15 November 2015

Review: Spotlight (2015)


"They knew and they let it happen!"

Sebenarnya jika dilihat dari dasar ceritanya Spotlight merupakan sebuah kemasan yang sederhana, tapi jujur saja cukup sulit untuk membuat kalimat pembuka bagi film ini. Mungkin bagi sebagian orang ini akan terkesan berlebihan, tapi Spotlight merupakan jenis drama prosedurial yang selalu kita nantikan kehadirannya setiap tahun, karena jumlah mereka yang berhasil mencapai level top-class terhitung langka. Spotlight seperti ketika The Hurt Locker, Zero Dark Thirty, dan Argo bersama dengan Hulk serta Birdman berkumpul dan berkerja sama di dalam ruang investigasi The Boston Globe. First-class drama.

Pada summer tahun 2001 ketika mengambil alih kendali editorial The Boston Globe hal pertama yang dilakukan oleh Marty Baron (Liev Schreiber) adalah mempertanyakan skandal pelecehan di sebuah Gereja Katolik kota Boston. Upaya investigasi lahir menggunakan tim dengan nama Spotlight, berisikan editor dan wartawan Walter V. Robinson (Michael Keaton), Michael Rezendes (Mark Ruffalo), Sacha Pfeiffer (Rachel McAdams), dan Matty Carroll (Brian d'Arcy James), mencoba melihat, menggali, dan mengungkapkan informasi dari tuduhan pelecehan tersebut. 



Ketika ia baru dimulai semua yang ada di dalam Spotlight tampak sederhana, sinopsis di atas saja simple, tapi dengan rapi Thomas McCarthy buat mereka tumbuh menjadi kerumitan sederhana yang cantik. Itu pencapaian special karena topik utama film ini sesungguhnya sangat sensitif tapi semua terbangun tanpa meninggalkan kesan "perang" yang mengganggu. Memang ada perang di dalam cerita, para wartawan yang terus berusaha melakukan investigasi dengan beberapa ledakan yang manis, tapi cara Thomas McCarthy memainkan air dan api di dalam cerita menjadikan Spotlight tidak hanya mudah untuk mencuri perhatian penonton tapi juga menjadikan penonton mencintai mereka, sekalipun kamu merupakan seorang religious yang notabene akan lebih dekat dengan wilayah tidak nyaman mengingat isu yang film ini bawa.



Spotlight berhasil membentuk isu pelecehan seksual yang terpilih jadi pemenang Pulitzer Prize for Public Service tahun 2003 tadi menjadi proses investigasi yang sopan tapi licik. Seperti nama tim kasus tersebut langsung disorot ke titik fokus, langsung ke spotlight, setelah dicengkeram dan seolah jadi anggota lain tim kita ditempatkan pada lingkup luas dari isu, lalu stay there, stay there, and stay there. Aneh, Spotlight sebenarnya punya potensi untuk tampil sedikit melodrama, tapi itu tidak eksis di sini. Bahkan latar belakang karakter dibentuk dengan cepat dan tangkas, subplot ia punya tapi tidak ada eksplorasi yang berlebihan, tidak ada misteri yang kelewatan, sejak awal kita berada di tengah masalah dan dari sana penonton dipersilahkan untuk bermain-main dengan sudut pandang mereka sendiri.



Itu mengapa saya mengatakan ini seperti The Hurt Locker, Zero Dark Thirty, dan Argo sedang berdebat sambil menikmati kopi bersama, Spotlight bersinar karena ia fokus. Spotlight juga tahu apa yang ingin ia sampaikan, ia tahu cara menyampaikan, tapi itu dilengkapi dengan sikap hormat dalam eksekusi tanpa mengorbankan kebebasannya dalam berekspresi. Usaha jurnalisme yang mencoba mencari dan membawa ketidakadilan ke pusat perhatian terasa tajam tapi asyiknya tidak eksploitatif atau kurang ajar. Itu karena Spotlight cemerlang dalam menyampaikan poin cerita, Tom McCarthy tidak sekedar melempar informasi bahwa ini salah dan ini benar lalu kemudian titik, ia mainkan perspektif cerita dengan cerdik sehingga muncul perdebatan hangat ketika tim mencoba menggambarkan fakta yang juga seperti tidak lupa menggunakan rincian kecil meskipun ia duduk di posisi tengah.



Faktor lain di balik kesuksesan Spotlight menjadi “kekacauan” yang mengagumkan yaitu performa cast. Terdapat lima anggota dan semua bisa memegang kendali cerita. Yang paling mencuri perhatian adalah Mark Ruffalo, bukan karena karakternya yang paling vocal tapi ia memberikan ketenangan yang kemudian disusul ledakan mengesankan. Saya juga suka dengan McAdams di sini, terutama pada ekpresi matanya yang manis dalam menggambarkan simpati. Sama halnya dengan Keaton yang sering kali seperti menjadi kayu bagi perapian, sementara penampilan Schreiber dan Slattery terkendali tanpa membuat penonton melupakan mereka. Yang menarik di bagian ini adalah Stanley Tucci, selalu mencuri layar ketika ia muncul. Teamwork dan chemistry yang manis jadi kunci lain kesuksesan Spotlight, karena ketegangan berasal dari hambatan yang harus di hancurkan oleh tim untuk memperoleh kebenaran.



Spotlight kuat karena ia bermain dengan cepat, tepat, dan ketat. Fokusnya pada proses tanpa eksploitasi yang berlebihan, terkesan tertutup tapi punya kejutan oke, informasi dari topik berat tidak hanya untuk kamu tahu tapi juga dirasakan. Tidak heran ketika selesai ada perasaan segar karena Spotlight mondar-mandir memprovokasi dengan sopan, meninggalkan kamu dengan sebuah pelajaran yang kuat. Apa? Kerja sama dan pantang menyerah? Tidak hanya itu, ini tentang komitmen, komitmen dalam berusaha, komitmen untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan menjadikan lingkungan sekitar lebih baik lagi, dan itu semua ditampilkan dalam “kekacauan” yang licik dan sopan. So far Spotlight adalah one to beat untuk tahun ini.












Thanks to: rory pinem

2 comments :

  1. Mungkin saya yg tdk terbiasa dgn film bertife sperti ini..makah nya saya mengantuk pas nonton ya...butuh kecerdasaan yg cukup dan konsentrasi yg tinggi tuk menikmati film ini ...dan itu tdk saya miliki...

    ReplyDelete
  2. Ketika saya menonton film ini di awal saya merasa pengen pulang krn topiknya sangat simple, tp kemudian saya ingat film memento yang dibuat oleh nolan yang topiknya malahan lebih simple namun dibungkus dengan luar biasa. Sampai akhir film saya tidak kecewa sama sekali malah sangat menyukainya krn dapat banyak pelajaran dan berasa masuk ke dalam film dan berasa ikut menjadi seorang jurnalis.

    ReplyDelete