19 October 2014

Movie Review: The Terror Live (2013)


Sesuai dengan nama yang ia usung, film ini berhasil menyajikan penggambaran dari sebuah terror skala besar yang menggunakan unsur broadcast untuk mempermainkan berbagai isu yang ia bawa. Yang menjadikan ia terasa lebih menarik adalah upaya utama yang ia usung, tergolong berani, memasukkan masalah besar untuk bermain-main di ruang cerita yang sempit, yang celakanya menciptakan boomerang berbahaya baginya. The Terror Live (Deo Tereo Raibeu), falling slowly thriller. 

Yoon Young-Hwa (Ha Jung-Woo) masuk kedalam studio radio dengan tampang santai, seperti telah siap menjalani aktifitas rutin miliknya itu bersama berbagai keluhan dari pendengar yang masuk lewat panggilan telepon. Young-Hwa merupakan pria yang sedang berhadapan dengan masalah, dari di khianati mantan pimpinannya Cha Dae-Eun (Lee Kyoung-Young) yang juga menjadikan statusnya sebagai anchor terkenal tinggallah sebuah kenangan masa lalu, hingga permasalahan asmara dengan wanita bernama Lee Ji-Soo (Kim So-Jin) yang merupakan seorang reporter berita channel tempat ia berkerja, dan hari itu masalahnya bertambah satu, dan celakanya dalam ukuran yang sangat besar. 

Pria bernama Park Shin-Woo (Kim Dae-Myung) berhasil tersambung dengan line telepon acara radio yang dibawakan oleh Young-Hwa, tapi perbincangan yang terjadi diantara mereka ternyata berjalan kearah yang sangat berbahaya. Park Shin-Woo mengatakan ia telah memasang bom di Jembatan Mapo, dan ia siap meledakkan bom tersebut kapanpun diperlukan. Pria yang mengatakan 30 tahun lalu menjadi bagian dari konstruksi jembatan tersebut menginginkan permintaan maaf dari Presiden, yang otomatis menjadikan hal tersebut dianggap sebagai lelucon oleh Yoon Young-Hwa. Tapi setelah ledakan pertama muncul semua menjadi berubah.


The Terror Live merupakan thriller yang menderita karena ambisi yang ia bawa. Misi yang ia bawa memang terasa sangat berani, Kim Byung-Woo mencoba untuk menciptakan sebuah permainan hidup dan mati dalam sebuah ruang sempit, sebuah studio dengan ditemani berbagai masalah yang satu persatu saling menyambung untuk menghancurkan emosi karakter utamanya. Tentu saja sangat menarik, dan film dengan tipe seperti ini punya potensi yang sangat besar untuk menawarkan style kepada penontonnya, meskipun disisi lain ia juga harus pintar mengontrol substance, cerita yang akan semakin sulit untuk dikembangkan karena keterbatasan ruang yang ia punya juga ikut membatasi hal-hal yang dapat ia pergunakan untuk mencapai tujuannya diakhir itu. Ya, plus dan minus dari hal-hal tadi hadir disini, menarik diawal dan kemudian perlahan jatuh menjelang akhir.

Sangat sangat suka pada bagian pembuka, dengan setting santai yang ia ciptakan penonton seolah merasa ini akan maju secara bertahap, tapi ketika pandangan itu telah terbentuk, boom, kejutan itu hadir. Ketegangan yang menjadi jualan utamanya tidak perlu waktu lama untuk mencuri atensi penonton, ia bukan hanya mampu membuat premis tadi tampak menarik tapi hadir pula ketegangan yang mampu mencengkeram penontonnya. Percakapan menggunakan line telepon yang disajikan bersama dialog yang dingin itu seperti terombang-ambing penonton bersama atmosfir cerita, memperkokoh karakter utama serta penelepon misterius itu, dan akhirnya rasa waspada kita juga perlahan mulai mendominasi. Sensasi dibagian ini menarik, seperti sengatan listrik dari kabel terputus yang hanya berjarak beberapa millimeter dari permukaan air.


Nilai positif lain dari The Terror Live bukan hanya pada kemampuan ia menjerat penonton untuk ikut masuk kedalam situasi karakter, tapi komentar sosial yang ingin ia sampaikan juga satu persatu muncul kepermukaan dengan cara yang efektif. Isu yang melibatkan pemerintahan itu terasa tajam, unsur lain seperti permainan media serta pertanyaan moral juga tidak kalah menarik, mereka diselipkan dengan tepat didalam perdebatan yang seperti sengaja di biarkan untuk membakar konflik dengan cara yang perlahan, meskipun perputaran narasi sendiri terasa sangat cepat. Nah, itu dia masalah yang dialami oleh film ini, bagian awal yang menarik dan menegangkan itu akhirnya menderita penyakit dari sebuah thriller ruang sempit, kebingungan ketika mencoba memanjangkan cerita, konflik dan narasi tidak maju dalam kuantitas dan kualitas yang sama.

Setelah semua di tetapkan dengan baik, yang tersisa bagi penontonnya hanyalah menunggu keinginan sang teroris untuk terpenuhi. Hanya itu, dan itu berputar-putar dengan berbagai gimmick yang celakanya tidak semuanya terasa menarik, bahkan beberapa ada yang terasa konyol. Irama cerita juga ikut menderita, mondar-mandir itu tidak berhasil mempertahankan daya tarik dengan ketegangan yang terbangun diawal tadi, mereka perlahan hilang, aksi mengamati proses yang ia berikan tidak disertai dengan urgensi yang mampu mempertahankan rasa penasaran dan rasa tertarik penonton. Dibagian ini ambisi besar tadi mulai menyerang balik Kim Byung-Woo, bahkan upaya untuk menciptakan isu kambing hitam itu juga semakin merusak fokus film yang perlahan mulai bergerak menjauhi pesan utama yang ia bawa.


Tidak heran jika akan ada penonton yang merasa The Terror Live terlalu banyak mencoba membuang-buang waktu, karena ia memang kurang berhasil mengalihkan perhatian penonton dari penilaian tadi. Andai beberapa karakter pendukung dan isu dihapus, mungkin ini bisa terasa lebih konsisten tampil menarik, karena beberapa dari mereka terasa mengganggu. Atau mungkin ciptakan gimmick yang lebih baik, yang lebih dapat klik dengan alur cerita, sehingga tidak terkesan canggung. Cara lainnya membentuk karakter pendukung yang lebih menarik, karakter yang dapat membantu Ha Jung-Woo yang tampil baik itu untuk terus menjaga momentum cerita, terlebih ketika momen hitung mundur itu mulai mendominasi jalannya cerita.


Overall, The Terror Live (Deo Tereo Raibeu) adalah film yang cukup memuaskan. Sulit untuk menampik bahwa ia merupakan salah satu film yang mampu mencengkeram atensi penontonnya dengan sangat kuat dibagian awal, kemudian membangun konflik dan karakter juga dengan sama baiknya, tapi ambisinya untuk tetap menjaga ketegangan itu bermain di ruang sempit juga membuat ia menderita berbagai kehilangan, dari kehilangan pijakan cerita, kehilangan momentum dan irama, kehilangan sensasi, dan kehilangan daya tarik yang telah ia bangun sebelumnya, mereka terus pergi secara perlahan bersama perputaran berisikan berbagai materi dan gimmick yang terasa canggung dan tidak mampu mengalihkan perhatian penonton dari hal negatif yang ia ciptakan.






1 comment :

  1. Tapi klo menurut ku kekurangan film ini hanya pada menciptakan isu kambing hitam yg berdampak pada berkurangnya tensi pada film ini dan sedikit mengacaukan alur cerita yg telah di bangun rapi sejak awal.. tapi adegan ini jelas di perlukan bukan hanya karena young hwa sudah mulai merasakan apa yg di mau oleh teroris adalah benar-benar permintaan maaf langsung dari sang pemimpin negara tapi juga untuk sensasi di akhir film... Pasti akan terasa hambar di akhir jika isu kambing hitam ini dihilangkan... Jika tanpa adegan kambing hitam maka di ganti dengan adegan "young hwa tetap mengikuti kemauan atasan nya sampai akhir, lalu tertangkaplah sang teroris dan ketika ia di giring oleh polisi lantas young hwa mendekat lalu tiba-tiba sang teroris memberitahu kenapa alasan nya memilih young hwa atau malah sang teroris mati dalam proses penangkapan yg pastinya tida bakal terungkap kenapa sang teroris memilih young hwa"
    Sebagai orang awam, aku hanya melihat 2 kemungkinan itu dan Bukankah dua kemungkinan adegan itu sangat miskin sensasi di banding yg telah kita liat??? walaupun memang semua juga tergantung kepada eksekusinya... Jelas alasan sang teroris bukan uang yg pada akhirnya dituruti oleh atasan young hwa... Karena dia pasti tahu akan di turuti, bisa di bilang ini adalah sistem bagi hasil... Kenapa young hwa??? Itulah yg jadi pertanyaan!!! benar-benar alasan yg istimewa dan di ungkapkan dengan adegan yg tak biasa... Jujur, ini adalah film yg unik karena sejauh yg saya liat, ini adalah satu-satunya film teroris yg tulus terhadap tuntutan nya... Puncak dari film ini adalah adegan terakhir yaitu ketika young hwa menekan pemicu peledaknya dan secara perlahan gedung itu runtuh sambil di iringi backsound yg membuat young hwa tampak lebih gagah dan putus asa dari pada penampilan rapinya ketika sedang tampil live...
    Kesimpulan, tidak perlu menjadi sempurna untuk film seperti ini... Apalagi kekurangan nya adalah suatu hal yg sangat di butuhkan untuk menciptakan dramatisasi yg baik... sekali lagi film ini kian menunjukkan pada dunia bahwa korsel adalah spesialis dalam membuat ending menyedihkan dan ending tak biasa... UNIK!!!

    ReplyDelete