30 September 2014

Movie Review: Maps to the Stars (2014)


"Where’d you coming from?" | "Jupiter."

We live in crazy world! Sebuah arena pertarungan milyaran manusia yang berlomba-lomba untuk berada di posisi tertinggi, semua akan dilakukan untuk meraih rasa bahagia, kekayaan yang menjadi sasaran utama dan membuat manusia mudah untuk lupa serta buta dengan hal-hal menjijikkan yang mungkin ada disekitar mereka, dari popularitas hingga keluarga, berhadapan dengan masalah untuk bertahan hidup di dunia yang sudah dipenuhi dengan masalah. Maps to the Stars, funny nightmare and bang bang Hollywood satire. 

Bukan menjadi sesuatu yang mengherankan ketika Benjie Weiss (Evan Bird) dikenal sebagai salah satu remaja penuh sensasi, karena pada dasarnya ia juga berasal dari keluarga yang tidak kalah banyak memiliki sensasi. Ibunya, Cristina Weiss (Olivia Williams) merupakan sosok ambisius yang selalu mengendalikannya, sementara sang ayah, Dr. Stafford Weiss (John Cusack) merupakan seorang psikologis dengan klien beberapa selebritis high-profile yang celakanya merupakan sosok yang egois, sedangkan kakak perempuannya, Agatha Weiss (Mia Wasikowska) menderita sebuah disorder kriminal. 

Sosok terakhir itu menciptakan masalah baru bagi keluarganya, ketika ia hendak kembali ke Los Angeles dari mulai menjalin pertemanan dengan seorang supir limousine bernama Jerome Fontana (Robert Pattinson), hingga memanfaatkan koneksinya dengan Carrie Fisher untuk menjadi asisten pribadi bagi Havana Segrand (Julianne Moore), salah satu klien sang ayah yang merupakan seorang aktris terkenal yang sedang bermasalah, merasa berada di bawah baying-bayang popularitas sang ibu dan ingin mencoba berbagai cara untuk dapat melepaskan hal mengganggu tersebut. 


Maps to the Stars layaknya dunia kecil dimana kita bisa menyaksikan salah satu sistem paling berbahaya terkait kebahagiaan yang eksis di dunia ini. Berawal dari rasa tidak pernah puas yang menendang jauh-jauh rasa takut untuk mencoba hal yang baru, kemudian akan datang masalah yang menciptakan tekanan, sesuatu yang jika tidak dapat dikendalikan dengan baik bukannya semakin mendekatkan kita dengan kebahagiaan yang awalnya kita cari, namun justru memberikan kehidupan dipenuhi rasa takut yang melelahkan. Ya, pada dasarnya kisah yang Bruce Wagner tulis berdasarkan dari pengalamannya ketika menjadi chauffeur dikawasan Beverly Hills Hotel ini hanya ingin berbicara satu hal kepada penontonnya: insecurity, rasa tidak aman atau cemas yang tentu saja dapat dikategorikan sebagai sebuah masalah yang juga punya kemampuan untuk membawa manusia masuk kedalam masalah.

Ribet? Sebenarnya tidak, karena isu yang coba digambarkan oleh film ini sesungguhnya sangat mudah anda temukan pada orang-orang di kalangan atas, sebut saja seperti mereka yang akan dengan mudahnya menjadi stress luar biasa ketika harga saham mereka semakin melemah, atau contoh lainnya artis yang terlibat dalam sebuah skandal dan terancam menjadi enemy banyak orang. Sangat umum, tapi disini dikemas dalam bentuk yang lebih kecil: Hollywood, ia menyindir, menampar, hingga menggelitik mereka dengan menggunakan hal-hal bodoh dan murahan yang sering terjadi didunia selebriti dilengkapi dengan aksi provokasi yang mayoritas dikemas dalam tampilan psychotic. Benar, psycho, psikologis, jiwa-jiwa hampir kosong dan dilanda rasa takut yang bersumber pada ketenaran mereka, komedi hitam dengan pesan yang menarik seperti yang dilakukan Martin Scorsese di The Wolf of Wall Street.


Tidak sama persis memang, tapi hal pertama yang terlintas ketika karakter-karakter itu mulai menunjukkan berbagai sisi hitam kehidupan mereka kepada penonton adalah sebuah studi karakter mengerikan yang ingin mengajak penontonnya ikut menertawakan apa yang karakter lakukan, campur aduk dengan sedikit kesan berantakan yang terus mampu mengundang senyuman, bersama narasi standard yang digunakan dengan efektif oleh David Cronenberg. Hal itu juga menjadi sebuah kejutan sebenarnya karena meskipun ia punya banyak bintang di divisi akting ada rasa pesimis pada film ini, film keempat sang sutradara yang saya tonton, dan film keduanya yang berhasil klik setelah Eastern Promises. Dua film yang berada diantara mereka (A Dangerous Method, Cosmopolis) yang menjadi alasan, sebuah kisah membingungkan yang sulit untuk dinikmati dan terasa tumpul ketika menyampaikan misinya.

Hal tersebut yang menjadikan Maps to the Stars terasa menarik, karena meskipun tidak ada yang special pada masalah yang ia angkat tapi cara mereka digambarkan berhasil memberikan pengalaman yang menarik, menggunakan karakter unik dengan kekacauan moral disekitar mereka, dirakit bersama cita rasa horor terkait kehidupan yang berinteraksi dengan penontonnya seperti mereka berada didepan ular yang tidak menggeliat kesana-kemari untuk membuat mereka waspada, hanya diam namun menebar teror menggunakan desis yang konsisten. Ada rasa penasaran pada apa yang akan hadir selanjutnya, sebuah keterasingan yang tampil gelisah tanpa mencoba memberikan dramatisasi sentimental, yang meskipun sedikit ceroboh di paruh akhir tetap mampu menjaga rasa putus asa dalam cerita untuk terus meraung dari ekspresi wajah para karakter yang tidak sulit ditelisik, empati pada masalah mental yang terbentuk dengan kuat berkat kinerja akting yang sama kuatnya.


Benar, divisi akting, bukan hanya that old Lindsay Lohan, melainkan sebuah kesatuan ensemble yang diberikan porsi sangat baik oleh David Cronenberg dan berhasil memberikan kontribusi yang baik pula pada cerita. Dari Olivia Williams dan John Cusack yang mampu menjadikan karakternya terus di ingat meskipun mereka tidak sedang berada didalam layar, Robert Pattinson yang kembali membuktikan ia bisa tampil baik jika tidak menjadi main lead, hingga Evan Bird yang tampil menarik berkat eksekusi penuh percaya diri. Mia Wasikowska punya peran sedikit lebih besar, sebuah kegelisahan yang manis seperti mengintai dan menebar waspada akan hadirnya sebuah ledakan, sedangkan bintang utamanya tentu saja Julianne Moore. Menawan, sederhananya mungkin seperti itu. Hanya itu? Tentu saja tidak, kinerja yang kuat dan ekspresif, namun jika anda bertanya apalagi nilai positif dari kinerja dari wanita 53 tahun itu di film ini, mungkin sisanya dapat diwakili oleh sebuah senyuman. 



Overall, Maps to the Stars adalah film yang memuaskan. Ini seperti menyaksikan separuh The Wolf of Wall Street dengan separuh August: Osage County, kisah yang mencoba mengajak penonton untuk mengamati sembari menertawakan karakter yang dipenuhi masalah dan tekanan, permasalahan mental dan moral dari karakter-karakter unik yang dimainkan dengan baik oleh divisi akting, menggunakan perspektif yang mungkin akan sedikit terasa asing namun tidak menghalangi kekuatan dari upayanya untuk menggambarkan problematika manusia dari yang sederhana hingga yang rumit (ya, masih banyak, dan itu kejutan yang menarik) secara santai namun tetap tajam. Manis. Segmented.






0 komentar :

Post a Comment