19 September 2016

Review: Snowden (2016)


"Are they watching us?"

Pada tahun 2013 pria bernama Edward Snowden yang merupakan mantan karyawan CIA dan mantan kontraktor pemerintah USA menciptakan sebuah kehebohan skala besar: membocorkan informasi rahasia serta progam yang dimiliki oleh National Security Agency bersama Five Eyes Intelligence Alliance. Semenjak itu pria yang mengatakan tempat ia kini berada adalah di internet itu tidak hanya menjadi salah satu “most wanted person” bagi pemerintah USA namun juga berhasil menciptakan perdebatan terhadap status yang ia miliki, apakah dia seorang pahlawan, patriot, whistleblower, atau pengkhianat? ‘Snowden’ is a “love story” for Edward Snowden.

Pada bulan juni tahun 2013 Edward Snowden (Joseph Gordon-Levitt) bersembunyi di sebuah hotel di Hong Kong untuk bertemu dengan jurnalis Laura Poitras (Melissa Leo), Glenn Greenwald (Zachary Quinto), dan Ewen MacAskill (Tom Wilkinson) setelah meninggalkan pekerjaannya di NSA. Sejak kecil Snowden ingin “melayani” negaranya namun sikap tidak setujunya pada cara bermain yang pemerintah USA miliki bersama aliansinya membuat Snowden membocorkan ribuan dokumen rahasia NSA kepada jurnalis. Pria yang merupakan seorang computer professional itu mencoba menunjukkan kepada dunia bahwa privasi yang mereka miliki selama ini tidak selamanya aman, mengambil resiko besar terhadap keselamatan dan masa depannya untuk mencoba menciptakan sebuah perubahan.   


Kalimat terakhir pada sinopsis tadi adalah alasan mengapa ‘Snowden’ berbeda dengan documenter karya Laura Poitras berjudul Citizenfour yang juga mengupas masalah serupa, sebuah perubahan. Kala itu saya menyebut ‘Citizenfour’ sebagai “kemasan lengkap kombinasi antara documenter, drama, thriller, hingga horror” karena sepanjang cerita menyaksikan berbagai isu yang dikemas tajam dan berhasil memprovokasi pikiran penontonnya. Itu yang membedakan ‘Snowden’ dengan ‘Citizenfour’, fokus ceritanya memang sama bahkan jika kamu telah menyaksikan ‘Citizenfour’ maka berbagai materi yang muncul akan terasa familiar, tapi di tangan Oliver Stone (JFK, Nixon, Wall Street: Money Never Sleeps, Savages) ini tidak mencoba menjadi api, ia tetap menyajikan kontroversi dan konspirasi tapi tidak mencoba untuk memprovokasi. Oliver Stone tidak mencoba menggambarkan konsekuensi dari aksi yang dilakukan Snowden tiga tahun lalu dengan cara menghebohkan, ia hanya menunjukkan mengapa Snowden melakukan hal tersebut.  



Hasilnya ‘Snowden’ terasa seperti kisah tentang politik dan berbagai macam hal “menarik” lain di dalamnya dalam bentuk drama kontemporer, dari koneksi Snowden dengan CIA dan NSA hingga hubungannya dengan Lindsay Mills (Shailene Woodley). Stone tidak mencoba untuk terikat agar cerita memiliki akurasi tingkat tinggi terhadap kehidupan nyata Snowden, script yang ia tulis bersama Kieran Fitzgerald hanya mencoba mendorong kesan “penting” dari aksi Snowden tadi bagi kehidupan berteknologi sekarang ini. Tidak heran pada akhirnya ‘Snowden’ terasa seperti sebuah “love story” buat Edward Snowden, mencoba menunjukkan bahwa dengan apa yang ia lakukan Snowden merupakan seorang whistleblower ketimbang sebagai pengkhianat. Itu hal paling mengejutkan dari ‘Snowden’ karena dengan peluang yang lebih besar untuk melakukan dramatisasi film ini justru terkesan bermain aman dan tidak mencoba untuk “memprovokasi” penonton secara lebih mendalam.  



Dampaknya tidak kecil, meskipun membuat karakter Snowden dan berbagai masalah yang ia hadapi tetap terasa menarik tapi sebagai drama thriller film ini tidak punya thrill yang sangat menarik. Karakter Snowden terasa terlalu “agung” di sini, narasi juga seperti mencoba menghindar dari berbagai fakta yang dapat membuat karakter Snowden menjadi terlalu tersudutkan. Alhasil meskipun konflik tentang privasi masyarakat itu tetap cukup chilling tapi tidak ada kesan “horror” di dalam ‘Snowden’, ini sebatas mencoba membangun sejarah yang dimiliki oleh Snowden dengan aksi menghebohkan yang ia lakukan sebagai pendamping. Oke memang karena ini merupakan sebuah film biografi tapi karena terkesan terus mencoba “rendah hati” energi ketika cerita tampil tidak pernah sepanas dasar dari materi yang ia miliki, hal yang sangat disayangkan karena dengan materi yang panas itu ‘Snowden’ memiliki potensi yang besar untuk mempermainkan paranoia penontonnya.  



Banyak detail cerita tentang Snowden telah dikupas oleh ‘Citizenfour’ dan kurang berhasilnya Stone membuat cerita duduk di satu kursi yang jelas membuat ‘Snowden’ cukup sering terasa terperangkap, seperti tone cerita yang kurang oke ketika mencoba menggabungkan drama dengan elemen a la film spy. Akibatnya tidak ada elemen di dalam cerita yang benar-benar terasa standout meskipun para aktor telah berusaha menghidupkan karakter mereka lewat performa akting yang oke. Joseph Gordon-Levitt berhasil membuat Snowden tampak seperti seorang tahanan yang kecewa karena usaha yang dia lakukan justru menghasilkan boomerang berbahaya baginya, tapi ketika tampil bersama supporting cast ia tidak selalu “bersinar” paling terang. Pemeran pembantu berhasil meninggalkan impresi yang lebih kuat ketimbang JGL, dari Zachary Quinto, Melissa Leo, dan Tom Wilkinson hingga Rhys Ifans yang selalu menjadi scene-stealer. ‘Snowden’ juga berhasil menampilkan akting terbaik dari Nicolas Cage sejak ‘Joe’. 



Di elemen teknis Oliver Stone mampu menggambarkan kembali fakta terkait tindakan amoral dan kejam dari pemerintahan USA yang mencoba “mengintai” warganya sendiri, tampil seperti sebuah “love story” bagi aktor utamanya, Edward Snowden. Di film ini sosok kontroversial itu merupakan seorang pahlawan, sebagai whistleblower yang mencoba menginspirasi revolusi terkait privasi. Tapi cara Oliver Stone mengeksekusi cerita tidak tajam dan membuat ‘Snowden’ seperti meraba-raba akibat sejak awal memilih bermain aman agar tidak merugikan karakter Snowden. In the end sama seperti yang dilakukan ‘Citizenfour’ saya bertemu dengan fakta terkait kehidupan Snowden tapi ketika film dokumenter itu memprovokasi penonton dengan thrill yang menyenangkan film ini memilih main aman, cukup understated namun mengikis kesan “important” yang dimiliki materi cerita dan membuatnya terasa biasa serta easily forgotten meskipun kejutan di bagian akhir itu tidak begitu buruk. Segmented. 













1 comment :

  1. kurang berani membahas ap isi dokumen rahasia itu yg membuat snowden merasa terpanggil hati nya utk tidak membiarkan dunia berada dlm genggaman USA semata..

    ReplyDelete