24 August 2020

Short Review: Tilik (Ladies on Top) (2018)


“Jadi orang itu yang solutif gitu, lho.”

Rilis di kanal Youtube Ravacana Films tepat pada hari perayaan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 2020 yang lalu, film pendek ini dengan cepat viral dan sukses besar mencuri perhatian warga internet. Premis yang diusung sebenarnya sederhana, yaitu tentang kelompok perkumpulan ibu-ibu yang sedang menuju Rumah Sakit untuk menjenguk Ibu Lurah, namun kemudian muncul “kericuhan” menarik di dalam perjalanan tersebut, menyentil berbagai isu dengan cara yang sederhana namun unik. ‘Tilik (Ladies on Top)’ : “menelisik” dengan cara yang menggelitik.

Yu Ning (Brilliana Desy) berada di posisi yang terkucilkan ketika ia berada di dalam bak sebuah truk yang sedang berjalan menuju Rumah Sakit. Truk yang dikemudikan oleh pria bernama Gotrek (Gotrek) itu mengangkut Yu Ning bersama dengan beberapa ibu-ibu lainnya dalam rangka untuk menjenguk Ibu Lurah yang sedang sakit dan dirawat. Yu Ning yang awalnya diam mulai merasa gerah ketika perbincangan di dalam truk itu kemudian mulai dikendalikan oleh Bu Tejo (Siti Fauziah). Bu Tejo mencoba “menilik” dengan cara yang tidak biasa sosok bernama Dian (Lully Syahkisrani).


Wanita yang mengatakan sang suami berencana akan mencalonkan diri sebagai lurah itu mencoba menggiring opini Bu Tri (Angeline Rizky), Yu Sam (Dyah Mulani), dan wanita lain di dalam truk terhadap kehidupan Dian. Bu Tejo mengatakan bahwa dari pengamatannya Dian yang merupakan anak perempuannya Ibu Lurah adalah seorang wanita muda dengan perilaku yang “tidak bagus”, ia bahkan mengatakan bahwa sosok Dian telah menjadi sumber keresahan di lingkungan tempat mereka tinggal.
Di tangan Sutradara Wahyu Agung Prasetyo cerita yang ditulis oleh Bagus Sumartono itu berhasil dibentuk menjadi sebuah presentasi sederhana yang sangat menghibur. Tidak heran jika pada akhirnya ‘Tilik’ sukses mencuri perhatian dalam skala yang cukup besar sejak ia rilis karena memang isu dan konsep yang disajikan sendiri merupakan sesuatu yang terasa sangat umum di kehidupan bermasyarakat saat ini. Setting cerita yang sendiri mengambil latar Kota Yogyakarta merupakan strategi yang terasa kuat dan pintar, setting arena bermain di dalam sebuah truk berhasil menciptakan ruang sempit yang mengakomodasi kegelisahan untuk tidak melebar terlalu jauh, lalu suntikkan berbagai isu yang dekat dengan masyarakat Indonesia.
Isu itu adalah aksi nyinyir. Sebenarnya ada beberapa isu lain yang berhasil di tackle pula dengan cara yang manis oleh Wahyu Agung Prasetyo dan Bagus Sumartono tapi tentu saja aksi nyinyir Bu Tejo merupakan spotlight paling besar, dan paling menarik, dari ‘Tilik’. Sosok Bu Tejo tidak hanya sekedar dengan cepat langsung mencuri atensi penonton saja, tapi di sisi lain juga membuat kita merasa dekat dengan dirinya. Ya, itu adalah ironi yang tidak dapat dipungkiri yakni bagaimana kini semakin mudah untuk menemukan sosok-sosok seperti Bu Tejo ini di dalam circle setiap orang, mereka yang gemar membicarakan orang lain dan mengatakan bahwa itu merupakan opini walaupun disampaikan hanya sekedar dengan berlandaskan asumsi.
Wahyu Agung Prasetyo dan Bagus Sumartono memberikan cukup banyak ruang bagi Bu Tejo untuk beraksi, dari ia mulai menyentil sosok Dian hingga secara perlahan memberi jalan bagi Bu Tejo untuk menggali semakin jauh opininya tersebut. Menariknya adalah Bu Tejo mengatakan bahwa apa yang ia lakukan itu sebagai upaya untuk mengingatkan Ibu-Ibu lainnya agar berhati-hati dengan sosok Dian, walaupun ia tidak tahu pasti apakah opninnya tersebut benar atau tidak. Yes, another irony. Lewat Bu Tejo tersebut di sini Wahyu Agung Prasetyo dan Bagus Sumartono mencoba melempar isu tentang bahaya yang dapat timbul dari aksi-aksi yang menurut saya “liar” seperti itu, aksi di mana isi otak manusia menjadi liar dan tertarik untuk bermain dengan imajinasi mereka masing-masing.
Di sana peran penting Yu Ning, sosok yang di sini masih mampu mengendalikan koneksi antara pikiran dan ucapannya. Ada aksi “jual-beli” yang menarik lahir dari sana dan jujur saja di beberapa bagian saya merasa ikut hanyut bersama opini hasil “imajinasi” liar yang keluar dari mulut Bu Tejo, tapi di sisi lain juga merasakan pertentangan pada opini Bu Tejo juga. Hal tersebut tidak lepas dari keberhasilan Wahyu Agung Prasetyo menata urutan cerita agar terus terasa menarik secara bertahap, cara ia membangun excitement terasa oke terlebih dengan kemampuannya dalam membuat gerak cerita tetap terasa dinamis untuk terus “mempermainkan” penonton dengan nilai-nilai moral yang terselip manis di dalam cerita.
Dalam durasi 30 menit kita dibawa untuk menjadi bagian dari isi truk tersebut, kamera seolah mencoba menempatkan kita untuk dekat dengan para Ibu-Ibu dan ikut ambil bagian di dalam perbincangan yang menarik itu. ‘Tilik’ juga terasa kuat karena di samping isu yang ia coba sajikan memang umum tapi punya bobot yang oke Wahyu Agung Prasetyo dan Bagus Sumartono tetap memberikan pendamping berupa elemen komedi yang membuat cerita jadi menarik. Tidak melulu lewat dialog, banyak dari mereka justru hadir dari gerak-gerik tiap karakter, dari tatapan mata hingga ekspresi wajah. Dan di sana peran para pemeran, terutama Brilliana Desy dengan wajah gerahnya itu dan tentu saja Siti Fauziah yang sukses membuat Bu Tejo sebagai ulekan cabe yang menghibur.
Overall, ‘Tilik (Ladies on Top)’ adalah sebuah film pendek yang memuaskan. ‘Tilik’ punya cerita dengan bobot yang oke, perpaduan drama dan komedi terasa oke, dibentuk secara padat sehingga terasa efektif, serta disokong dengan akting yang oke dari para pemeran. Ditutup dengan sebuah kejutan yang akan sukses memecah opini dari para penontonnya, ‘Tilik’ berhasil menghadirkan sebuah aksi memeriksa, menilik, dan menelisik terhadap beberapa isu yang sekarang begitu mudah kita temukan di kehidupan bermasyarakat. Mulai sekarang siapapun teman atau sosok asing yang doyan nyinyir menggunakan opini yang hanya berlandaskan asumsi, saya akan panggil mereka dengan sebutan Bu Tejo dan suami Bu Tejo. Unik.

















1 comment :