25 December 2020

Movie Review: Jingle Jangle: A Christmas Journey (2020)

“But the magic isn't just in what you've lost. It's in what you still have.”

Satu hal familiar yang selalu mudah untuk ditemukan dari sebuah Christmas movies adalah: magic exists. Ya, selalu ada keajaiban di dalam tiap balutan film bertemakan Natal, dari ‘Home Alone’, ‘Elf’, hingga tahun lalu ada animasi cantik dengan berjudul ‘Klaus’ yang membawa pesan it's all possible. Pesan itu klasik memang namun selalu mampu meninggalkan kesan manis dan hangat di penghujung tahun jika dikemas dengan tepat dan hal tersebut coba dilakukan oleh film ini, mengemas kembali pesan “if you believe, it's all possible” lewat sebuah fantasi musikal berisikan dunia yang dipenuhi dengan harapan dan keajaiban. ‘Jingle Jangle: A Christmas Journey’: it's a merry, merry Christmas indeed!


Jeronicus Jangle (Justin Cornwell) merupakan pembuat mainan yang sangat terkenal di seantero kota tempat ia tinggal, toko mainan yang ia kelola, Jangles and Things, selalu penuh dengan warga yang mencari mainan ajaib karya Jeronicus. Hasil karya Jeronicus dikenal selalu mampu mengundang decak kagum, tidak heran ia menyebut dirinya juga sebagai seorang penemu, penemu keajaiban. Jeronicus sedang sangat bersemangat karena ia hampir menyelesaikan penemuan terbarunya, sebuah boneka bernama Don Juan Diego yang dapat hidup. Namun celakanya akibat ulah asistennya perayaan yang telah Jeronicus persiapkan gagal terlaksana.

Tidak hanya perayaan itu saja namun kehidupan Jeronicus (Forest Whitaker) juga menjadi berantakan, ia tidak lagi melakukan penelitian untuk menciptakan karya baru dan memilih hanya menyediakan jasa memperbaiki mainan. Tapi itu berubah saat surat yang ia kirimkan ke sang anak, Jessica (Anika Noni Rose), membawanya bertemu Journey (Madalen Mills). Tidak seperti kakek-nya itu Journey percaya akan keajaiban, hal sederhana namun penting yang mempertemukannya dengan sebuah robot yang telah usang, The Buddy 3000. Tapi natal Jeronicus dan Journey tidak tenang karena toymaker sukses bernama Gustafson (Keegan-Michael Key) sedang menyusun rencana jahat.

Ada banyak hal menarik dari film ‘Jingle Jangle: A Christmas Journey’ ini tapi jika harus memilih satu saja yang terbaik di antara mereka semua maka pilihan saya jatuh pada bagaimana pesona yang dipancarkan oleh cerita dan juga karakter. Sutradara David E. Talbert yang juga bertindak sebagai penulis cerita sepertinya paham betul apa yang harus dimiliki oleh sebuah Christmas movies, buat itu menjadi sajian yang fun dan simple namun sisipkan pesan manis dan hangat di dalamnya dengan menempatkan “magic” sebagai poros utamanya. Itu yang terjadi di sini, dari awalnya langsung bergerak cepat untuk memperkenalkan penonton pada pondasi masalah bagi karakter kita dibawa oleh David E. Talbert ke dalam sebuah petualangan simple yang penuh keajaiban menyenangkan.


Tapi ada satu hal juga yang menarik di sana, bahwa David E. Talbert tidak mencoba membuat semuanya tampak berusaha terlalu keras dan berlebihan. Dari cerita kita bisa lihat bagaimana narasi tidak mencoba membuat karakter agar bertemu dengan masalah yang rumit untuk diselesaikan, memang ada tekanan di sana lewat karakter Gustafson namun fungsinya lebih kepada membantu menciptakan jalan agar pesan utama yang diusung dapat tersampaikan secara maksimal. David E. Talbert memakai teknik dongeng di sini, menempatkan satu karakter yang mencoba menceritakan isi dari sebuah buku dongeng. Cara tersebut terbukti berhasil dengan cepat membentuk dunia bagi cerita, dan tentu saja membuat David E. Talbert jadi bebas memainkan elemen fantasi untuk menyokong ide yang ia punya.

Penggunaan boneka di beberapa bagian cerita itu adalah contohnya, mereka mampu membuat narasi bergerak maju namun dengan cara yang singkat dan padat, tidak memakan banyak waktu. Alhasil irama dari narasi jadi terjaga sekalipun ada selingan materi yang sedikit lebih kelam, excitement terus dipompa dengan baik terlebih lewat karakter Journey yang sedari awal kemunculannya itu sudah memancarkan pesona yang menarik untuk diamati. Jeronicus jelas menjadi karakter utama di sini, namun dengan gejolak di dalam hati dan pikirannya yang telah lama mengurungnya di dalam ruang kelam itu Jeronicus berperan sebagai seorang kapten yang mengatur arah cerita berjalan. Yang menggerakkan adalah Journey, lengkap dengan sikapnya yang energik dan penuh percaya diri itu.


David E. Talbert berhasil menggunakan pesona dari dua karakter utamanya tersebut, dan juga pesona dari karakter pendukung lainnya, untuk menjadi pohon utama yang kemudian ia hiasi dengan berbagai pernak-pernik natal. Dan pernak-pernik itu ialah visual yang cantik bersama lantunan musik yang manis. Saya suka bagaimana visual bekerja di sini, mampu mendorong ke hadapan penonton berbagai pertunjukkan yang sukses membuat mereka merasakan keajaiban di dalam dunia Jeronicus dan Journey itu. Dan itu belum menghitung bagaimana The Buddy 3000 dan Don Juan Diego selalu mampu membuat saya terpaku tiap kali mereka muncul di layar, punya kualitas visual yang terasa smooth and vibrant.

Sama seperti semangat yang terpancar dari setiap musical sequences yang berhasil mentransfer energi dari karakter untuk ikut dirasakan oleh penontonnya. Deretan lagunya sendiri digarap bersama oleh Philip Lawrence, Davy Nathan, Michael Diskint bersama John Legend dan banyak mengingatkan saya pada vibe yang dahulu pernah ditampilkan oleh ‘The Greatest Showman’, kumpulan classic musicals yang tidak hanya menjual lantunan musik dengan irama yang menyenangkan untuk didengar saja namun juga berisikan lirik-lirik yang sederhana namun sukses menjadi senjata lain bagi David E. Talbert untuk menyampaikan pesan yang terasa soulful tentang eksistensi dan pentingnya harapan dan juga keajaiban. Semua dibalut dengan film editing yang juga terasa oke.


Tapi lapis paling akhir yang juga tidak kalah penting adalah kinerja dari para aktor. Forest Whitaker tampil baik sebagai seorang pria yang jatuh begitu jauh di dalam keterpurukan dan mencoba untuk bangkit kembali, sedangkan Keegan-Michael Key menjadikan karakternya sebagai villain utama yang terasa understated. Anika Noni Rose dan Hugh Bonneville memiliki porsi yang tidak besar namun mampu membuat kemunculan karakter mereka terasa kontras di layar, sama seperti kualitas suara dari Ricky Martin untuk Don Juan Diego. Bintang utamanya tentu saja Madalen Mills, ia menjadikan Journey sebagai remaja yang punya semangat menarik serta energi yang menyenangkan untuk diikuti, dan yang tidak kalah penting ia mampu membuat penonton untuk berada di belakangnya untuk mendukungnya. Lisa Davina Phillip adalah scene stealer yang menyenangkan.

Overall, ‘Jingle Jangle: A Christmas Journey’ adalah film yang memuaskan. David E. Talbert tidak membuat semuanya terasa terlalu matang namun itu justru yang membuat misi utama film ini tercapai yakni menyampaikan pesan tentang harapan dan keajaiban dengan cara yang ringan dan menyenangkan, a not hard to follow Christmas movie yang berhasil membuat saya menari bersama karakter dan hanyut bersama perasaan gembira sembari mengikuti narasi menyajikan uplifting message lewat kombinasi fantasi, musical, dan komedi yang menyenangkan. It’s a world of wishes and wonder indeed.








1 comment :

  1. “Never be afraid when people can't see what you see. Only be afraid if you no longer see it.”

    ReplyDelete