22 February 2017

Review: John Wick: Chapter 2 (2017)


“You think he will stop now?”

Rilis pada bulan Oktober ‘John Wick’ berhasil menjadi salah satu the biggest surprise of the 2014 film year, sebuah sajian action dengan staging yang terasa stylish berlandaskan formula yang sangat sederhana, yaitu aksi balas dendam. Tidak hanya a lot of fun yang hadir pada show of force dari Jonathan tersebut namun juga berbagai surprises yang sama seperti ‘The Raid’ sukses membuat genre action seperti terasa segar kembali. Masalah ternyata belum selesai bagi Mister Wick, ‘John Wick: Chapter 2’ membawanya kembali ke dalam berbagai masalah yang seolah menjadi escalation dan transisi bagi franchise. It’s still slick, but how about the surprises?

Setelah berhasil melakukan sebuah aksi balas dendam terkait mobil kesayangannya John Wick (Keanu Reeves) memutuskan untuk pensiun dari kehidupan sebagai assassin. Sayangnya niat John tersebut menemukan rintangan yang berasal dari Santino D'Antonio (Riccardo Scamarcio) yang menuntut “payment” dari John Wick. John kembali bertugas namun permintaan dari Santino tidak mudah, yaitu John harus pergi ke Roma dan membunuh wanita bernama Gianna (Claudia Gerini), pemilik tahta tertinggi the High Table, sebuah kumpulan top para kriminal dunia.  


Seperti yang disinggung pada bagian pembuka tadi bahwa salah satu hal yang membuat ‘John Wick’ berhasil meninggalkan kesan mendalam dua tahun yang lalu adalah kesuksesannya menghadirkan sebuah kejutan di dalam genre action. Pencapaian di film pertama itu dimanfaatkan dengan sangat baik oleh Chad Stahelski di sini, dari adegan pembuka dengan menggunakan suara motorcycle itu penonton berhasil dipertemukan kembali dengan sosok anti-hero yang juga kembali sukses menampilkan pesona yang membuat penonton terpikat padanya. Masih sama seperti film pertama di sini John Wick kembali menghadirkan sosok tangguh yang terasa "cartoon" untuk kemudian membawa kamu ke dalam sebuah “pesta” berisikan hyper-violent yang dikontrol dengan baik oleh Chad Stahelski, dari car chase, gun fights, hingga hand-to-hand combat, mereka berhasil menyajikan thrill yang oke tetap dengan “taste” a la John Wick pastinya. 


Namun meskipun sukses menghadirkan elemen action yang sama baiknya dengan film pertama namun ternyata ‘John Wick: Chapter 2’ membawa misi lain terutama pada sektor cerita. Film ini seperti menjadi sebuah escalation atau transisi dari “petualangan berburu” yang John Wick hadapi dan juga kelak akan bertemu dengannya. Konsep yang digunakan di sini untuk menciptakan jalan masuk bagi John ke dalam “masalah” yang jauh lebih besar dan kompleks terasa tepat dan efektif, Derek Kolstad tetap memberikan banyak momen di mana aksi anarki tetap mengisi panggung utama cerita namun di sisi lainnya ia secara implisit juga mendorong John Wick agar masuk ke dalam “hell” yang lebih menarik lagi. Kali ini kita tidak berbicara tentang anjing kesayangan, hal tersebut digantikan oleh organisasi kriminal yang sukses memperluas arena bermain John Wick menjadi semakin besar. 


Dari kesuksesan film pertama tim produksi sadar bahwa daya tarik utama John Wick adalah pesonanya dalam membabat habis lawan-lawannya, dan untuk mempertahankan eksistensi hal tersebut maka jalan termudah adalah kembali membawa John ke dalam “pressure” yang kini semakin besar. Tidak heran screenplay terasa seperti “reworking” dari film pertamanya namun resep yang sama tersebut berhasil diperbaharui dengan bumbu-bumbu baru. At least script berhasil memperluas arena bermain tadi dan tentu saja mempertahankan atensi penonton menyaksikan John Wick melakukan berbagai aksi stunts, meskipun pola yang familiar tersebut berdampak pada kualitas “kejutan” yang film ini berikan. Tidak seperti film pertama kesan “nakal” dan exaggerated yang film ini sajikan terasa too normal, terdapat pula beberapa bagian yang terasa kurang punchy di mana mayoritas dari mereka berada di luar adegan action. 


Sama seperti film pertama di sini narasi kembali menjadi tali untuk “menggantung” berbagai adegan action untuk tampil, dan untung saja elemen action kembali bekerja dengan sangat baik. Dibantu oleh elemen teknis seperti cinematography, sound, editing serta stunt work yang terasa memikat Chad Stahelski berhasil menyajikan elemen action dengan clarity yang sangat mumpuni, dari konfrontasi hingga ketika figths hadir, tanpa quick edits yang berlebihan aliran elemen action berhasil terasa exciting. Hal yang sama juga berasal dari kinerja akting para cast. Keanu Reeves sekali lagi berhasil menampilkan John Wick sebagai “soldier” tangguh tapi empathetic, pria ruthless dan stylish yang hanya ingin hidup damai dan tenang. Membantu Reeves adalah Riccardo Scamarcio yang juga tampil oke sebagai Santino, Laurence Fishburne sebagai rival bernama The Bowery King, serta Ruby Rose sebagai Ares yang mencuri atensi lewat ekspresi.  


Flip and slice, boom and shoot, ‘John Wick: Chapter 2’ merupakan sebuah sekuel yang lebih besar meskipun dengan kualitas kejutan yang terasa kecil membuatnya tidak lebih baik dari film pertama. Sama seperti film pertama ‘John Wick: Chapter 2’ kembali hadir untuk mencoba “menampar” penontonnya dengan elemen action dengan kekerasan yang outrageous menggunakan skenario yang masih sama, yaitu aksi balas dendam. Hasilnya adalah sebuah neo-noir action thriller film yang sukses menjadi sebuah kelanjutan yang berhasil mempertahankan pesona dari pendahulunya serta berkembang menjadi something yang lebih besar dan lebih kompleks sebagai arena bermain selanjutnya bagi killer machine yang, well, actually only want his own peace. Still slick, small surprises. Happy hunting, Mister Wick. 












Cowritten with rorypnm

0 komentar :

Post a Comment