19 August 2016

Review: Into the Forest (2016)


"Anybody there?"

Banyak cara yang dapat digunakan oleh sebuah film untuk meninggalkan impresi menarik bagi penontonnya, cara termudah tentu saja dengan menciptakan kehebohan penuh ledakan, jika film tentang kiamat maka libatkan manusia dalam pertarungan dengan alien dan zombie misalnya. ‘Into the Forest’ mencoba sisi sebaliknya, sebuah kisah tentang “kekacauan” yang terjadi di sebuah bencana dengan pendekatan yang minimalis, menyaksikan karakter bertahan hidup and shaping their life, keep you wondering with survival and sisterhood story. Produced by Juno MacGuff, it feels like ‘Into the Wild’ meets ‘Ex Machina’ without robots presences.

Nell (Ellen Page) sedang bersiap menghadapi ujian, Eva (Rachel Evan Wood) sedang berlatih menari, dan ayah mereka Robert (Callum Keith Rennie) sedang menonton televisi, keluarga yang tinggal di cabin yang terletak di sebuah hutan negara Kanada itu tampak normal hingga suatu ketika listrik padam. Tidak hanya di lingkungan mereka namun di seluruh belahan dunia. Kondisi semakin panas ketika setelah berhari-hari listrik masih padam mulai beredar kabar bahwa itu merupakan awal dari sebuah bencana besar di mana dunia berada di ambang kiamat, menciptakan kehebohan besar yang memaksa Nell dan Eva ikut berjuang untuk bertahan hidup.    

Film yang merupakan tipe character-driven seperti ini punya masalah yang sudah cukup sering coba dilakukan oleh filmmaker, sinopsis berisikan kondisi di ambang kiamat yang memaksa manusia untuk bertahan hidup. Berdasarkan novel karya Jean Hegland di sini Patricia Rozema memilih menggunakan permainan atmosfir ketimbang memberi kamu berbagai ledakan besar seperti meteor jatuh misalnya, dan akan langsung mengingatkan kamu pada apa yang pernah coba dilakukan oleh Z for Zachariah dengan situasi berbeda yang dihadapi karakter. Namun apa yang membuat ‘Into the Forest’ tidak berada di kelas yang sama dengan film yang dibintangi oleh Margot Robbie dan terasa underwhelming itu adalah ini punya masalah yang menarik dan tampil dengan pesona yang juga oke. Masalah utama cerita tentu apa penyebab listrik menjadi padam, menciptakan setting dystopian yang oke lalu masuk ke dalam sebuah drama tentang sisterhood yang menarik. 


Di awal masalah kiamat terasa menarik tapi ketika mulai muncul kepanikan daya tarik ‘Into the Forest’ lebih condong pada hubungan antara Nell dan Eva. Ketimbang membuat penontonnya bertanya 5W dan 1H bersama karakter, Patricia Rozema lebih condong menunjukkan usaha bertahan hidup dari dua karakter utamanya, berhadapan dengan rasa sepi, lapar, hingga penyakit. Perlahan kondisi Nell dan Eva mulai rapuh, tapi situasi di sekitar mereka yang mungkin saja berisikan ancaman berbahaya memaksa Nell dan Eva untuk tetap waspada bersama rasa cemas. Itu bekerja cukup baik untuk membuat penonton seolah berada di dalam cerita karena ada kontras yang oke dengan kehidupan normal dan damai di bagian awal. Sekilas kita tahu apa yang terjadi di luar sana misalnya lewat kehadiran Eli (Max Minghella) tapi Patricia Rozema tetap membuat agar narasi terasa minimalis, dan menariknya hasilnya terasa manis. 


For me hal terbaik yang diberikan film ini terletak pada semangat sisterhood yang ditampilkan Nell dan Eva dengan menyaksikan perubahan pada hubungan mereka. Ini memang kisah survival, dengan kondisi “kelam” yang mereka hadapi kakak beradik itu harus bertindak hati-hati karena taruhannya pada nyawa mereka, membuat mereka saling berbagi kasih sayang yang menghasilkan emosi yang cukup oke. Pacing narasi memang terasa segmented dan di beberapa bagian sempat terasa sedikit longgar, tapi tidak ada momen menjemukan, Patricia Rozema berhasil menciptakan sebuah drama yang mampu membuat kamu merasa chilling dengan intimitas yang cukup oke. Itu juga berkat kinerja akting dari Ellen Page (a riveting performance from her) dan Evan Rachel Wood, masing-masing mampu menarik empati penonton dengan cukup baik terhadap situasi yang mereka hadapi, mata mereka merupakan mata penonton. Sebagai tim mereka juga kuat, dari tarik dan ulur hingga kegigihan mereka yang tidak pernah goyah. 


Tujuan ‘Into The Forest’ sejak awal adalah membuat arena berisikan tekanan karena sebuah bencana lalu memasukkan penonton ke dalam arena tersebut. Patricia Rozema berhasil melakukan itu dengan baik menggunakan pendekatan minimalis yang efektif. Tanpa ledakan dan zombies, hanya sepi dan kegelapan menyaksikan manusia yang “terluka” mencoba untuk bertahan hidup, menggunakan “horror” dan rasa ragu untuk menciptakan arena penuh realism di mana karakter tumbuh and shaping their life. Dibantu kinerja akting yang oke dari dua pemeran utama wanita ‘Into The Forest’ merupakan eksekusi yang segar terhadap genre yang familiar ini, meskipun sempat terasa sedikit longgar di beberapa bagian tapi tetap mampu menjadi kisah tentang apocalypse yang thoughtful, devastating, and moving tanpa terlalu terkesan meditatif ketika menggambarkan sisi kejam dari dunia yang liar ini. Segmented.










0 komentar :

Post a Comment