26 December 2015

Review: Son of Saul (2015)


Sebuah drama, begitu impresi yang diberikan oleh Son of Saul (Saul fia) pada awalnya, namun dengan menggunakan Holocaust sebagai pusat cerita, lalu Kubrickian, debut dari László Nemes ini berhasil menjadi sebuah pengalaman horror yang menakutkan, sebuah provokasi indah dengan menggunakan salah satu kejahatan dunia yang pernah eksis ketika Perang Dunia II yang lalu. The Pianist dan Schindler's List kini dapat beristirahat dengan tenang karena film tentang Holocaust di era millennium dengan keindahan yang serupa dengan mereka telah hadir.

Saul Ausländer (Géza Röhrig) merupakan seorang Hungaria-Yahudi anggota Sonderkommando, menjalankan tugas “kotor” pada sebuah camp terisolasi di Auschwitz yang dipaksa untuk membantu Nazi dalam pemusnahan besar yang mereka lakukan. Saul tidak menyukai pekerjaannya tersebut hingga suatu ketika di saat Sonderkomando sedang berencana melakukan pemberontakan Saul menemukan tubuh seorang anak dari api dan meminta agar dilakukan pemakaman yang layak bagi tubuh anak yang ia klaim sebagai anggota keluarganya itu. 



Son of Saul adalah sebuah drama mengerikan yang mencoba menampilkan sisi mengerikan yang dialami karakter dengan cara memaksa penonton untuk ikut merasakan kenyataan mengerikan tersebut. Rasio 4:3 seperti memaksa kita para penonton seperti tidak berdiri terlalu jauh dari Saul, kamera konsisten memberikan close-up pada karakter Saul, kekerasan dan kesan horror dari cerita seperti dikunci pada wajah Saul. Dari sinopsis saja film ini sudah berhasil menciptakan kesan mengerikan yang ingin ia tampilkan, dan László Nemes sukses mengembangkan hal tersebut, dengan sedikit rasa documenter membawa kamu mengamati banalitas kejahatan dalam gerak yang cepat serta intimitas tingkat tinggi.



Son of Saul punya dialog tapi hal tersebut dijadikan pendamping oleh László Nemes di sini. Konsep Son of Saul seperti sebuah tur berisikan kejahatan yang mengerikan dari Holocaust mengandalkan visual untuk memukul penonton dengan emosi. Ekspresi Géza Röhrig sangat kuat, pertunjukkan tenang dengan permainan mata yang tajam terus mengikat penonton dan membuat mereka tenggelam, banyak emosi yang ia sampaikan hanya dengan menggunakan kata-kata yang tergolong sedikit. Konflik film ini sederhana, fokusnya kuat, kamu akan sulit menemukan momen di mana ritme cerita sedikit longgar sehingga kamu sejenak bisa menyantap minuman dan snack sembari membetulkan posisi duduk. Ketika film berakhir coca-cola yang saya beli masih dalam kondisi yang sama ketika saya beli sebelum menonton, tidak tersentuh.



Begitulah kejinya film ini dalam memanipulasi untuk menenggelamkan penonton bersama Saul. Penonton tidak diijinkan untuk terlalu dalam mengulas apa yang terjadi ketika cerita masih berjalan, kamu tahu ada masalah, kamu merasakan situasi kotor dan rasa sakit dari masalah tersebut, kemudian kamera berkeliaran lalu bergerak membawa kamu menuju masalah lainnya. Yang mengasyikkan adalah László Nemes membuat usaha untuk menjebak dan mengejutkan kamu di dalam lingkaran setan itu tidak dengan cara yang murahan. Son of Saul seperti ditahan untuk tidak terlalu eksploitatif, plot tidak mencoba begitu keras untuk memanipulasi masalah dengan cara yang tidak sopan, begitupula dengan score. Son of Saul seperti sebuah es yang tampak dingin tapi ketika kamu sentuh justru terasa sangat panas.



Aneh? Ya, Son of Saul memang sebuah kemasan yang aneh, sebuah drama Holocaust yang melepas horror mencengkeram penonton lewat visual dan mendampinginya dengan narasi dan emosi yang berbobot. Rasa sesak sangat konsisten, sisi kasar dari konflik benar-benar ditampilkan dengan kasar, menyaksikan Saul masuk ke dalam putus asa lalu mendorong isu kemanusiaan dan paradoks moral dengan framing intim presisi yang gemar memainkan bokeh di latar belakang. Son of Saul adalah film penting yang mengerikan, melelahkan, dan mengasyikkan secara bersamaan, menampilkan keindahan dan kejahatan yang eksis di dunia ini dengan melakukan provokasi mengandalkan empati dan emosi. Well, hmmm, that’s it. Segmented.













Thanks to: rory pinem

0 komentar :

Post a Comment