29 August 2016

Review: Blood Father (2016)


"My name is John Link, and I’m a real success story."

Seorang wanita muda sedang berada dalam bahaya yang kemudian membuat sang ayah terlibat dengan mengotori tangan miliknya untuk menyelamatkan sang putri, tampak seperti Taken bukan? Konsep muncul masalah lalu diteruskan dengan aksi kejar berisikan usaha balas dendam seperti ini sudah sangat familiar, mayoritas yang mencoba melakukannya kerap terjerat penyakit klise revenge-thriller seperti terlalu tipis, terlalu lesu, dan terlalu berantakan. ‘Blood Father’ bukan salah satu dari mereka, memberikan kejutan yang banyak mengingatkan pada impresi yang diberikan Cop Car tahun lalu yang berhasil mencuri perhatian lewat kesederhanaan dan efektifitas yang ia berikan. Warm but nasty, it feels like mad Max doing a ‘Taken’.

Wanita muda bernama Lydia Link (Erin Moriarty) terjerumus di dalam bisnis kartel narkoba pacarnya, Jonah (Diego Luna), Lydia kini kecanduan obat-obatan dan menjadi buronan. Satu-satunya orang yang Lydia anggap mampu menyelamatkannya dari bahaya besar tersebut adalah sang ayah, John Link (Mel Gibson), mantan biker gang yang kini mencoba pulih dari kecanduan terhadap alkohol dengan membuka sebuah salon tattoo. Celakanya usaha melindungi dan menyembunyikan putrinya dari pencarian polisi serta para kriminal yang mungkin akan membunuhnya tidak berjalan mudah bagi mantan narapidana yang sedang berada dalam masa percobaan itu.  


Ya, sejak sinopsis ini sudah terasa predictable, Link dan Lydia mencoba kabur dari kejaran polisi dan kriminal dalam sebuah aksi kejar yang standard dan akan mengingatkan kamu pada apa yang dilakukan Liam Neeson di ‘Taken’, tapi yang mengejutkan dengan cerita standar tadi ‘Blood Father’ mampu menjadi sebuah action thriller yang menghibur. Jean-François Richet melakukan eksekusi yang efektif sejak menit awal, script yang ditulis oleh Peter Craig dan Andrea Berloff ini dibuka dengan menampilkan kekejaman yang berhasil menciptakan kesan “nasty” pada karakter dan cerita. Dan ketika kondisi “mengerikan” itu sudah terbentuk dengan oke kita kemudian masuk ke dalam hubungan ayah dan anak yang klasik tapi dikemas dengan menarik. Screenplay memang tidak selalu berhasil menghindari hal-hal klise dari tipe action thriller seperti ini tapi cara Jean-François Richet mengeksploitasi mereka dengan bijak bersama sedikit sentuhan humorous itu menciptakan dan menjaga grooveBlood Father’ untuk tetap terasa menarik hingga akhir.  


‘Blood Father’ tetap terasa kicking hingga akhir karena cerita berada di dalam sebuah lingkaran dengan pace yang terasa cukup padat dan ketat. Situasi hidup dan mati yang dihadapi John dan Lydia memang tidak begitu “panas” tapi dengan gerak perlahan kesan “grimy” yang ia miliki terus tumbuh dengan baik and keep it alive. Atmosfir yang stylish itu terasa oke, cara cerita meninggalkan impresi lewat kekerasan yang sadis juga oke, tapi sumber utama pesona ‘Blood Father’ ada pada pondasi hubungan antara ayah dan anak. Mereka hidup di dunia yang dipenuhi “crap” tapi keinginan John untuk berubah dan rasa sayangnya pada Lydia berhasil mengikat atensi, menghasilkan rasa hangat dan lembut meskipun narasi terus berusaha untuk tampil macho. Dengan durasi 88 menit di beberapa bagian ‘Blood Father’ memang sempat terasa sedikit longgar tapi tidak terasa mengganggu terlebih ketika kita disibukkan dengan usaha tarik dan ulur yang ditampilkan Jean-François Richet pada karakter John. 


Dengan cerita yang terasa cukup tipis alasan lain yang membuat ‘Blood Father’ tetap terasa cukup fun diikuti adalah cara John “bergembira” di dalam masalah yang dialami putrinya. John merupakan pria dengan sikap yang terasa menjengkelkan bukan hanya ketika ia berurusan dengan elemen action saja tapi juga di elemen drama, ia tampak merasa khawatir terhadap putrinya tapi di sampingnya juga eksis sikap tidak acuh atau tidak begitu peduli. Itu warna yang cukup menarik untuk menemani elemen action yang juga tampil cukup oke, bergerak agresif yang akan mengingatkan penonton pada Mad Max dipenuhi ledakan dan adu pacu yang divisualisasikan dengan cukup cermat menggunakan 80s style, mampu menghadirkan aksi kejar yang menghibur serta membuat penonton peduli pada eksistensi karakter karena konsekuensi yang mengancam berhasil dipertahankan. 


Jean-François Richet juga patut berterima kasih pada para aktor dan aktris yang ia miliki, sebagai tim mereka oke dan secara individual beberapa dari mereka mampu bersinar dengan baik. Erin Moriarty tampil baik sebagai Lydia, melakukan tindakan yang merugikan diri sendiri tapi juga menampilkan rasa ingin untuk berubah dan hidup di jalan yang benar, cara ia menampilkan kepanikan juga cukup oke. Erin Moriarty juga punya chemistry yang oke dengan bintang utama Blood Father, Mel Gibson. Gibson membuat John tampak believable sebagai ayah tapi juga menjaga kesan macho tidak terganaggu emosi dan kehangatan John sebagai seorang ayah. Karismanya memikat, melakukan balas dendam amarahnya seperti gunung berapi yang siap meluapkan larva panas, ia tampak keras dan “gila” namun juga dipenuhi dengan emosi yang cukup mumpuni. Mel Gibson dan Erin Moriarty juga dibantu oleh supporting cast yang juga tampil cukup mumpuni. 


Menggunakan basic dari revenge thriller dan menjaga agar semua materi tampil minimalis meskipun melakukan sedikit push di beberapa bagian seperti di elemen action, ‘Blood Father’ tidak menyajikan sebuah action thriller yang mencoba menstimulasi penonton dengan “panas” yang membara, menyandingkan hal tadi dengan drama yang dikemas dengan padat meskipun sama seperti elemen action dan thriller juga tidak mencapai potensi maksimal. Tapi keputusan Jean-François Richet untuk menjaga elemen-elemen tadi terasa minimalis justru membuat film ini terasa intens dan enjoyable, dari permainan atmosfir yang oke dan pace yang cukup padat, ‘Blood Father’ berhasil menjadi sebuah kisah ayah dan anak yang nasty dengan emosi yang mumpuni. Menyenangkan menyaksikan Mel Gibson kembali mampu tampil kick-ass dengan karisma dan pesona yang oke. Surprisingly a good ride. 











2 comments :

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Film ini mmg impresif. Saya merasa 'lega' setelah film selesai walaupun om mel tewas.

    ReplyDelete