19 October 2014

Movie Review: The Divine Move (2014)


Pasti ada rasa jengkel pada film yang berhasil menarik perhatian penonton dengan materi dasar yang ia gunakan, tapi ketika ia mulai bercerita mulai muncul berbagai masalah di beberapa bagian yang menjadikan kisah yang ia tampilkan tidak lagi sama menariknya. Film ini mengalami hal tersebut, kombinasi board game Go, seni bela diri, hingga aksi balas dendam. The Divine Move (Shinui Han Soo), a bit forced action movie.

Go, atau baduk, seperti menjadi makanan lezat bagi seorang pria bernama Tae-seok (Jung Woo-Sung), yang kemudian menyebabkan ia harus ikut terlibat dalam sebuah tindakan kriminal yang menewaskan saudaranya. Kala itu Tae-seok berperan sebagai ia berada di belakang layar ketika saudaranya terlibat permainan baduk melawan salah satu anggota gangster bernama Seon-soo (Choi Jin-hyuk), yang faktanya juga berada dibawah bimbingan wanita bernama Bae-kkob (Lee Si-young). Namun upaya saling sembunyi itu tidak mampu ditutupi dengan baik oleh Tae-seok dan timnya. 

Tae-seok berakhir didalam penjara, dan tidak cukup sampai disitu ia juga dituduh menjadi pelaku utama pada kejadian penuh darah itu, alasan dari lahirnya sebuah misi balas dendam dalam dirinya. Dengan dibantu Kkong-soo (Kim In-kwon) yang berperan sebagai pembuka jalan, Heo Moksoo (Ahn Gil-kang) yang berada dibelakang layar, serta ilmu dan bimbingan yang ia peroleh dari ahli baduk bernama Joo-nim (Ahn Sung-ki), Tae-seok mulai menjalankan misi balas dendamnya.


The Divine Move adalah sebuah film action yang canggung. Cerita yang ditulis oleh Yoo Sung-Hyub seperti punya banyak ide yang ingin ia sampaikan dengan cara yang elegan, dengan cara yang mampu membuat penonton bergumam, “wow keren,” tapi hasil yang ia peroleh justru sebaliknya. Dari permainan go, kemudian ada pula sentuhan action yang memang sulit untuk tidak hadir mengingat ia punya dua karakter dengan tubuh yang terbangun dengan baik itu, dan juga konflik utama sebuah misi balas dendam yang jika dicermati tidak punya sesuatu yang benar-benar istimewa didalamnya, mereka tidak digabungkan dengan sangat baik oleh Jo Bum-Gu, yang seharusnya saling membantu justru saling menutupi potensi masing-masing elemen.

Permainan go atau baduk itu berhasil menarik perhatian, dan ketika ia dimulai anda akan dengan mudahnya menilai bahwa ia akan menjadi lintasan dan senjata utama film ini ketika bercerita semakin jauh nanti, tapi tidak seperti ketika ia baru dimulai dimana kita dibuat tertarik dan penasaran dengan permainan tersebut The Divine Move justru memutar fungsi permainan tersebut dalam cerita. Ia memang menjadi lintasan, tapi setelah itu Jo Bum-Gu justru menggunakan baduk tadi untuk menghadirkan berbagai upaya show-off yang sayangnya terasa dipaksakan kehadirannya. Ketimbang menjadikan baduk yang dikenal sebagai permainan penuh ketenangan itu untuk tampak menakutkan dan berbahaya, kehadiran mereka malah terasa kurang penting dan random, biarpun tidak ada kaitannya yang penting masukkan.


Ini yang terasa kurang menyenangkan, baduk diputar menjadi gimmick untuk menyokong upayanya agar dapat menebar pesona layaknya Ocean Eleven, tenang, elegan, dan tajam. Ia memang tenang, tapi tidak elegan, tidak tajam, pertarungan bertelanjang dada dalam suhu yang begitu rendah itu seharusnya dalam menonjolkan ketangguhan karakter, tapi hasilnya justru datar (mungkin tidak bagi beberapa wanita). Jo Bum-Gu seperti berpikir bahwa menggunakan hal-hal seperti tadi dapa t mempertahankan rasa penasaran penonton, yang sayangnya tidak ia sertai dengan penceritaan yang baik, permainan intrik yang seharusnya tampil licik dan cerdik itu jatuh menjadi biasa, dan meskipun punya beberapa adegan aksi yang terasa baik narasi sendiri kurang berhasil menjaga momentum ketika ia bergerak.

Hasilnya, The Divine Move seperti film yang mengemban misi sederhana, mencoba menggambarkannya dengan cara yang sedikit kompleks, namun mulai kehilangan kendali, dan menjadikan atensi serta daya tarik penontonnya padanya juga perlahan menurun. Terasa miskin sensasi, semua yang tersaji seperti meleset dari yang ia harapkan, atmosfir dingin tidak mampu mempertajam cerita, kompetisi yang seperti mencoba mengedepankan pertarungan trik dari kedua kubu juga tidak pernah mencapai kesan cerdas dan intelektual seperti yang ia harapkan, dan itu cukup disayangkan mengingat potensi yang ia miliki terhitung bagus namun tidak terbentuk dengan baik, dan kinerja divisi akting yang sesungguhnya telah melaksanakan tugas yang ia miliki dengan baik.


Ya, andai saja minus di elemen teknis tadi tidak memberikan gangguan yang begitu berarti, The Divine Move dapat memberikan petulangan yang lebih baik, karena apa yang diberika para aktor miliknya tidak buruk. Ada sedikit rasa aneh, Jung Woo-Sung yang seharusnya menjadi pion utama justru sedikit tenggelam disini, meskipun mendominasi layar ia sering kehilangan power ketika harus berdampingan dengan karakter lain. Sebut saja seperti Kim In-kwon yang berhasil memberikan humor menyenangkan, Ahn Gil-kang yang langsung membuat kit fokus pada kemampuan dibalik keterbatasan yang ia miliki, hingga Choi Jin-hyuk dengan pesona menawan yang seharusnya dimiliki oleh karakter utama. Chemistry mereka memang juga terasa dipaksakan, tapi secara individual mereka mampu menjalankan tugas mereka masing-masing.


Overall, The Divine Move (Shinui Han Soo), adalah film yang cukup memuaskan. Anehnya dibalik berbagai nilai negatif diatas tadi ini tidak pernah terasa membosankan, mungkin akibat fokus saya pada permainan baduk tadi yang terus hidup hingga akhir, meskipun fungsinya perlahan tidak lagi sama, serta hal-hal yang mendampinginya kurang berhasil membentuk cerita sesuai dengan konsep yang mereka usung. Mencoba tampil tenang dan elegan, sayangnya momentum yang kurang bergelora menjadikan film ini kerap terasa canggung dan dipaksakan.







0 komentar :

Post a Comment