25 May 2014

Movie Review: X-Men: Days of Future Past (2014)


"Mutants, we now find ourselves on the edge of extinction."

Tidak perlu mundur sampai dua hingga tiga dekade kebelakang, jika anda sama dengan saya menghabiskan masa kecil di era 90-an setidaknya anda akan kenal dengan salah satu tim superhero beranggotakan para mutan yang kemunculannya tahun 2000 lalu dapat dikatakan menjadi pioneer kemunculan superhero lainnya ke layar lebar. Tapi jika berbicara cerita pada franchise atau film series X-Men lebih sering meninggalkan luka ketimbang terus maju, sebut saja seperti Marvel Cinematic Universe. Fox sadar akan kesalahan itu dan mulai mencoba menyusun ulang jagoan mereka ini, dan well, itu berhasil. X-Men: Days of Future Past, style, substance, sensation.    

Pada tahun 2023 X-Men menghadapi masalah dari teknologi bernama The Sentinel, bermula dari pertarungan yang melibatkan Blink (Fan Bingbing) dan juga Bishop (Omar Sy), tekanan muncul dan memaksa Professor X (Patrick Stewart), Magneto (Ian McKellen), bersama Storm (Halle Berry) dan anggota lainnnya untuk mengambil sebuah keputusan darurat. Memanfaatkan kemampuan Kitty Pryde/Shadowcat (Ellen Page) mereka ingin mengirim Logan/Wolverine (Hugh Jackman) untuk kembali ke tahun 1973 pada sebuah peristiwa penting yang melibatkan Raven/Mystique (Jennifer Lawrence) dan scientist bernama Bolivar Trask (Peter Dinklage).

Tampak mudah, namun faktanya tidak demikian, karena kondisi saat itu bertolak belakang, baik dari sifat dan juga hubungan mereka satu sama lain. Misi yang diemban oleh Logan adalah untuk menemukan keberadaan Professor X muda (James McAvoy) yang kala itu tinggal bersama Beast (Nicholas Hoult), menemukan pria muda bernama Peter Maximoff (Evan Peters) yang dapat berubah menjadi manusia dengan gerak cepat, Quicksilver, bergabung untuk menyelamatkan Magneto (Michael Fassbender) serta menjalankan misi utamanya, menggagalkan sebuah tindakan yang dilakukan oleh Mystique.


Dapat dikatakan keputusan berani untuk mundur kebelakang pada X-Men: First Class merupakan sebuah pencapaian yang besar bagi tim ini karena kecerdikan tersebut secara tidak langsung membuka banyak ruang baru untuk di eksplorasi, memberikan mereka kesempatan untuk menyajikan sesuatu yang segar dan mungkin saja lebih menjual tanpa harus meninggalkan sosok-sosok ikonik yang telah mereka punya. Tapi tahan dulu ekspektasi anda pada film ini terlebih jika telah menyaksikan film yang disebutkan sebelumya tadi, karena Bryan Singer yang kembali ke bangku sutradara punya misi lain pada film ini, memanfaatkan konsep time travel itu untuk memperbaiki luka lama dan mulai menyusun kembali struktur atau linkage bagi X-Men.

Penonton mungkin akan merasa sedikit kecewa jika mereka mengharapkan akan mendapatkan hadirnya banyak momen-momen epik, besar, dan megah dari petualangan ini. Ya adegan aksi dan pertempuran itu memang ada dengan style dan eksekusi yang pas dan renyah, sebut saja aksi slow motion dari Quicksilver hingga momen yang melibatkan stadion Robert F. Kennedy, momen-momen kecil juga terasa nikmat yang bersama beberapa plot dan point bersama-sama terus dibuat agar bergerak dalam kecepatan yang mudah dinikmati. Tapi kembali menilik apa yang disebutkan pada paragraph sebelumnya, sejak awal Bryan Singer seolah berupaya untuk tidak hanya menuntun fokus penontonnya semata-mata hanya pada formula standard film superhero, adegan aksi bersama cerita super sederhana yang kemudian ditemani dengan musuh yang begitu-begitu saja.


Ya, itu mengapa di awal tadi saya menyebutkan style dan substance secara bersamaan, karena sensasi yang hadir berkat kinerja seimbang yang mereka ciptakan. X-Men: Days of Future Past seperti di set untuk bergerak diantara dua franchise superhero yang terkenal belakangan ini, humor dan karakterisasi yang ringan seperti Marvel yang kemudian digabungkan bersama sedikit nada realisme yang gelap seperti yang dilakukan oleh Christopher Nolan pada Batman. Hasilnya, sebuah perjalanan yang menyenangkan, porsi keduanya terus terjaga dengan baik berkat kepiawaian Singer dalam mempermainkan dinamika cerita, ia cerdas dalam melemparkan berbagai materi yang ia punya kedalam cerita dan kemudian menjahit dengan rapi, tumpukan masalah eksternal dan internal yang membangun relevansi satu sama lain.

Dan uniknya hal tadi hadir dalam keseimbangan antara serius dan santai yang terasa pas. Dari segi cerita terlihat bagaimana Singer paham dan menguasai materi serta karakter yang ia miliki, dan ia tahu bagaimana cara mencampur aduk cerita tadi agar masing-masing dari mereka mayoritas tidak terasa totally useless. Meskipun ringan karakter diberikan tugas yang serius, Magneto, Mystique, hingga Xavier bahkan masing-masing diberikan masalah pribadi untuk mereka bawa yang secara tidak langsung juga membantu misi utamanya tadi karena semakin mempertebal perputaran masalah pada karakter. Bahkan ada bumbu cinta segitiga didalamnya jika anda telah menyaksikan X-Men: First Class sebelumnya. Dan apa yang menjadikan film ini bekerja dengan baik adalah ketika ketegangan demi ketegangan tadi kemudian dipotong dengan hal-hal santai dengan penempatan yang proporsional.


Apa yang menarik dari elemen fun pada film ini adalah mereka hadir memberikan sedikit nafas segar tapi tidak mengganggu bahkan mencuri atensi penonton dari kisah yang rumit dan berbelit-belit di sisi lainnya. Energi yang ia punya terus terjaga, bahkan kehadiran mereka kerap menjadi penyeimbang pada pompa adrenalin cerita bersama humor-humor yang bekerja dengan efektif, kombinasinya tidak kikuk. Porsinya minim tapi kehadiran elemen fun yang selain humor juga berisikan visual efek yang tidak begitu megah itu mampu menjadi penyeimbang yang kuat, sesuatu yang dapat hadir harus disertai dengan eksekusi yang cermat, dan Singer berhasil dalam hal ini, pertempuran para mutan yang disertai dengan studi karakter level rendah.

Divisi akting juga menjadi hal menarik lainnya dari X-Men: Days of Future Past, sebuah mix penuh kejutan. Pertama tentu saja kehadiran Evan Peters sebagai Quicksilver yang dengan mudah langsung menjadikan penonton menyukai karakternya, kemudian James McAvoy, Michael Fassbender, dan Jennifer Lawrence yang punya porsi sedikit lebih besar yang mampu mereka handle dengan baik, Jennifer Lawrence yang lebih pada kejutan ketika ia berubah wujud meskipun api gesekan antara Magneto dan Xavier kurang terasa feel-nya, hingga peran minim pada Hugh Jackman yang seolah terpinggirkan dan hanya menjadi boneka penghubung. Patrick Stewart dan Ian McKellen juga tidak dapat berkontribusi lebih besar karena ruang yang terbatas, sedangkan penampilan Peter Dinklage dapat dikatakan cukup efektif, terlalu tenang tapi mampu menghadirkan misteri.


Overall, X-Men: Days of Future Past adalah film yang memuaskan. Fox mengambil langkah yang tepat, bukan hanya mampu membangun kembali para jagoan yang mereka punya namun juga karena para jagoan itu berada di tangan yang tepat. Bryan Singer berhasil membawa kembali kenikmatan yang dimiliki oleh dua film pertama X-Men, superhero yang menampilkan adegan aksi dengan style yang tepat namun juga tidak melupakan peran dari cerita untuk menghadirkan sensasi. Ini kuat karena seimbang, style + substance = sensation.







0 komentar :

Post a Comment