu untuk menghadirkan begitu banyak konflik. Ia justru memilih untuk menyoroti hal-hal yang sangat mudah kita temukan di dunia nyata saat orang-orang harus berhadapan dengan sosok seperti Frida di lingkungan mereka. Alhasil ada sensibilities yang menarik di sana dan berhasil membuat kisah Frida dan Marius ini akan terasa memorable, sebuah teenage drama yang bercerita tentang isu yang panas dalam tone yang tenang, accessible sejak awal dan berhasil membangun intimitas dan kesan realistic lalu mendorong isu tentang ‘batas” antara normal dan tidak normal itu straight to the point. Segmented. 








1 comment :