22 November 2015

Review: The Hunger Games: Mockingjay – Part 2 [2015]


"But if you kill him, Katniss, all those deaths, they mean something."

Sampai kapan tren membagi bagian penutup dari sebuah film series yang jadi populer sejak dilakukan oleh Harry Potter lima tahun yang lalu itu akan bertahan? Dari segi finansial tentu saja bagus, lahan jadi bertambah banyak dan lebar yang juga bisa dimanfaatkan untuk menggambarkan cerita dan karakter menjadi lebih dalam dan detail. Tapi bagaimana jika sumber dari bagian penutup itu pada dasarnya tidak punya materi yang gemuk, seperti novel yang menjadi sumber The Hunger Games: Mockingjay – Part 2 ini? Riskan.    

Melihat Peeta (Josh Hutcherson) yang dicuci otaknya oleh Capitol supaya terus memberontak dan membencinya ketika sedang dirawat di Distrik 13, Katniss (Jennifer Lawrence) memutuskan usaha menjatuhkan Presiden Snow (Donald Sutherland) dari tahta harus segera dilaksanakan. Katniss meminta Presiden Coin (Julianne Moore) untuk terjun ke distrik-distrik dan berusaha menyebarkan usaha pemberontakan melawan Capitol. Tujuan Katniss dan tim yang di dalamnya ada Gale (Liam Hemsworth), Finnick (Sam Claflin), dan Cressida (Natalie Dormer), adalah Distrik 2, titik terdekat menuju Capitol. Misi mereka hanya satu: membunuh Snow. 



Sulit memang mengatakan bagian kedua dari film ketiga The Hunger Games sebagai penutup yang luar biasa dashyat, apalagi kalau mengingat hasil yang pernah diberikan oleh tiga film sebelumnya. Lantas apakah ini mengecewakan? Tidak, tapi ibarat sedang melakukan marathon Mockingjay Part 2 ini seperti tiba-tiba saja ada bagian dari lintasan lari yang kondisinya  kurang baik sehingga sedikit mengganggu laju lari dari para pelari. Script yang ditulis oleh Peter Craig dan Danny Strong, serta cara sutradara Francis Lawrence mengeksekusi bagian pembuka terhitung sangat manis, kayak ada kesan boom yang kuat dan mengingatkan penonton pada apa yang terjadi satu tahun lalu di versi filmnya. Hal yang sama juga terjadi di bagian karakter.



Yang jadi masalah dari The Hunger Games: Mockingjay – Part 2 adalah ia bertemu dengan kekurangan yang selalu mudah ditemukan oleh film yang dipecah jadi beberapa bagian. Banyak yang mengatakan Mockingjay merupakan buku terlemah dari trilogi The Hunger Games, tidak mau memungkiri hal tersebut harus diakui bahan yang dimiliki oleh Mockingjay memang terasa lebih simple dibandingkan dengan The Hunger Games dan Catching Fire. Mockingjay seperti mengikuti Katniss mencoba membakar anak panahnya dan Snow menunggu kedatangan panah dengan api yang membara kepadanya. Tentu saja dapat dikemas menarik seandainya semua itu dikemas menjadi satu, tidak dipecah. Itu kekurangan utama film ini, momentum pemberontakan seperti tidak lagi bergelora. Kamu akan stick dengan perjuangan Katniss, beberapa action sequence juga harus diakui oke, kualitas akting juga tidak tenggelam dan terasa impresif, tapi setelah semua selesai rasa yang ia tinggalkan sedikit terlalu ringan dari seharusnya. 



Tapi apakah saya pulang dengan senyuman? Atau lebih spesifik lagi, apakah penonton yang telah membaca novelnya akan pulang dengan senyuman? Ya. Memang akhirnya ia menderita momentum yang jadi kurang bergelora tadi tapi pada dasarnya niat Mockingjay dibagi jadi dua karena selain ingin memanfaatkan potensi meraup keuntungan finansial tim dibalik produksi seperti ingin agar “proses” pemberontakan digambarkan lebih detail. Dan itu hal termanis dari film ini. Bagaimana Katniss diserang oleh loyalis Capitol, The Nut, bermain-main dengan Holo, sampai maju dengan aksi hide and catch, momen tadi bisa saja tidak hadir jika Mockingjay tidak di bagi dua. Keuntungan lain ada di kedalaman karakter, momen kehilangan jadi sangat tajam rasanya, meskipun hingga bagian penutup saya terus berharap ada twist dimana Katniss memilih pria yang lebih layak menerima cintanya.



Ada perasaan campur aduk memang setelah selesai menyaksikan The Hunger Games: Mockingjay – Part 2, saya bisa melepas mereka dengan perasaan bahagia dan lega namun saya sendiri ragu apakah bagian kedua ini akan kembali terlintas di pikiran saya beberapa tahun mendatang. Mengapa? Karena untuk kembali ingat alur cerita Mockingjay saja saya mengambil cara pintas dengan membaca kembali novelnya. Ya, ini adalah sebuah penutup yang manis namun jika kamu merasa ini kurang meledak maka salahkan film pertamanya yang sesungguhnya bisa dipangkas dan disatukan dengan bagian kedua ini. Sedari awal The Hunger Games seperti ingin memberikan treat kepada penonton yang telah membaca sumber ceritanya, dan menaruh fokus pada bagaimana agar setiap point penting di novel hadir di layar. Mereka berhasil melakukan itu dengan sangat baik. So long, Catnip!







1 comment :

  1. Review yang paling bisa mewakili apa yang aku rasain. Endingnya memang kurang nendang, tapi ngerasa puas aja.

    ReplyDelete