27 December 2015

Review: Joy (2015)


"She brought the hammer down."

“I’ll do anything with you until you die,” begitu kata Jennifer Lawrence kepada David O. Russell yang dikutip dari sesi tanya jawab saat screening Joy pada akhir november yang lalu. Sutradara dan aktris ini perlahan memang tampak seperti duet yang mulai sulit untuk dipisahkan, Joy merupakan kolaborasi ketiga mereka setelah Silver Linings Playbook dan American Hustle. Namun tidak seperti dua film tadi ternyata Joy memberikan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang sayangnya membuat saya berharap agar mereka memilih untuk “berpisah" sejenak.  A forced package from start to finish, that’s Joy.

Meskipun bermasalah dalam karirnya sebagai single mom setelah bercerai dengan suaminya Tony Miranda (Édgar Ramírez), memiliki hubungan yang kurang hangat dengan ibunya Terry Mangano (Virginia Madsen) serta adiknya Peggy (Elisabeth Röhm), dan menyaksikan sang ayah Rudy Mangano (Robert De Niro) mengalami masa puber yang kedua bersama Trudy (Isabella Rossellini), Joy (Jennifer Lawrence) merupakan wanita kreatif dan layak memiliki karir yang jauh lebih baik dari yang ia miliki sekarang. Suatu ketika Joy mengalami insiden dan ia mendapat inspirasi untuk membuat pembersih lantai atau pel yang jauh lebih “memudahkan” konsumen. Sayangnya jalan untuk mewujudkan ide tersebut tidak mudah. 



Menggunakan Miracle Mop yang merupakan prototype karya Joy Mangano di tahun 1990 untuk kembali menggambarkan perjuangan karakter meraih kesuksesan dari titik terendah, David O. Russell memulai Joy dengan cukup baik walaupun editing yang terasa kasar itu memang menjengkelkan. Sederhananya di bagian awal Joy bercerita secara on point, sangat mudah untuk merasakan kesulitan yang dialami oleh Joy baik yang dihasilkan oleh dunia luar maupun yang berasal dari keluarganya sendiri. Karakter yang underdog, lalu berikan beban dan tanggung jawab yang harus ia lakukan, lanjutkan dengan perjuangan untuk kemudian meraih kesuksesan, konsep yang dapat dikatakan seperti sudah menjadi hafalan bagi David O. Russell itu tampil baik.



Sayangnya adalah setelah bagian awal yang cukup baik tadi ternyata Joy tidak terbang lebih tinggi lagi. Joy perlahan jadi seperti sebuah perayaan tentang suka dan duka kehidupan yang melelahkan. Fokus menjadi masalah terbesar dari film ini, hingga menjelang bagian akhir David O. Russell masih tampak kesulitan menetapkan nada yang pas untuk Joy, usaha mendorong sisi inspiratif berisikan pesan tentang motivasi tidak pernah menghasilkan punch yang kuat. Tidak heran dibantu dengan editing yang liar dan tidak nyaman alur cerita film ini sering banget kelihatan kebingungan, mudah untuk menemukan loncatan cerita yang terkesan dipaksakan meskipun sudah coba ditutup dengan kombinasi proses penemuan, ambisi, masalah keuangan, hingga keluarga yang dicampur aduk dalam gerak cepat.



Mari ambil contoh Silver Linings Playbook, kita tahu Tiffany punya masalah eksternal dan internal, dan kita sebagai penonton dengan senang hati berada di sampingnya. Joy berbeda, David O. Russell seperti coba bereksperimen dengan nada sehingga penonton sulit untuk stick dengan karakter Joy karena kesan liar membuat pesonanya hit and miss. Visi dan misi dari Joy Mangano terus terombang-ambing sehingga pesona dari perjalanan kewirausahaannya terasa biasa, rasa cemas, rasa sakit, ambisi dan motivasi, mereka saling bertabrakan. Saya juga terus dibuat merasa aneh pada irama cerita yang seperti tergesa-gesa, seperti pencuri yang sedang dikejar polisi. Itu bagus jika Joy memiliki banyak hal menarik yang ingin disampaikan, tapi film ini tidak, sinopsis terlihat rumit tapi kisah sederhana, durasi besar dan ritme yang kasar. 



Mungkin akan terkesan kasar namun penampilan Jennifer Lawrence merupakan satu-satunya hal menarik dari Joy. Pemeran pendukung seperti Robert De Niro hingga Bradley Cooper (surprisingly memperoleh spot di poster ) oke dalam menciptakan ingar-bingar yang membuat kehidupan Joy tampak sesak, dan Jennifer Lawrence gunakan itu untuk menghidupkan karakter Joy di dalam layar. Namun ini bukan performa terbaik J-Law, bahkan jika melihat persaingan tahun ini saya ragu apakah kinerjanya layak masuk jajaran atas. J-Law sebagai Joy adalah benar namun salah, ia tampil cekatan dan konsisten, nakal dan bubbly akan jadi alasan banyak penonton menyukainya sebagai Joy. Tapi J-Law kurang berhasil mengambarkan “soul” dari Joy sebagai seorang wanita dengan masalah dan tanggung jawab yang lebih besar dari Tiffany dan juga Rosalyn.



Berawal dari ide alat pel lantai Joy Mangano berhasil menjadi sosok yang dikenal sebagai the creator of smart & stylish innovations. Itu sudah cukup menjadi alasan mengapa Joy seharusnya menjadi sebuah drama-comedy yang inspiratif, bukannya sebagai soap opera yang liar dan bingung sehingga kesan smart dan stylish yang dihasilkan hanya dalam level yang cukup. Punya durasi 124 menit, konflik tidak rumit, irama juga seolah terus berlari, jadi terasa aneh ketika perjuangan dari sebuah kisah inspiratif justru berakhir begitu “pendek” dan sederhana. Joy adalah kolaborasi super familiar dari Jennifer Lawrence dan David O. Russell, dan sebaiknya masing-masing mulai mencari perahu untuk Oscars yang dapat memberikan udara segar. Joy is good, but not a joyous to me.













Thanks to: rory pinem

0 komentar :

Post a Comment