31 January 2017

Review: Toni Erdmann (2016)


Perkembangan jaman memang membawa manusia bergerak maju untuk bertemu berbagai hal baru yang lebih canggih dan lebih modern namun di sisi lain hal tersebut tidak jarang pula menghasilkan sisi negatif. Ambisi yang lebih besar membuat tekanan juga menjadi lebih besar, dampak dari tekanan tersebut beraneka ragam salah satunya membuat manusia terkadang lupa bagaimana cara menikmati hidupnya serta what’s worth for living. Hal tersebut yang digambarkan dengan sangat baik oleh film yang menjadi wakil negara Jerman di kategori Best Foreign Language Film at the 89th Academy Awards ini, Toni Erdmann, a sweet combination between funny and heartwrenching.

Winfried Conradi (Peter Simonischek) seorang pria tua yang telah pensiun dengan kegemaran unik, yaitu play a prank. Tapi di balik sikapnya yang tidak jarang terasa konyol itu Winfried menyimpan sebuah keinginan untuk dapat kembali menjalin hubungan yang hangat dengan anak perempuannya, Ines Conradi (Sandra Hüller). Seorang prank-loving Winfried mencoba untuk memberikan sebuah kejutan kepada Ines namun sayangnya justru ditanggapi dingin oleh anaknya tersebut yang sedang sibuk dengan sebuah proyek. Winfried tidak menyerah, kejutan lain ia hadirkan bagi Ines dan kali ini dalam wujud pria “gila” bernama Toni Erdmann.  


'Toni Erdmann' harus diakui memiliki salah satu adegan pembuka dengan kemampuan yang sangat kuat dalam hal menetapkan tone utama yang dimiliki oleh cerita, sebuah adegan yang melibatkan tukang pos itu membawa kita bertemu dengan sosok Winfried yang harus diakui juga sesungguhnya tidak menciptakan kesan atau pesona yang begitu kuat di bagian awal. Winfried merupakan pria yang dapat dikategorikan “aneh”, segala tingkah yang ia lakukan mampu menciptakan kesan unik namun tetap terasa ganjil. Mungkin itu merupakan hal yang bersifat disengaja oleh Maren Ade agar eksis di bagian awal cerita, membuat penonton merasa klik dengan feel satire untuk kemudian setelah itu masuk ke dalam petualangan antara ayah dan anak yang di satu sisi terasa lucu namun di sisi lain sukses menyayat hati penontonnya dengan cara yang lembut dan juga implisit. 


Maren Ade seperti menolak untuk menyuntikkan kesan sentimental yang kental ke dalam cerita yang jika diamati serta dirasakan secara lebih detail sesungguhnya menyimpan berbagai hal sentimental terkait berbagai hal penting di dalam kehidupan manusia. Dari cinta, harta, hingga keluarga, tiga komponen di dalam kehidupan sosial itu menjadi tiang bagi petulangan quirky antara Ines bersama dengan Toni. Cerita ‘Toni Erdmann’ memang terkesan absurd dan tidak tentu arah namun itu semua merupakan bagian dari sebuah proses yang mencoba mewujudkan keinginan Winfried di awal tadi, yaitu menjalin kembali “koneksi” dengan anak perempuannya. Hal yang sensitif semacam itu di tangan filmmakers pada umumnya akan dikemas dengan pendekatan menggunakan tone yang lebih dominan serius namun tidak dengan Maren Ade, kamu dibawa bertemu dengan berbagai “penyimpangan” yang mengasyikkan. 


Terdapat isu yang tragic di dalam cerita terutama pada bagian keluarga tadi namun hal tersebut Maren Ade kombinasikan bersama unsur comic dan menjadikan mereka sebuah tragicomic. Di sini tujuan utama Winfried selain terkait koneksi tadi adalah untuk mencoba “mengganggu” kehidupan normal dari Ines yang menariknya berhasil ia lakukan secara implisit. Sang ayah menjual lalu kemudian Ines membeli, dan dari sana mulai hadir berbagai aksi saling mengerjai satu sama lain di antara ayah dan anak perempuannya itu. Dari sana pula kemudian Maren Ade hadirkan berbagai kejutan yang ia gunakan untuk membawa Ines menuju sebuah perubahan di dalam hidupnya yang dipenuhi dengan ambisi dan tekanan tadi. Dari sana rasa sayang Ines kepada sang ayah kembali muncul dan mekar, menyaksikan suka duka, baik dan buruk, dan semua itu berpuncak pada adegan menyanyi lagu “The Greatest Love of All” oleh Whitney Schnuck yang terasa funny and heartwrenching at the same time. 


Terasa aneh memang ketika berbagai hal aneh yang dilakukan oleh Ines bersama sang ayah itu justru membawa penonton bertemu dengan berbagai hal positif terkait tiga komponen tadi. Misunderstandings terus menjadi mesin utama penggerak cerita yang di tangan Maren Ade berhasil menampilkan drama dan komedi menjadi satu kesatuan yang unik. Secara bertahap mereka membawa Ines untuk sadar pada “kesalahan” yang telah ia lakukan selama ini, membawanya memutuskan untuk mencoba mengubah present time berkat pertolongan sang ayah yang membuatnya menemukan kembali herself dalam sudut yang berbeda. Uang merupakan sesuatu yang penting tapi kembali ke pertanyaan di awal tadi, what’s worth for living? Menggabungkan filosofi dengan permainan psikologis yang lucu Maren Ade berhasil menyajikan hal tersebut dengan baik, berbicara tentang arti sesungguhnya dari kehidupan serta kebahagiaan. 


Sebenarnya ‘Toni Erdmann’ memiliki cukup banyak realita menyedihkan yang terkandung di dalam cerita namun ditampilkan dengan jitu oleh Maren Ade dengan pendekatan yang lucu tanpa mengurangi atau mengganggu kualitas dari emosi di sisi lainnya. Contohnya pesta telanjang (or naked scene) itu, mungkin akan terkesan sepele namun sesungguhnya tersimpan something yang jauh lebih thoughtful di sana, baik itu tentang sebagai manusia hingga tentang keluarga. Kejutan yang menarik itu merupakan satu dari berbagai momen memorable lainnya dari Toni Erdmann, sama seperti kinerja akting dari para aktor dan aktris di dalamnya. Pemeran pendukung terasa pas dengan tugas mereka masing-masing namun tentu saja Peter Simonischek dan Sandra Hüller merupakan bintang utamanya. Peter Simonischek membuat Winfried dan Toni menjadi dua pria yang unik, konyol, namun berjiwa hangat, sementara Sandra Hüller berhasil membuat Ines tampil memikat di setiap babak, dari ketika ia jengkel, marah, mencoba melawan, hingga akhirnya sadar. 


Ketika dahulu untuk pertama kali menyaksikan ‘Toni Erdmann’ saat berada di bagian awal muncul opini di dalam pikiran bahwa ini akan menjadi sebuah drama yang sulit untuk diikuti, namun ketika selesai terdapat rasa ketagihan yang begitu besar yang membuat ingin untuk menyaksikannya kembali. Perpaduan drama dan komedi dengan rasa “kontemporer” ‘Toni Erdmann’ memang bukan sebuah tragicomedy yang sempurna namun di sini Maren Ade berhasil menggambarkan tiga komponen di dalam kehidupan sosial yaitu cinta, harta, dan keluarga dengan cara yang slyly with full sensibility. Segmented.












Cowritten with rorypnm

0 komentar :

Post a Comment