05 May 2014

Movie Review: The Double (2013)


"I'm like Pinocchio. I'm a wooden boy."

Keberhasilan itu datang dari usaha kita sendiri, bukan dari pemberian orang lain. Terkadang rasa ragu dan takut yang sering kali menjadi penghalang terwujud kalimat tadi, sikap tidak berani mengambil aksi yang justru menciptakan ruang dan kesempatan yang dapat dimanfaatkan oleh orang lain, dan memberikan dampak buruk bagi kita. Isu tersebut yang coba dibawa oleh film ini dengan mengandalkan mitologi doppelganger yang konon menjadi pertanda sebuah bad luck, dikemas dengan serius dan santai bersama komedi dan drama percintaan. The Double, a creepy and funny psychological (and maybe love) story.

Teropong mungkin adalah teman terbaik bagi pria introvert bernama Simon James (Jesse Eisenberg), mengamati dengan tekun sebuah ruangan di gedung seberang tempat ia tinggal, kamar tempat tinggal seorang wanita bernama Hannah (Mia Wasikowska). Simon telah lama secara diam-diam menyukai Hannah, wanita yang bisa disebut menjadi satu-satunya alasan bagi Simon untuk tetap bertahan di perusahaan statistik tempat ia bekerja, tempat dimana ia setiap hari bertarung dengan petugas keamanan yang tidak pernah mengakui eksistensinya meskipun faktanya ia telah bekerja selama tujuh tahun disana.

Tidak sampai disitu saja, ada pula Mr Papadopoulos (Wallace Shawn), manager yang selalu menganggap rendah hasil kerja dan menjadikan Simon terus merasa putus asa. Hal tersebut awalnya sempat berubah dengan kemunculan James Simon (Jesse Eisenberg), pegawai baru yang celakanya punya kepribadian yang berlawanan dengan Simon meskipun bentuk fisik mereka sangat identik. Simbiosis mutualisme mereka bangun tentu saja dengan Simon yang berambisi meraih cinta Hannah. Celakanya semua tidak berjalan mulus, dari sikap saling percaya yang memudar hingga melibatkan seorang wanita bernama Melanie (Yasmin Page).


Terinspirasi dari novel berjudul The Double karya Fyodor Dostoyevsky, sulit untuk tidak membandingkan The Double dengan kompatriotnya yang juga mengusung konsep doppelganger, Enemy yang ditangani oleh Denis Villeneuve. Namun kemiripan mereka pada faktanya hanya sampai sebuah cakupan luas, hanya pada konsep utama, karena cara mereka bercerita dalam menggambarkan konsep tersebut ternyata jauh berbeda. Jika menilik soal cerita dapat dikatakan kedua film berada di level yang sama, tie, seri, namun pada bagian presentasi The Double berhasil mengalahkan rekannya tersebut, sebuah studi tentang sisi gelap jiwa manusia yang dikemas sama tajamnya namun dengan dinamika cerita yang lebih hidup.

Ya, ini lebih hidup, dan ini lebih menyenangkan. Richard Ayoade berhasil menggabungkan atau merangkai berbagai materi yang dihasilkan isu doppelganger itu kedalam sebuah narasi yang dinamis bersama Avi Korine. Setting visual yang sejak awal terus berteman dengan suasana gelap dan temaram untuk mendorong kesan moody, menjaga semua materi tetap sederhana sehingga mudah untuk diakses dan dinikmati, namun disisi lain juga cerdik mewarnai cerita dengan hal-hal asyik tanpa harus menghancurkan power dari paranoia yang ia tempatkan di posisi terdepan. Bersama fisik dan mental yang telah terisolasi pada sosok Simon kita akan diajak untuk ikut curiga, ikut cemas, terus merasa tegang sejak awal hingga akhir meskipun sering ditemani dengan tawa.

The Double berpeluang memperoleh label sebagai sebuah presentasi dangkal dari isu potensial, namun Richard Ayoade berhasil memetik buah positif dari keputusannya untuk tidak menjadikan The Double tampak rumit. Ini seperti melihat Maurice Moss sedang menjadi sutradara, tidak mau bermain-main dengan hal rumit yang berpotensi menjadikannya tampak palsu, dan memilih untuk membentuk dunia masa depan fantasi miliknya itu dengan mengandalkan kebebasan dalam style. Ada fokus yang tajam pada pesan utama yang ingin ia bawa, namun disisi lain dibalut bersama black comedy dalam irama off-beat yang renyah dan lucu membentuk kekacauan canggung yang terus mampu menebar pesona dan rasa penasaran yang misterius sekalipun sejak awal ia tidak pernah menjadikan konflik utama tampak seperti sebuah misteri.


The Double tidak membawa penontonnya menuju jawaban atas pertanyaan. Memberinya status sebagai sebuah studi karakter juga sulit, mungkin sebuah observasi dari psikologi manusia yang perlahan menuju jurang kehancuran karena keputusan buruk yang ia lakukan, masih dilengkapi dengan penggunaan isu idealisme dan rasa percaya seperti yang pernah ia bawa di Submarine. Ya, ini mungkin bukan sebuah lompatan yang besar dari Richard Ayoade tapi ada sebuah rasa puas  ketika sosok yang saya kenal dari IT Crowds ini secara perlahan mulai mampu membangun image yang ia miliki. Membentuk rasa putus asa dan kebingungan pada cerita dan karakter secara mumpuni, namun tetap tampil bebas bahkan liar di bagian lain, tampil eksperimental menggunakan hal-hal standard dalam gerak dan timing yang cekatan dan juga tepat. 

Tidak ada cara baru dalam The Double, namun bagaimana cara Richard Ayoade menggabungkan hal-hal lama itu yang menjadikan kisah yang mencoba mempermainkan masalah individualitas ini menjauh dari kesan membosankan. Didominasi warna sepia dalam kerja kamera dan pencahayaan yang mumpuni, hadir pula penggunaan suara playful yang dari televisi, fotokopi, langkah kaki, bahkan pada sebuah diskusi tenang, hingga musik Jepang dan Korea, score yang mumpuni dan terkadang gila, ini menjadi menarik karena ada nafas nostalgia pada film-film jaman dahulu yang dikemas dengan sentuhan elegan, sebuah mixing yang kreatif sehingga terus menarik untuk ditonton.

Kinerja aktor juga berperan penting dalam menjaga daya tarik. Aktor pendukung seperti Wallace Shawn, Yasmin Paige, Noah Taylor, Kobna Holdbrook-Smith, Jeanie Gold, hingga Sally Hawkins memang mampu membentuk tekanan disekitar karakter utama, namun kinerja Jesse Eisenberg yang punya peran paling besar dalam menjaga aliran skenario. I’m not Jesse Eisenberg super big fan, namun berikan dia dialog panjang maka ia akan menghadirkan pesona yang mengesankan. Richard Ayoade paham akan hal itu, dan Simon serta James sukses menampilkan potret perjuangan internal lewat gejolak jiwa penuh kegelisahan yang memikat. Bahkan dengan tampilan serupa penonton dapat membedakan Simon dan James, semua berkat karakterisasi yang kuat dari Jesse. Mia Wasikowska sendiri mampu menampilkan kehangatan yang dingin, namun kurang dimanfaatkan lebih jauh.


Overall, The Double adalah film yang memuaskan. Ini bukan 93 menit yang berisikan proses pengungkapan jawaban atas sebuah misteri, The Double hanyalah sebuah observasi pada gejolak emosi atau psikologi manusia pada krisis identitas yang ia bangun secara perlahan dengan menggunakan malapetaka yang dihasilkan lewat konsep doppelganger. Sejak awal hingga akhir terus dijaga untuk serius tapi santai oleh Richard Ayoade, The Double sukses menjadi sebuah kombinasi hiburan yang menyenangkan, hal teknis seperti visual dan suara yang terus mencuri atensi, kinerja aktor yang efektif, mempermainkan pikiran dengan cara yang ringan bersama black comedy yang kuat, dan dengan sikap menjaga api ketegangan terus kecil dalam narasi cekatan diakhir ia mampu menghadirkan pesan yang ia usung dalam bentuk yang tajam. Segmented







0 komentar :

Post a Comment