"I am Hercules!"
Tidak hanya rasa antusias, tapi rasa ragu juga mulai
sering muncul dari film dengan tipe seperti ini, film adaptasi dari komik
hingga buku dongeng yang mulai menjadi sasaran empuk bagi para insan perfilman
untuk dibawa kedalam bentuk live acion, dari Snow White dan Sleeping
Beauty, tahun ini kita juga sudah punya Maleficent, TMNT, dan The Legend of Hercules. Bahagia akan tercipta jika
mereka berhasil menghibur dengan baik, tapi bagaimana jika sebaliknya? Hercules, a charmless adventure with the son
of Zeus.
Setelah menolak sang ayah Zeus dan lebih memilih untuk
hidup sebagai manusia biasa, Hercules
(Dwayne Johnson) kini mulai berpetualang dengan status sebagai seorang
tentara bayaran bersama rekan-rekannya, Autolycus
(Rufus Sewell), Amphiaraus (Ian McShane), Atalanta (Ingrid bolso Berdal),
Tydeus (Aksel Hennie), dan keponakannya Iolaus
(Reece Ritchie). Namun statusnya sebagai demigod masih terjaga, terlebih
dengan keberhasilannya menyelesaikan Twelve
Labors, mereka semakin mudah mendapatkan pekerjaan.
Salah satunya datang dari King of Thrace, Lord Cotys (John Hurt). Berawal dari Ergenia (Rebecca Ferguson), Lord Cotys
meminta bantuan Hercules dan timnya untuk melatih tentara miliknya agar dapat
bertarung melawan musuh mereka yang berada dibawah komando Rheseus (Tobias Santelmann). Namun kisah
masa lalunya dengan sang istri, Megara
(Irina Shayk), serta sesuatu janggal yang ia rasakan kemudian menjadikan
misi yang menjanjikan berkarung-karung emas bagi mereka itu menjadi sumber
masalah yang lebih besar.
Secara kasat mata penonton mungkin akan merasa mereka
mendapatkan apa yang mereka inginkan dari Hercules
di film ini, adegan aksi yang cukup baik, dan tentu saja aksi tokoh utama yang
ditunjang oleh kumpulan otot yang memukau itu. Tapi hal-hal tadi sesungguhnya
dapat anda temukan dari banyak film action dengan ledakan tingkat tinggi
bersama karakter standard yang bahkan tidak perlu repot meminjam sosok legenda
ikonik sebagai pemimpin utamanya. Hal itu yang mengecewakan dari film ini, Brett Ratner seolah tidak peduli dengan
berbagai materi yang menjadi alasan mengapa orang selalu mengidentikkan sosok
kuat dan tangguh bukan hanya dengan nama Rambo,
namun juga Hercules.
Ya, Hercules dipasang
sebagai central, kemudian berbagai karakterisasi yang menjadi alasan mengapa selama
ini ia tampak menawan di minimalisir dengan berani, lalu ia dimasukkan kedalam
sebuah pertarungan standard yang sesungguhnya bisa dibangun hanya dengan
menciptakan sosok baru yang berotot serta menggunakan pedang dan sandal
lainnya. Pesona yang diharapkan tidak hadir disini, tidak ada kepahlawanan yang
bukan hanya memikat bahkan untuk tampil mumpuni saja terasa sulit, kisah yang
ditulis oleh Ryan J. Condal dan Evan Spiliotopoulos seolah mengajak kita
para penonton bukan untuk bersenang-senang bersama pahlawan super yang ia
kenal, tapi berpetualangan bersama visual yang terus mencoba sibuk ditemani
tentara bayaran yang hanya peduli tentang uang.
Tidak dapat dipungkiri memang bahwa adegan aksi yang
ia berikan masih mampu memberikan sedikit hiburan yang menyenangkan, namun jika
anda menilainya sebagai film action standard. Celakanya Hercules tidak mampu tampak sama besarnya dengan budget yang ia
punya, serta otot-otot milik Dwayne
Johnson yang kurang mampu menutup karisma miskin yang ia miliki. Permainan
pedang, perisai, hingga panah itu lebih sering terasa dipakai sebagai pengalih
perhatian penonton pada kisah yang semakin jauh ia berjalan dari titik awal
semakin tampak bingung apa lagi yang harus ia berikan. Hal tersebut merupakan
dampak dari keputusan mereka untuk menarik mundur peran dari mitologi Yunani
kuno di dalam cerita, sehingga ketika berbagai formula skala besar dari film
action standard telah tampil Hercules mulai terombang-ambing dalam kesibukan
yang setengah hati.
Benar, setengah hati, bahkan dapat dikatakan ini
merupakan film bertemakan kepahlawanan yang mandul. Charmless, lebih sering terasa kosong, kisah yang seharusnya
berisikan eksploitasi dari keperkasaan tokoh utama justru terasa tumpul akibat
obsesi besar Brett Ratner untuk menyajikan
action yang megah tanpa menyertakan penceritaan yang mumpuni. Beban juga dapat
menjadi alasan lainnya, kombinasi budget besar bersama cerita yang standard,
mereka sepertinya sadar ini tidak akan berhasil jika tampil rumit yang memaksa
mereka untuk tampil biasa dan tidak peduli ini fun atau tidak, narasi
berantakan penuh komedi yang mampu mencuri atensi sebagai pembuka jalan menuju
adegan perkelahian dengan rating PG-13
yang terlalu lembut dan kekurangan semangat.
Overall, Hercules
adalah film yang kurang memuaskan. Pertanyaannya adalah apa yang anda cari
dari film ini, hanya sekedar sebuah film action standard atau sebuah kemasan
modern dari legenda yang sudah identik dengan unsur ketangguhan yang epic dan
penuh pesona? Memilih untuk tampil dengan cerita yang tidak terlalu serius, Hercules akan mampu menghibur penonton
yang hanya mencari film action, namun akan sulit untuk memuaskan mereka yang
datang untuk berpetualang bersama manusia setengah dewa yang penuh pesona.
Tidak membosankan, tapi charmless.
0 komentar :
Post a Comment