25 October 2020

Movie Review: Over the Moon (2020)


“Cherish life and everything you love.”

Mungkin kamu sudah tidak asing lagi dengan salah satu pola yang digunakan oleh film-film animasi, yaitu di samping tampil dengan menyajikan visual cantik yang dipenuhi berbagai warna-warni menarik mereka juga mencoba melakukan tackle dengan menggunakan isu kesedihan yang dialami oleh karakter di dalam cerita. Karakter utama yang mayoritas merupakan anak-anak harus kehilangan orangtua atau mungkin sosok yang sangat ia cintai, lalu kemudian mencoba melawan rasa sedih dan berusaha “menemukan” kembali bahagia. Terasa familiar? Ya, tapi tidak masalah jika mampu dikemas dengan baik, seperti yang dilakukan oleh film ini. ‘Over the Moon’ : a dashingly cute, catchy, and confident animation.


Anak perempuan berusia 14 tahun bernama Fei Fei (Cathy Ang) merupakan sosok cerdas dengan daya imajinasi tinggi, tidak heran jika kemudian walau kini telah tumbuh menjadi seorang remaja ia tetap memegang teguh salah satu dongeng yang dahulu pernah menjadi favoritnya saat berkumpul dengan sang Ayah, Ba Ba (John Cho) dan mendiang Ibunya, Ma Ma (Ruthie Ann Miles). Fei Fei percaya pada mitos yang mengatakan bahwa di bulan sana ada Dewi Bulan bernama Chang'e, namun suatu ketika hal tersebut justru memancing rasa kesal Fei Fei.

Sumbernya adalah pertemuan keluarga yang melibatkan wanita bernama Mrs Zhong (Sandra Oh). Wanita yang memiliki anak laki-laki bernama Chin (Robert G Chiu) itu ternyata merupakan calon Ibu tiri bagi Fei Fei. Tidak setuju dengan kabar tersebut Fei Fei memutuskan untuk membangun roket dan terbang ke bulan, ia percaya dengan membuktikan bahwa sosok Chang'e (Phillipa Soo) itu benar-benar ada akan mampu “menyelamatkan keutuhan” keluarganya kini. Namun perjalanan yang juga mempertemukannya dengan Gobi (Ken Jeong) tidak semudah yang Fei Fei duga.

Cerita yang ditulis oleh mendiang Audrey Wells sebenarnya menggunakan dasar paling klasik dari teknik bercerita film-film animasi dengan tema serupa, dari cara ia menyusun latar belakang masalah yang kali ini menggunakan dongeng tentang Dewi Bulan hingga ketika petualangan bagi karakter utama kemudian bergulir lebih cepat lagi. Saya sendiri tidak masalah dengan pola yang familiar seperti ini namun dengan catatan bahwa pola tersebut harus mampu menghadirkan sebuah perasaan bahagia yang menyegarkan tanpa perlu terlihat baru di banyak bagian. Untungnya di tangan Glen Keane materi yang familiar itu sukses tampil menghibur.


Bersama dengan co-director John Kahrs, sosok yang berhasil meraih Oscars kategori Best Animated Short Film lewat film ‘Dear Basketball’ (Kobe Bryant retirement letter) itu mampu menata dan menjaga energi cerita. Karakter Fei Fei sendiri sejak awal memperkenalkan diri sudah memiliki pesona yang menarik, tidak hanya diposisikan sebagai sosok yang pintar dan ingin tahu tentang banyak hal saja namun setting usia 14 tahun juga banyak membantu terbentuknya pesona rebel yang ia punya. Tidak heran jika konflik terkait masuknya anggota baru yang akan mencoba menggantikan sosok Ma Ma yang sangat ia sayangi akhirnya menciptakan gejolak di dalam diri Fei Fei.

Dan dari sana kemudian fantasi bermain. Script dari Audrey Wells yang infonya juga mendapat sokongan material tambahan dari Jennifer Yee McDevitt dan Alice Wu punya jalan utama cerita yang terasa oke. Memang banyak terbantu dari tekad kuat yang ditampilkan oleh Fei Fei tapi rangkaian konflik di dalam cerita juga memiliki peran penting dari gerak narasi yang terasa dinamis dan penuh energi itu. Momen ketika Fei Fei tiba di luar angkasa merupakan kunci dari kesan smooth yang dimiliki narasi, Glen Keane berhasil membuat agar transisi antara momen tiba di bulan dan pertemuan dengan Dewi Bulan bergerak cepat dan padat. Alhasil penonton langsung dibawa masuk ke dalam ruang bermain baru di mana imajinasi kita sedikit dipaksa untuk menjadi semakin liar.


Ketika bermain dengan imajinasi yang “liar” seperti itu film-film animasi kerap kali kehilangan kendalinya pada elemen drama di dalam cerita, bagian yang mengemban tugas sebagai media di mana emosi akan mencoba memorak-porandakan hati para penontonnya. Glen Keane tidak berada di kelompok itu, di samping juga terbantu dengan keberadaan konflik lain yang sedang dihadapi oleh Chang'e secara beriringan narasi juga mendorong maju konflik berisikan upaya Fei Fei untuk mengkonfirmasi isi hatinya sendiri. Ada koneksi yang manis di antara kedua konflik tadi, posisinya di mana mereka saling menyembuhkan satu sama lain, terutama bagi Fei Fei.

Dan itu semua belum mengikutsertakan kontribusi dari elemen musik yang berhasil menyuntikkan nyawa tambahan bagi cerita. Dari yang lembut hingga ketika mencoba menghentak penonton dengan irama dance yang catchy, semua bagian dari elemen music dikemas dengan baik. Tidak hanya sebatas saja tapi beberapa dari mereka bahkan punya kesan yang kuat dan memorable mengingat tipe lagu yang digunakan adalah pop-dance. Di tangan Glen Keane elemen music itu berkombinasi dengan baik bersama elemen lain di dalam cerita seperti drama, dan juga komedi yang materinya terasa klise tapi dieksekusi dengan baik, mayoritas terbantu pesona dari karakter yang sudah terasa menarik di awal dan terus bertumbuh menjadi semakin kuat.


Bersama dengan kualitas visual yang juga oke karakter menjadi potongan puzzle yang melengkapi ‘Over the Moon’ untuk menjadi kemasan yang cute. Jika diamati secara lebih seksama maka kualitas cerita tidak berada di kelas yang terasa sangat kuat, tapi berhasil bekerja secara efektif, dan itu juga terbantu kualitas visual yang mampu mengunci perhatian saya dengan kombinasi warna-warni yang lucu. Kualitas juga tidak standout, tapi juga sukses menjalankan tugasnya secara efektif, seperti halnya kinerja para pengisi suara dalam menghadirkan nyawa dan energi ke dalam masing-masing karakter. Aktris musical Phillipa Soo jelas merupakan yang paling mencolok di antara yang lain, sedangkan Ken Jeong membuat Gobi memiliki kesan unik yang kuat.

Overall, ‘Over the Moon’ adalah film yang memuaskan. Di tiap-tiap elemen cerita Sutradara Glen Keane memiliki materi yang tidak berada di kelas yang luar biasa, tapi di debut penyutradaraan film layar lebarnya ini Glen Keane berhasil bentuk itu semua menjadi sebuah presentasi yang energik dan menyenangkan untuk dinikmati. Ada rasa percaya diri yang kuat di dalam eksekusi, dari penempatan posisi emosi, permainan kombinasi warna, bahkan hingga penggunaan musik. Dan tidak lupa, ada pesona hangat yang sama kuatnya di dalam petualangan Fei Fei mencari jawaban yang terus menggelayuti pikirannya itu, pesona yang banyak meningatkan saya pada film produksi Pearl Studio tahun lalu, Abominable. That white rabbit so cute btw. 










1 comment :

  1. “And if you give love, you'll never lose love. It only grows, more and more.“

    ReplyDelete