20 February 2015

Review: Timbuktu (2014)


"Don't kill it! Tire it."

I don’t know about you guys tapi saya percaya semua agama menjadikan kasih sayang sebagai ajaran utama yang harus diterapkan oleh semua umatnya, meskipun faktanya tidak semua manusia mampu menyerap dan kemudian menerapkan hal tersebut dalam kehidupan mereka. Selalu saja ada kaum atau kelompok ekstrimis yang melakukan tindakan “kotor” dengan mengatasnamakan agama, mereka yang selalu mudah untuk kamu nilai sebagai manusia-manusia yang menggelikan. Timbuktu mungkin tidak akan mampu menjauhkan ataupun menghancurkan niat mereka yang ingin mencoba melakukan tindakan ekstrimis, tapi ia berhasil menjadikan kita semakin menilai para pelaku ekstrimis itu sebagai orang-orang yang lahir dan tumbuh dalam kebodohan. Harrowing and Heartbreaking. 

Kidane (Ibrahim Ahmed, alias Pino) merupakan pria yang bekerja sebagai gembala sapi dengan keluarga yang bahagia, dari bermain gitar hingga mengobrol bersama istrinya Satima (Toulou Kiki) serta dua anak mereka, Toya (Layla Walet Mohamed) dan Isan (Mehdi Ag Mohamed). Namun suatu ketika kegilaan ekstrimis yang mewarnai kota masuk kedalam lingkungan mereka, menguasai jalanan dengan pengeras suara untuk menyebarkan larangan-larangan dari rokok hingga sepakbola di bawah pemimpin jihad bernama Abdelkrim (Abel Jafri).



Mungkin dari sinopsis diatas tadi kamu akan menilai film ini mencoba memberikan penontonnya hiburan berisikan kekerasan yang ekstrim, tapi sayangnya itu tidak terjadi secara berlebihan dan kehilangan kontrol, namun justru menjadi alasan mengapa film ini terasa menarik. Ya, sepertinya Abderrahmane Sissako sadar bahwa isu yang ia coba gambarkan di sini sangat sensitif dan oleh karena itu ia coba memutar sudut pandang cerita menjadi lebih halus namun tanpa kehilangan kemampuan pesan utamanya untuk menghujam kamu. Ketimbang menjadikan penonton membenci karakter antagonis karena tindakan mereka dengan memasukkan kekerasan brutal kedalam cerita disini kita justru dibuat oleh Abderrahmane Sissako agar menilai bahkan mereka adalah sosok bodoh yang tidak mampu mencerna ajaran yang agama mereka ajarkan.



Contoh yang ia gunakan memang agama Islam namun bukan berarti di agama lain kelompok-kelompok ekstrimis agama seperti itu tidak pernah eksis, mereka punya tujuan utama dengan cara yang berbeda. Itu yang menjadikan Timbuktu menarik, ia tidak membuat kamu terjebak dalam isu agama namun membawa kamu untuk mengamati humanisme secara lebih luas tapi tetap mampu memberikan impresi bahwa yang kamu saksikan merupakan sebuah "penyakit" yang mengerikan. Tapi tunggu dulu, dibalik isu berat yang ia tawarkan itu secara mengejutkan film ini juga berhasil memberikan penonton momen-momen lucu yang menggelitik. Abderrahmane Sissako pintar menyelipkan sindiran yang menarik di cerita, ia menggunakan beberapa ironi yang akan membuat kamu menilai karakter antagonis sebagai sosok yang absurd, sebut saja seperti rokok hingga Barcelona dan Real Madrid.



Kombinasi itu yang terasa memikat, ada isu kontroversial di posisi pusat tapi tidak menjadi sebuah materi yang begitu berat untuk di nikmati. Ada keseimbangan yang bagus dengan ditemani hal-hal cenderung ringan yang menyegarkan. Hal-hal lucu itu belum termasuk penggunaan visual yang terasa manis, script yang tipis terkadang sering terbantu gambar-gambar indah yang mampu menyuntikkan emosi dan rasa mengerikan kepada penonton, sederhana namun terasa efektif dari pilihan untuk sedikit berlama-lama. Tapi script tipis tadi juga menjadi sumber minus film ini, yang paling terasa ketika karakter dan cerita utama telah terbentuk ia terasa seperti berputar-putar untuk memperdalam perspektif kita pada kebodohan yang dilakukan oleh kelompok ekstrimis tadi.



Timbuktu mungkin akan sedikit terasa seperti sebuah khotbah mungkin, seperti mengajarkan penonton pada apa yang baik dan buruk, tapi uniknya hingga berakhir ia tidak terasa menjengkelkan. Penyebabnya adalah kemampuan Abderrahmane Sissako dalam menyeimbangkan materi yang ia miliki, fanatisme terhadap agama serta humanisme dalam kehidupan sosial berhasil ia gabungkan dengan baik, tidak pernah berhenti menebar kesan mengerikan dari tindakan ekstrim tersebut tapi disisi lain ia tidak membuat kita membenci kaum fundamentalists yang melakukan tindakan kotor tersebut melainkan mengasihani mereka sebagai orang-orang bodoh yang kehilangan arah. Heartbreaking and Harrowing.








1 comment :

  1. aduh. komentar saya yg panjang lebar kok gak masuk ya?

    ReplyDelete