07 October 2016

Movie Review: Miss Peregrine's Home for Peculiar Children (2016)


"These children must be as crazy as their headmaster."

Sebelum dipoles oleh Christopher Nolan dan kemudian dibawa bertemu berbagai “kebisingan” oleh Zack Snyder karakter Batman dan dunia yang ia punya di layar lebar pernah identik dengan gloomy but artsy, a wicked world of misfits and psycho yang bergembira layaknya sebuah fashion show, style over substance di tangan Tim Burton yang gemar bergembira bersama horror, playfulness, dan tentu saja visual. Mengacu pada tiga hal terakhir tadi dapat dikatakan kombinasi novel ‘Miss Peregrine's Home for Peculiar Children’ dan Tim Burton merupakan match made in heaven, sebuah fantasy berisikan tragedi dan simpati dipenuhi karakter unik dan aneh seperti kombinasi antara Harry Potter dan X-Men. Apakah ini “match” atau“miss”? Miss Peregrine's Home for Peculiar Children: a robotic fantasy.

Jacob "Jake" Portman (Asa Butterfield) memiliki ikatan yang erat dengan kakeknya Abraham "Abe" Portman (Terence Stamp), sosok yang selalu membacakan dongeng sebelum tidur tentang sebuah rumah berisikan anak-anak yang memiliki kekuatan unik di bawah pimpinan wanita bernama Miss Alma LeFay Peregrine (Eva Green). Suatu ketika musibah menimpa Abe dan kemudian meninggalkan Jake dalam kondisi sepi serta terus dirundung mimpi buruk, dipaksa untuk bertemu psikiater bernama Dr. Golan (Allison Janney) untuk dapat mengatasi kesedihannya. Tapi suatu ketika berawal dari sebuah postcards rasa ingin tahu Jake terhadap kebenaran dari dongeng yang selalu Abe ceritakan itu menjadi besar, bersama sang ayah Franklin (Chris O'Dowd) dia kemudian menuju Wales berharap dapat menemukan rumah Miss Peregrine. 

Rumah itu masih ada namun telah hancur akibat bom dari tentara Jerman pada tanggal 3 September 1943. Di sana Jake bertemu dengan Emma (Ella Purnell), remaja aerokinetic yang dapat memanipulasi udara, dan setelah pertemuan itu berbagai hal aneh kemudian datang menghampiri Jake salah satunya terkait ruang dan waktu yang ia jalani. Bertemu dengan sosok yang ia cari serta teman baru yang unik dari Bronwyn (Pixies Davies), Olive (Lauren McCrostie), hingga Enoch (Finlay MacMillan), Jake kemudian belajar tentang time loops yang digunakan oleh para Ymbrynes untuk melindungi anak asuhnya dari makhluk menyerupai monster bernama Hollowgast atau The Hollows, kelompok yang di bawah pimpinan Mr. Barron (Samuel L. Jackson) sangat membutuhkan para peculiar children agar dapat memulihkan eksperimen mereka. 


Seperti yang telah disinggung di awal tadi berbicara tentang materi cerita Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children seperti “diciptakan” untuk dibentuk oleh Tim Burton bersama imajinasi miliknya, dari cerita yang unik dan karakter yang aneh termasuk peluang besar bermain di sektor visual berkat ruang bermain yang leluasa untuk mengeksplorasi segala macam “keanehan” yang terkandung di dalamnya. Meskipun memulai semuanya dengan cukup goyah cerita yang ditulis oleh Jane Goldman (Kick-Ass, X-Men, Kingsman) berdasarkan novel karya Ransom Riggs itu berhasil menemukan pijakannya, dan di tangan Tim Burton petualangan penuh fantasi itu berhasil menciptakan semacam koneksi dengan penonton di awal. Pencapaian tersebut harus diakui berasal dari penggambaran di awal pada ikatan antara Jake dan Abe yang terasa manis, penonton menjadi tertarik pada apa yang tersimpan di balik dongeng tersebut. Namun yang menarik adalah dengan materi yang tampak kompleks film ini justru mencoba menjadi simple.

Cukup menarik mendapati Tim Burton dan timnya justru memilih untuk membuat kisah yang dipenuhi dengan permainan ruang dan waktu hingga kekuatan super ini agar terasa simple. Itu sebuah visi yang oke, Tim Burton seolah ingin menunjukkan semacam sense of wonder tapi tanpa mengisi cerita dengan berbagai punches yang berlebihan, ia tetap bermain dengan rasa horror andalannya dan juga simpati pada karakter namun lebih menggunakan visual storytelling ketimbang narasi untuk menggambarkan kegelapan dan kesedihan yang terkandung di dalam cerita. Hal tersebut berjalan dengan baik di awal, dengan tujuan yang jelas sejak awal aksi Jake mengeksplorasi “fantasi” yang ditanamkan oleh sang kakek padanya itu terasa menarik, meskipun aliran cerita tidak mulus tapi pesona tetap tumbuh secara perlahan. Hal tersebut semakin baik ketika Jake telah bertemu dengan peculiars, dibentuk dengan Burton-esque mereka karakter yang sangat menarik seperti perpaduan antara penyihir dari Harry Potter yang bertugas layaknya anggota X-Men


Jika berbicara tentang pesona sesungguhnya pesona yang dimiliki oleh karakter ‘Miss Peregrine's Home for Peculiar Children’ terasa cukup oke ketika berjumpa penonton dan tidak terasa buruk ketika cerita telah berakhir, namun hal tersebut tidak terjadi di cerita. Akibat memilih bermain “sederhana” tadi daya tarik konflik tidak menunjukkan progress yang menarik, menyaksikan Jake beradaptasi dengan teman barunya serta berbagai tensi di dalam hubungan mereka terasa menarik tapi goal yang sejak awal telah ditetapkan seperti tidak ikut berjalan bersama Jake, ia berhenti di sepertiga awal dan baru muncul kembali menjelang akhir. Tidak terdapat eksposisi yang berlebihan di dalam narasi menjadi penyebabnya, konsekuensi logis dari perpindahan ruang dan waktu itu bukan masalah yang mengganggu tapi akibat tidak dieksplorasi secara lebih mendalam ‘Miss Peregrine's Home for Peculiar Children’ tidak punya pressure yang menarik, ia berjalan dengan sangat tenang sehingga miskin thrill yang berkualitas.

Itu mengapa ‘Miss Peregrine's Home for Peculiar Children’ terasa seperti sebuah "robotic" fantasy, segala macam masalah yang ia mulai berhasil ia selesaikan dengan baik tapi tanpa proses dengan rasa yang dipenuhi dengan bumbu yang nikmat dan “menggoyang lidah”. Cerita ‘Miss Peregrine's Home for Peculiar Children’ terasa seperti rasa makanan rumah sakit yang kita kenal pada umumnya, berhasil membuat kenyang namun karena membatasi atau bahkan tidak ada garam, gula dan mungkin lemak di dalamnya jadi terasa hambar dan well, cukup membosankan. Sosok Tim Burton yang menyutradarai film seperti Batman, Beetlejuice, atau Edward Scissorhands pasti akan mencoba untuk “mengasah” materi yang ia punya, namun Tim Burton sekarang ini di sektor cerita lebih sering bermain aman dengan imajinasinya, sama seperti Dark Shadows dan Big Eyes dia berhasil menarik minat penonton terhadap cerita dan karakter, menciptakan kesan “istimewa” namun kemudian tidak diasah dan berjalan tidak dengan kecepatan penuh. 


Tentu saja tidak mengharapkan Tim Burton menciptakan berbagai kehebohan yang luar biasa di sini, namun jika dibumbui sedikit lebih jauh investasi penonton pada karakter dan konflik mungkin dapat menjadi lebih besar dan akibat impact yang dihasilkan dari petualangan Jake di dunia fantasi itu mungkin dapat terasa lebih menarik. Karena sudah terlalu sering bermain dengan fantasi dan imajinasi Tim Burton kurang berhasil menciptakan kesan “awe” yang terasa impresif di sini, karakter dan cerita perlahan terasa formulaic dan mechanical. Ketika berurusan dengan emosi tidak ada bobot yang oke, horror tidak punya terror yang kuat, dan unsur fantasi tidak punya kesan menakjubkan yang terasa memukau. Tidak heran energi dan semangat yang menarik di awal perlahan justru digunakan untuk berusaha menyambung setiap titik di dalam narasi, bersama dengan visual yang mumpuni namun editing yang kurang oke menghadirkan usaha eksposisi yang membuat cerita jadi terasa cukup sesak sehingga petualangan fantasi itu berubah menjadi sebuah permainan yang hanya sebatas ingin menyelesaikan misi saja.

Ya, sekali lagi, ‘Miss Peregrine's Home for Peculiar Children’ tidak punya impact yang kuat ketika ia telah menyelesaikan kisah yang terasa menarik itu dan berjalan dalam durasi 127 menit sejak sinopsis. Tentu ia punya hal positif, dari visual dan production design misalnya dengan colorful images yang menarik, begitupula dengan cinematography, namun mereka tidak dapat membantu mengurangi minus seperti dari sektor cerita dan karakter yang terasa underdeveloped. Cast juga memberikan kinerja terbaik mereka namun karakter mereka tidak pernah terasa bersinar. Asa Butterfield berhasil membuat Jake tampil sebagai remaja teguh namun bingung yang cukup menarik meskipun kurang ekspresif, Terence Stamp yang cukup sukses menciptakan pondasi emosi di awal, serta Eva Green yang kurang memiliki kesempatan lebih untuk membuat Miss Peregrine bersinar meskipun meraih atensi penonton lewat pesona dan penampilannya yang mencolok, dari makeup, rambut, hingga kostum. Para pemeran the peculiars juga cukup oke, dibantu dengan CGI berhasil menampilkan kesan unik dan aneh dari masing-masing karakter mereka. 


Overall, Miss Peregrine's Home for Peculiar Children adalah film yang kurang memuaskan. Menggabungkan dongeng bersama sedikit sentuhan rasa superhero, fantasi dengan sedikit rasa horror dan tentu saja dibentuk dengan Burton-esque, ‘Miss Peregrine's’ merupakan sebuah presentasi yang cukup menyenangkan dari segi visual, namun ketika berkombinasi dengan cerita yang merupakan perpaduan time travel dan juga coming-of-age ini terasa kurang memuaskan, terasa underdeveloped. Burton melakukan keahliannya di sini, menciptakan cerita dan karakter yang weird namun sama seperti beberapa film terakhirnya ia kurang berhasil menyuntikkan “kesibukan” yang konsisten menarik sejak awal hingga akhir, mengasah materi dengan berbagai bumbu dalam kecepatan penuh. It’s another "miss" on Tim Burton's career, not super bad but there’s no awe, feels mechanical, feels like a "robotic" fantasy. 










1 comment :