30 August 2016

Review: Florence Foster Jenkins (2016)


"Music is my life."

Apakah sikap menyerah merupakan sebuah pilihan? Mungkin iya, mungkin tidak, semua tergantung pada seberapa besar dan keras niat serta usaha yang kamu miliki untuk mencapai apa yang kamu inginkan. Hal tersebut yang coba digambarkan oleh film ini, Florence Foster Jenkins, karya terbaru dari sutradara Dangerous Liaisons, High Fidelity, The Queen, dan Philomena dengan menggunakan sebuah kisah nyata tentang seorang wanita yang kurang paham pada nada dan irama namun ingin menjadi seorang penyanyi. It’s a good enough boat for Meryl Streep to slaying awards season later.

New York City, tahun 1944, Florence Foster Jenkins (Meryl Streep) merupakan seorang wanita dari kaum bangsawan yang mencintai seni, bersama suaminya St. Clair Bayfield (Hugh Grant) mendirikan sebuah klub sosial yang berfokus pada musik. Florence yang menderita penyakit kronis suatu ketika ingin belajar vokal dan merekrut pianis bernama Cosme McMoon (Simon Helberg) untuk mendampinginya berlatih. Target utama Florence adalah untuk menjadi penyanyi opera dan tampil di Carnegie Hall namun itu bukan sebuah misi yang mudah karena Florence memiliki kemampuan vokal basic yang tidak mumpuni, dari nada, ritme, hingga frase. 


Florence Foster Jenkins adalah biografi yang “not so clear”. Di sini jelas bahwa karakter utama melakukan usaha yang dapat dikatakan perpaduan antara berani serta "konyol" dan itu dimanfaatkan dengan baik oleh Stephen Frears bersama screenwriter Nicholas Martin untuk menampilkan rasa comic di dalam cerita. Mereka ping-pong di sini, di satu sisi kita dibawa untuk mentertawakan usaha Florence (kemampuan bernyanyinya memang sangat kurang) tapi di sisi lainnya juga berusaha mengikat penonton dengan simpati pada usaha Florence karena sikap pantang menyerahnya itu. Perpindahan antara dua bagian itu membuat ‘Florence Foster Jenkins’ terasa cukup berwarna, bertemu dengan momen tentang humanity menyaksikan kepedihan yang dialami karakter utama lalu pindah ke momen lucu menertawakan Florence. Sayangnya pada akhirnya tidak ada elemen yang benar-benar terasa kuat di ‘Florence Foster Jenkins’. 


Saya suka cara Stephen Frears menampilkan semangat Florence, sepenuh hati untuk meraih mimpinya meskipun has no talent, hal yang juga digunakan dengan baik untuk melakukan mocking terhadap Florence. Tone cerita dan eksekusi cukup oke tapi dua unsur di dalam cerita berupa ambisi dan tragedi tidak berkombinasi untuk tampil bersinar lebih terang. Screenplay jatuh menjadi terasa “pendek”, kisah tentang “at least she tries” ini menampilkan aksi mengamati yang oke tapi impresi di bagian akhir kurang maksi. Florence seharusnya menjadi seorang heroine yang mempesona penonton dengan sikap “dream, defy, deliver” yang ia tampilkan tapi powernya kurang kuat. Florence merupakan karakter yang menarik namun tragedi di sini kurang mampu mengangkat pesona Florence lebih tinggi karena faktanya ia dapat “berjaya” disebabkan oleh orang-orang di sekitarnya memilih tutup mata karena Florence memiliki harta dan tahta. 


Karakter Florence menarik tapi tidak memiliki kedalaman yang memukau, alhasil perjuangannya meraih mimpi tadi berjalan tenang tanpa kejutan. Ini terasa menjaga rasa hormat dan tidak membuat Florence sebagai totally objek lelucon tapi juga kurang berkomitmen ketika menggambarkan tragedi yang Florence alami. Komedi film ini terasa oke, elemen terbaik dengan “kekonyolan” Florence sebagai senjata utamanya. Dan meskipun tidak terlalu mendominasi elemen komedi banyak membantu Florence Foster Jenkins untuk dapat bernafas dengan baik hingga akhir karena kualitas elemen drama yang kurang kuat. Apa yang dilakukan Stephen Frears pada elemen drama bagus tapi untuk ukuran film dengan Meryl Streep dan sebuah kisah yang berpotensi menginspirasi ‘Florence Foster Jenkins’ terasa sedikit terlalu sentimental dan klise. Ketika menonton mulai dari bagian tengah saya sering berharap agar sisa durasi di isi dengan komedi saja. 


Tapi apakah kita mungkin dapat melihat ‘Florence Foster Jenkins’ di awards season mendatang? Jawabannya adalah yes for Meryl Streep. Ini bukan performa akting terbaiknya namun untuk ukuran Golden Globes kategori komedi Meryl Streep punya peluang cukup besar lewat komitmen yang ia tampilkan pada karakter Florence, unsur tragis berhasil ia campur dengan rasa comic yang menghibur tapi di sisi lain juga mampu memancarkan sedikit rasa heartwarming pada wanita delusional itu. Hugh Grant berhasil menjadi pendamping yang manis bagi Meryl Streep dan jangkar yang baik bagi cerita, dia liar namun charming, dan chemistry Clair Bayfield bersama Florence merupakan salah satu bagian paling menarik dari film ini. Bintang 'The Big Bang Theory', Simon Helberg, juga mampu mencuri perhatian, ekspresi yang ia tampilkan dari mata hingga senyuman kerap mewakili apa yang penonton rasakan terhadap Florence. 


Terlepas dari beberapa minus yang ia miliki ‘Florence Foster Jenkins’ merupakan sebuah drama comedy yang cukup menghibur, terasa tenang dan minim kejutan tapi cukup konsisten mencuri perhatian lewat semangat perjuangan yang dilakukan Florence termasuk kekonyolan di dalamnya yang membuat ‘Florence Foster Jenkins’ terkadang terasa menggelikan. It works well enough as a light comedy, dan sama seperti ‘The Iron Lady’ film ini merupakan perahu yang cukup mumpuni untuk membawa Meryl Streep kembali tampil di awards season mendatang. Fyi, jika kamu ingin menyaksikan versi serupa namun tak sama dari kisah Florence Foster Jenkins silahkan tonton ‘Marguerite’, better than ‘Florence Foster Jenkins’. 











1 comment :