03 September 2015

Movie Review: The Piper (2015)


Pernahkah anda menemukan orang tua atau sosok yang menjalani masa muda mereka pada 20-30 tahun yang lalu merasa jengkel dengan kelakuan anak muda sekarang ini? Sering? Tidak heran karena meskipun memberikan dampak positif yang begitu besar modernisasi di berbagai sektor juga tidak luput dari dampak negatif, hal-hal yang dahulunya tabu dan sangat penting kini di nilai sebagai sesuatu yang ringan dan jika dilanggar masih tampak normal. Apa salah satu hal penting yang sekarang ini tampak begitu sepele? Janji, sebuah komitmen yang kini tidak lagi tampak begitu penting dan berarti. Film ini mencoba menggambarkan hal tersebut, The Piper: simple fairytale with sweet impact.

Tidak lama setelah Perang Korea berakhir seorang musisi pengembara bernama Woo-ryong (Ryu Seung-ryong) segera berusaha untuk menjalankan misi yang ia miliki, membawa anaknya Young-nam (Goo Seung-hyeon) bertemu dengan kesembuhan. Sebuah tulisan di selembar kertas yang ia anggap sebagai alamat menjadi pedoman Woo-ryong untuk menuju Seoul dan mengobati penyakit paru-paru anaknya itu, namun menariknya ketika sampai di sebuah hutan harapan dari pria yang masih menderita cedera di kakinya itu perlahan semakin kecil. Ya, mereka tersesat karena lokasi tersebut ternyata tidak tercantum pada peta yang ia miliki meskipun setelah jauh berjalan akhirnya Woo-ryong dan Young-nam masuk kedalam sebuah desa kecil dengan lokasi yang sangat terpencil.

Setelah mendapat ijin dari Village chief (Lee Sung-min) Woo-ryong dan Young-nam dapat menetap sementara disana. Namun walaupun tetap aman dan tentram penduduk desa ternyata selalu diganggu oleh kelompok tikus yang jumlahnya semakin hari semakin bertambah. Sosok penting desa dari Village chief, anaknya Nam-soo (Lee Joon), dan dukun desa Mi-sook (Chun Woo-hee) tidak menemukan solusi untuk masalah tersebut, dan mereka menawarkan imbalan uang kepada Woo-ryong jika dapat mengatasi masalah misterius tersebut. Tapi ada satu perintah lain dari Village chief yang harus Woo-ryong tepati: jangan katakan kepada penduduk bahwa perang telah berakhir.


The Piper sebenarnya bukan sebuah kemasan yang istimewa namun jika anda mencari sebuah film yang ketika hadir ia tampak sederhana namun setelah kalian berpisah anda akan ditinggalkan dengan sesuatu yang terasa kuat dan manis, maka film ini merupakan sajian yang tepat untuk di nikmati. Ini menarik, objek yang menjadi sumber masalah awal dalam film ini adalah tikus-tikus yang ketika ia muncul mungkin dapat membuat anda sangat terkejut tapi The Piper ternyata tidak sesederhana itu. Sang sutradara sekaligus penulis, Kim Gwang-tae, memang tidak memberikan modifikasi yang berarti pada cerita Pied Piper of Hamelin yang menjadi sumber utama cerita film ini, namun menariknya cara ia membentuk kembali dongeng tersebut mampu meninggalkan penonton dengan sesuatu yang sederhana dengan makna yang menarik.

The Piper bukan sekedar pria, tikus, penduduk desa, dan anak-anak belaka, seperti yang disinggung pada bagian pembuka tadi ini adalah tentang komitmen, memasukkan unsur-unsur pembentuk The Pied Piper of Hamelin kedalam kombinasi drama, misteri, romance, horror, serta kemudian disokong dengan sedikit komedi. Ya, tampak seperti gado-gado memang namun masing-masing diantara mereka menciptakan rasa yang menarik ketika disatukan. The Piper tidak bergerak dengan cepat, seperti film Korea pada umumnya di beberapa titik ia mencoba mempermainkan cerita untuk sedikit melayang sejenak sembari berusaha memperdalam power di masing-masing elemen tadi, tapi yang menarik adalah sesuatu yang sangat potensial untuk mengundang rasa bosan dan monoton itu disini justru mampu terus memaku atensi penontonnya.


Sangat suka dengan cara Kim Gwang-tae menciptakan pondasi atmosfir atau nada dari cerita, penonton dengan mudah merasakan ada sesuatu yang salah dan tidak normal bukan hanya dari satu atau dua namun berasal dari banyak karakter, dan itu pula mengapa ada unsur horror didalamnya karena yang kita saksikan adalah aktivitas sebuah desa yang normal dan penuh kedamaian. Desa itu tidak ada didalam peta, desa itu punya masalah dengan tikus, tapi pemimpin desa itu juga punya rahasia yang tidak boleh diketahui oleh penduduk desanya, dari misteri sederhana itu The Piper perlahan mulai membangun dan mempermainkan nada cerita dengan menarik, semua tampak sederhana tapi dibaliknya eksis sesuatu yang mampu mencengkeram penonton dengan rasa ingin tahu serta waspada.

Lantas apa kekurangan dari The Piper? Cara ia bercerita dengan mengandalkan kesan misterius itu menjadikan sensasi cerita punya grafik naik dan turun, perpindahan alur juga tidak semuanya mulus, dan ini punya potensi untuk mengganggu bagi beberapa penonton. Sebut saja ketika ia hendak memasukkan unsur drama laju cerita menjadi sedikit kendur, begitupula dengan romance dan komedi yang ditampilkan secara implisit itu dapat membuat beberapa penonton menilainya sebagai sesuatu yang mentah, berlebihan, hingga canggung. Harus diakui memang beberapa sub-plot tidak punya power yang begitu kuat tapi bukan berarti kehadiran mereka menjadi sesuatu yang tidak berarti, romance memberikan kontribusi yang manis bagi cerita terutama pada karakter Woo-ryong walaupun memang komedi disini sering kali terasa off.


Tapi apakah kekurangan tadi bersifat merusak? Tidak, seperti yang disebutkan sebelumnya meskipun tampak tenang ketika bergerak ia terus mampu memaku atensi sehingga kesan monoton tidak pernah hadir. Memang The Piper menuntut rasa sabar penonton yang sedikit lebih besar ketimbang drama-drama normal, dibantu dengan sinematografi yang manis ia merupakan sebuah presentasi sederhana namun penuh detail yang jika anda amati dengan sabar dan seksama akan menjadikan akhir yang juga tampak sederhana itu terasa kuat dan emosional. Namun The Piper pada dasarnya merupakan penggambaran tentang komitmen yang tricky, ia tidak seutuhnya menuntun penonton melainkan mempersilahkan mereka menafsirkan sendiri isi cerita, dan dengan cerita yang sederhana serta karakter yang terhitung tipis itu The Piper juga punya potensi untuk dinilai sebagai petualangan setengah matang yang terasa percuma.

Divisi akting merupakan salah satu elemen film yang stabil sejak awal hingga akhir, disamping presentasi atmosfir dan misteri, dan penampil terkuat adalah Ryu Seung-ryong dan Lee Sung-min, dengan Chun Woo-hee mengikuti tepat dibelakang mereka. Ryu Seung-ryong merupakan penggerak utama The Piper dan ia berhasil menjadikan Woo-ryong tampak meyakinkan sebagai pahlawan baru desa penuh masalah itu, karakterisasi Woo-ryong berhasil ia keluarkan dengan tepat sehingga meskipun sepanjang cerita tampak ramah dibagian penutup ia juga mampu tampak menakutkan. Lee Sung-min ada dibelakangnya, memainkan ambiguitas dengan oke, begitupula dengan Chun Woo-hee (Han Gong-ju) yang menariknya di beberapa bagian cerita sempat mencuri posisi utama lewat karakter sederhananya itu.


Overall, The Piper (Sonnim) adalah film yang cukup memuaskan. Sejak awal ia tidak memasang target yang begitu tinggi sehingga penonton juga ikut melakukan hal serupa, tapi menariknya ketika ia telah berakhir aksi menggabungkan elemen-elemen klasik dari berbagai genre itu berhasil mencapai potensi yang The Piper miliki sebagai sebuah dongeng tentang komitmen yang sederhana dan efektif. Ya, sederhana dan efektif, tidak bergerak cepat dimana terkadang ia naik tapi sempat pula turun, namun dengan menawarkan misteri yang punya daya cengkeram oke dibalik narasi yang terkesan santai itu The Piper berhasil memaku atensi penonton hingga akhir, dan kemudian ditutup dengan sesuatu yang sederhana namun kuat dan manis.








0 komentar :

Post a Comment